Published On:Monday, 21 September 2015
Posted by Unknown
Pastor Neles Tebay “Tuntaskan Konflik Papua”
Konflik Papua mempunyai tiga dimensi, yakni lokal, nasional, dan internasional.
Presiden Joko “Jokowi” Widodo dan Wakil
Presiden (Wapres) Jusuf Kala (JK) telah menyampaikan komitmen untuk
memajukan pembangunan, meningkatkan kesejahteraan, dan menyelesaikan
konflik Papua. Niat baik Presiden Jokowi dan Wapres JK patut diapresiasi
dan didukung semua pihak.
Perwujudan niat baik ini menuntut
pemahaman yang benar terhadap konflik Papua. Adalah suatu kekeliruan,
apabila konflik Papua direduksi menjadi masalah kesejahteraan belaka
atau menyamakan konflik Papua dengan konflik dari daerah-daerah lain di
Indonesia.
Tiga Dimensi
Konflik Papua tidak identik dengan
konflik Poso, Ambon, Aceh, atau Timor Leste. Konflik Papua dikategorikan
unik karena mempunyai tiga dimensi, yakni lokal, nasional, dan
internasional.
Pertama, ada sejumlah aspek lokal
yang menyebabkan konflik Papua masih membara hingga kini. Salah satu
aspek lokal tersebut adalah masih ada perlawanan orang Papua yang
bergabung dalam Organisasi Papua Merdeka (OPM) terhadap pemerintah
Indonesia. Papua menjadi satu-satunya daerah yang mempunyai gerakan
separatis.
Konflik vertikal ini dimulai sejak 1
Mei 1963 dan diwarnai berbagai aksi kekerasan, baik yang dilakukan
negara melalui aparatnya yakni TNI dan Polri, maupun OPM melalui Tentara
Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN PB).
Konflik ini masih menelan banyak
korban nyawa pada kedua belah pihak, mengakibatkan rasa kecurigaan dan
tidak saling percaya antara pemerintah dan orang Papua. Ini memperlambat
pembangunan di Bumi Cenderawasih.
Kedua, konflik Papua mempunyai
dimensi nasional. Pemerintah telah melakukan banyak hal bagi kemajuan
Papua. Namun terkadang solusi yang ditetapkan pemerintah, sekalipun
bertujuan luhur dan dapat memberikan banyak manfaat bagi masyarakat,
belum mengakomodasi semua masalah. Selain itu, banyak kebijakan
pemerintah ditetapkan tanpa melibatkan rakyat Papua dalam pembuatannya.
Jadi, orang Papua kurang memiliki rasa terhadap semua kebijakan
tersebut.
Ketiadaan konsistensi pemerintah
dalam mengimplementasikan kebijakan yang dibuatnya sendiri,
mengakibatkan banyak masalah fundamental di balik konflik Papua belum
diselesaikan secara komprehensif. Sebagai contoh, Undang-Undang (UU)
Nomor 21/2001 tentang Otonomi Khusus untuk Provinsi Papua telah
diberlakukan selama 13 tahun. Namun, konflik Papua masih membara karena
pemerintah enggan melaksanakan UU ini secara efektif dan konsisten.
Koordinasi dan sinkronisasi program
antara berbagai kementerian/lembaga di Jakarta kurang terlihat. Ini
menghambat upaya penyelesaian konflik Papua secara menyeluruh dan
pembangunan yang berkelanjutan di Bumi Cenderawasih.
Ketiga, konflik Papua mempunyai
dimensi internasional. Sejarah memperlihatkan Papua merupakan
satu-satunya daerah yang bergabung ke Indonesia melalui sidang umum
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Konflik Papua berada di bawah radar
internasional karena kehadiran perusahaan Amerika Serikat seperti PT
Freeport Indonesia, yang mengeksploitasi tembaga dan emas di Provinsi
Papua, juga perusahaan Inggris, British Petrolium (BP), melalui proyek
Tangguh yang mengeksploitasi LNG (liquified natural gas) di Provinsi
Papua Barat.
Perlu disebutkan juga, masalah Papua
telah menjadi masalah rakyat dan pemerintah di negara-negara Melanesia
seperti Papua Nugini, Kepulauan Salomon , Fiji, dan Vanuatu yang
tergabung dalam Melanesian Spearhead Group (MSG). Para pemimpin
negara-negara MSG dalam pertemuannya pada Juni 2012, mendukung penuh
pelaksanaan hak penentuan nasib sendiri bagi Papua. Dengan demikian, hal
sekecil apa pun yang terjadi di Papua dapat saja menarik sorotan
internasional. Hal ini dipermudah oleh sarana komunikasi yang canggih.
Ketiga dimensi ini menantang
pemerintah untuk bertindak bijaksana. Apalagi, masalah Papua sudah
berkembang menjadi “duri dalam daging” pemerintahan, yang dapat
mengganggu ketenteraman Indonesia kapan saja.
Tim Khusus
Berdasarkan pengalaman pada
pemerintahan lalu, pemerintahan Jokowi-JK perlu melibatkan semua
pemangku kepentingan ketika ingin mencari dan menghasilkan suatu solusi
yang komprehensif dalam bentuk kebijakan bagi Papua.
Untuk itu, pemerintah pusat perlu
membentuk tim yang terdiri atas dua orang. Mereka adalah orang yang
mesti dipercayai Jokowi-JK. Tim ini ditugaskan mengatur mekanisme dan
tahapan dialog yang melibatkan semua pihak yang berkepentingan.
Tim ini dapat mengoordinasi rangkaian
pertemuan bagi setiap kelompok pemangku kepentingan baik yang ada di
dalam maupun di luar negeri. Tim ini dapat menyelenggarakan pertemuan
konsultatif bagi semua kementerian dan lembaga di Jakarta, para pemimpin
kepala daerah tingkat provinsi dan kabupaten/kota dari Provinsi Papua
dan Papua Barat, para tokoh OPM yang ada di luar negeri, serta bagi
berbagai kelompok masyarakat sipil di Tanah Papua.
Dalam semua pertemuan ini, setiap
kelompok aktor secara bersama dapat berpartisipasi dalam
mengidentifikasi permasalahan, membahas solusi-solusi yang realistis,
dan menentukan kontribusi dari setiap kelompok pemangku kepentingan
untuk menciptakan perdamaian di Bumi Cenderawasih.
Rangkuman dari pertemuan-pertemuan
ini dapat digunakan sebagai materi, untuk dibahas dan disepakati bersama
dalam dialog antara para wakil dari pemerintah dan OPM. Dengan
demikian, semua pihak merasa memiliki terhadap pembuatan dan
kesepakatan yang dicapai dalam dialog. Hal ini, pada gilirannya,
mendorong semua pihak untuk menyambut, bertanggung jawab, dan terlibat
dalam mengimplementasikan kesepakatan dialog. Dengan demikian,
penyelesaian konflik Papua menjadi usaha bersama dari semua pemangku
kepentingan
Source : Sinar Harapan