Published On:Friday, 16 January 2015
Posted by Unknown
Gus Dur: Saya Bukan Apa-apa Dibanding Theys Eluay
Oleh
Odeodata H Julia
Odeodata H Julia
Raut wajah Anum Siregar, Direktur Aliansi Demokrasi untuk Papua (ALDP), terlihat kebingungan. Ia tak percaya kalau KH Abdurrahman Wahid atau yang lebih dikenal dengan nama Gus Dur yang juga mantan Presiden ke-4 akan datang ke rumah kakak iparnya, Sekjen Presidium Dewan Papua (PDP) Thaha Al Hamid.
“Aduh, padahal sudah saya jelaskan bahwa rumahPak Thaha letaknya di atas gunung, serta mendaki, dan pakai tangga untuk bisa sampai ke rumah. Tapi beliau tetap ngotot untuk datang ke rumah,” ceritanya kepada SH, Senin (13/11) sore di Hotel Matoa, Jayapura.
Gus Dur memang sedang berada di Papua. Selain untuk meletakkan batu pertama pembangunan monumen penegakan demokrasi dan HAM di Tanah Papua di sebelah makam Theys Hiyo Eluay (Ketua Presidium Dewan Papua/PDP), juga untuk menerima penghargaan berupa Dewan Adat Papua (DAP) Awards.
Namun, Gus Dur sendiri menilai penghargaan itu belum pantas untuk dirinya. “Terus terang saja, tadi sebelum Pak Tom Beanal berbicara, saya bertanya dalam hati saya, apa benar saya pantas, karena apa yang saya lakukan hanya sedikit saja di antara hal-hal yang bisa saya jalankan,” katanya usai menerima DAP Award, Selasa (14/11) siang, di GOR Cenderawasih APO Jayapura.
Dalam acara yang dihadiri sekitar 300 anggota DAP itu, Gus Dur didampingi putrinya Zanubah Arifah Chafsoh Rahman (Yenny). Ia mengingatkan ruang bagi hak asasi manusia (HAM) dan demokrasi demikian luas, ketika ia menjadi Presiden ke-4 dahulu, membatasi hanya pada dua hal, yaitu pembelaan hak kaum minoritas dan dialog antaragama.
“Apa yang saya lakukan baru sekelumit kecil. Kalau dibandingkan dengan orang-orang seperti almarhum Theys Eluay, bukan apa-apa,” katanya lagi. Ia menganggap Theys telah mengorbankan hidup untuk kepentingan semua orang, tetapi oleh sebagian orang justru disalahpahami dan dianggap sebagai tokoh perusuh.
Bagaikan Oase
Sikap Gus Dur yang merangkul semua lapisan masyarakat mendorong penganugerahan DAP Award kepadanya. “Yang pasti, meminjam bahasanya Pak Tom Beanal, di antara sekian Presiden yang memimpin Indonesia, Gus Dur melihat kami sebagai manusia. Dia mau datang, duduk dan dengar kami, dan juga mengakui masyarakat Papua sebagai manusia yang bermartabat dan dihargai,” kata Wakil Sekjen DAP Fadhal Al Hamid kepada SH.
Saat menjabat Presiden dulu, Gus Dur memberikan kesempatan untuk pelaksanaan Musyawarah Besar (Mubes) dan Kongres Papua. Kemudian mengembalikan nama Papua dari nama Irian Jaya yang sarat makna politisnya. “Bagi kami, apa yang dilakukan Gus Dur seperti oase di padang gurun yang kering,” lanjutnya.
DAP Award berbentuk plakat, diberi aksesori Suku Sentani seperti kapak batu, manik-manik, dan gelang batu. Bagi Suku Sentani, hal ini sesuatu yang sangat berharga bagi masyarakat. Bentuk segi tujuh dan ukiran yang melingkari diambil dari tujuh wilayah adat di Papua.
Wilayah adat I meliputi Jayapura, Keerom, sampai Sarmi, wilayah II Teluk Sareri (Biak, Serui, Nabire Pantai), wilayah III Doberai (Manokwari, Sorong, Teminabuan, Wondama), wilayah IV Bomberai (Fakfak, Timika dan Kaimana), wilayah V Haanim (Merauke, Mappi, Boven Digul dan Asmat), wilayah VI Lapago (Jayawijaya dan Pegunungan Bintang, Yahukimo), serta wilayah VII Mepago (Puncak Jaya, Paniai, Nabire Gunung dan Tolikara).
Gus Dur mengingatkan monumen HAM mempunyai makna bahwa Theys adalah seorang pemimpin besar dan mengingatkan tentang kejahatan kemanusiaan di Papua. “Kalau pemimpinnya saja dibunuh di hadapan orang, apalagi yang di pedalaman,” tuturnya.
Sopir Masih Hilang
Di sudut lain, udara panas dan teriknya mentari Senin (13/11) siang, tidak dipedulikan Sila Ayomi. Dengan diperhatikan sang suami, Yonas Masoka, Sila menabur bunga di makam Theys. Sesekali matanya menatap kosong ke arah salib di depan makam.
Tak banyak orang yang mengenalnya, tetapi bila disebut kalau ia adalah ibu kandung dari Aristoteles Masoka, orang di Jayapura pasti paham. Aristoteles Masoka adalah sopir Theys yang belum diketahui keberadaannya sejak peristiwa terbunuhnya Theys pada 10 November lima tahun silam. “Jika Aris masih hidup, mungkin saat ini umurnya sudah 26 tahun,” katanya.
Sebagai seorang ibu, hatinya merasa senang bercampur sedih saat setiap tahun rakyat Papua memperingati meninggalnya Theys. Tapi yang menjadi pertanyaan baginya, nasib putra tertuanya belum juga diketahui. “Sa (saya) hanya mau tahu apakah Aris masih hidup atau sudah mati,” tuturnya.
Aris adalah sopir Theys yang hilang usai mengantar Theys ketika menghadiri peringatan Hari Pahlawan 10 November 2001 di Markas Tribuana X Kopassus, Hamadi Gunung, Kota Jayapura. Sebelum dinyatakan hilang, Aris sempat menelepon istri Theys (Yaneke Ohee) dan mengabarkan bahwa mereka berdua diculik. Beberapa saksi melihat bahwa Aris sempat kembali ke Markas Kopassus untuk mengabarkan bahwa Theys telah diculik.
“Aduh, padahal sudah saya jelaskan bahwa rumahPak Thaha letaknya di atas gunung, serta mendaki, dan pakai tangga untuk bisa sampai ke rumah. Tapi beliau tetap ngotot untuk datang ke rumah,” ceritanya kepada SH, Senin (13/11) sore di Hotel Matoa, Jayapura.
Gus Dur memang sedang berada di Papua. Selain untuk meletakkan batu pertama pembangunan monumen penegakan demokrasi dan HAM di Tanah Papua di sebelah makam Theys Hiyo Eluay (Ketua Presidium Dewan Papua/PDP), juga untuk menerima penghargaan berupa Dewan Adat Papua (DAP) Awards.
Namun, Gus Dur sendiri menilai penghargaan itu belum pantas untuk dirinya. “Terus terang saja, tadi sebelum Pak Tom Beanal berbicara, saya bertanya dalam hati saya, apa benar saya pantas, karena apa yang saya lakukan hanya sedikit saja di antara hal-hal yang bisa saya jalankan,” katanya usai menerima DAP Award, Selasa (14/11) siang, di GOR Cenderawasih APO Jayapura.
Dalam acara yang dihadiri sekitar 300 anggota DAP itu, Gus Dur didampingi putrinya Zanubah Arifah Chafsoh Rahman (Yenny). Ia mengingatkan ruang bagi hak asasi manusia (HAM) dan demokrasi demikian luas, ketika ia menjadi Presiden ke-4 dahulu, membatasi hanya pada dua hal, yaitu pembelaan hak kaum minoritas dan dialog antaragama.
“Apa yang saya lakukan baru sekelumit kecil. Kalau dibandingkan dengan orang-orang seperti almarhum Theys Eluay, bukan apa-apa,” katanya lagi. Ia menganggap Theys telah mengorbankan hidup untuk kepentingan semua orang, tetapi oleh sebagian orang justru disalahpahami dan dianggap sebagai tokoh perusuh.
Bagaikan Oase
Sikap Gus Dur yang merangkul semua lapisan masyarakat mendorong penganugerahan DAP Award kepadanya. “Yang pasti, meminjam bahasanya Pak Tom Beanal, di antara sekian Presiden yang memimpin Indonesia, Gus Dur melihat kami sebagai manusia. Dia mau datang, duduk dan dengar kami, dan juga mengakui masyarakat Papua sebagai manusia yang bermartabat dan dihargai,” kata Wakil Sekjen DAP Fadhal Al Hamid kepada SH.
Saat menjabat Presiden dulu, Gus Dur memberikan kesempatan untuk pelaksanaan Musyawarah Besar (Mubes) dan Kongres Papua. Kemudian mengembalikan nama Papua dari nama Irian Jaya yang sarat makna politisnya. “Bagi kami, apa yang dilakukan Gus Dur seperti oase di padang gurun yang kering,” lanjutnya.
DAP Award berbentuk plakat, diberi aksesori Suku Sentani seperti kapak batu, manik-manik, dan gelang batu. Bagi Suku Sentani, hal ini sesuatu yang sangat berharga bagi masyarakat. Bentuk segi tujuh dan ukiran yang melingkari diambil dari tujuh wilayah adat di Papua.
Wilayah adat I meliputi Jayapura, Keerom, sampai Sarmi, wilayah II Teluk Sareri (Biak, Serui, Nabire Pantai), wilayah III Doberai (Manokwari, Sorong, Teminabuan, Wondama), wilayah IV Bomberai (Fakfak, Timika dan Kaimana), wilayah V Haanim (Merauke, Mappi, Boven Digul dan Asmat), wilayah VI Lapago (Jayawijaya dan Pegunungan Bintang, Yahukimo), serta wilayah VII Mepago (Puncak Jaya, Paniai, Nabire Gunung dan Tolikara).
Gus Dur mengingatkan monumen HAM mempunyai makna bahwa Theys adalah seorang pemimpin besar dan mengingatkan tentang kejahatan kemanusiaan di Papua. “Kalau pemimpinnya saja dibunuh di hadapan orang, apalagi yang di pedalaman,” tuturnya.
Sopir Masih Hilang
Di sudut lain, udara panas dan teriknya mentari Senin (13/11) siang, tidak dipedulikan Sila Ayomi. Dengan diperhatikan sang suami, Yonas Masoka, Sila menabur bunga di makam Theys. Sesekali matanya menatap kosong ke arah salib di depan makam.
Tak banyak orang yang mengenalnya, tetapi bila disebut kalau ia adalah ibu kandung dari Aristoteles Masoka, orang di Jayapura pasti paham. Aristoteles Masoka adalah sopir Theys yang belum diketahui keberadaannya sejak peristiwa terbunuhnya Theys pada 10 November lima tahun silam. “Jika Aris masih hidup, mungkin saat ini umurnya sudah 26 tahun,” katanya.
Sebagai seorang ibu, hatinya merasa senang bercampur sedih saat setiap tahun rakyat Papua memperingati meninggalnya Theys. Tapi yang menjadi pertanyaan baginya, nasib putra tertuanya belum juga diketahui. “Sa (saya) hanya mau tahu apakah Aris masih hidup atau sudah mati,” tuturnya.
Aris adalah sopir Theys yang hilang usai mengantar Theys ketika menghadiri peringatan Hari Pahlawan 10 November 2001 di Markas Tribuana X Kopassus, Hamadi Gunung, Kota Jayapura. Sebelum dinyatakan hilang, Aris sempat menelepon istri Theys (Yaneke Ohee) dan mengabarkan bahwa mereka berdua diculik. Beberapa saksi melihat bahwa Aris sempat kembali ke Markas Kopassus untuk mengabarkan bahwa Theys telah diculik.
Ternyata, hingga kini Aris lenyap. Untuk mencari Aris, Sila dan suaminya sudah mendatangi Kantor Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Jakarta dan Ikatan Keluarga Orang Hilang (IKOHI), namun hasilnya nihil.
“Kenapa masalah Munir bisa diungkap, tapi sopirnya Pak Theys tak bisa diungkap? Apakah karena anak saya hanya seorang sopir?” tanya Sila dengan suara bergetar. (*)