Published On:Friday, 16 January 2015
Posted by Unknown
Membungkam Kemerdekaan Berbicara dan Berpendapat, Kejaksaan Agung Melarang Buku Socratez.S.Yoman Beredar di Pasaran
Kejaksaan Agung Melarang Buku Yoman Beredar di Pasaran |
Kabar Buruk Pembungkaman Kemerdekan Berbicara dan Berpendapat kembali terjadi. Sasarannya sebuah buku karya orang Papua,
“Pemusnahan Etnis Melanesia: Memecah Kebisuan Sejarah Kekerasan di Papua
Barat,” yang ditulis Socratez Sofyan Yoman, seorang pendeta sekaligus
Ketua Umum Badan Pelayan Pusat Persekutuan Gereja-gereja Baptis Papua (The Fellowship of Baptist Churches of Papua). Buku ini diterbitkan Galangpress dari Yogyakarta, Desember 2007.
Kejaksaan Agung melarang buku Yoman beredar di pasaran. Keputusannya
bernomor 052/A/JA/06/2008, ditandatangi Jaksa Agung Republik Indonesia
Hendarman Supandji, pada 20 Juni 2008. Ia diedarkan ke seluruh institusi
kejaksaan se-Indonesia. Dasarnya, Undang-undang Nomor 4/PNPS/1963, 23
April 1963, tentang “Pengamanan Terhadap Barang-Barang Cetakan yang
Isinya Dapat Menganggu Ketertiban Umum.”
Surat edaran berisi “…kejaksaan, kepolisian, atau alat negara lainnya
yang mempunyai wewenang memelihara ketertiban umum untuk melakukan
pensitaan terhadap barang cetakan tersebut.” Supandji menganggap isi
buku Yoman “menganggu ketertiban umum sehingga menimbulkan kerawanan,
terutama dalam menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.”
Pada 5 Agustus, Kepala Kejaksaan Tinggi Yogyakarta Ibnu Haryadi,
menanggapinya dengan “surat perintah operasi intelijen yustisial.” Dua
hari kemudian, sekitar pukul 12 siang, Tim Kejaksaan berseragam coklat
muda mendatangai kantor penerbit di Baciro, Kota Yogya. Tim berjumlah
sepuluh orang, dipimpin Asep Syaiful Bahli, Asisiten Intel Bidang
Sosial-Politik. Mereka menyerahkan surat keputusan Supandji dan diterima
langsung Julius Felicianus, direktur penerbit Galangpress.
Di ruangan depan, bersebelahan ruang redaksi tempat meja kayu panjang
dikelilingi kursi-kursi, percapakan antara Tim Kejaksaan dan Julius pun
berlangsung. Julius bilang buku Yoman banyak retur. Alasannya tokobuku
takut kena sangsi jika mengedarkannya. Dia mengatakan ada 213 eksemplar
yang tersimpan di gudang dan yang beredar masih sekitar 2000-an. Julius
berjanji melakukan penarikan dan, atas “itikad baik”, penerbit akan
menyerahkan sendiri ke Posko Satuan Komunikasi di Kotagede.
Esok harinya, Galangpress menyerahkan sejumlah eksemplar yang
dijanjikan serta 1.145 eksemplar pada 11 Agustus. Artinya, ada 1.358
eksemplar yang disita di Yogya. Kejaksaan memandang “jumlah tersebut
masih belum semua.” Julius menyebut “buku Yoman dicetak 3000 eksemplar.”
Sewaktu saya mendatangi kantor Kejaksaan Tinggi Yogya di Jalan
Magelang, saya bertemu Fora Noenoehitoe, Kepala Seksi Penerangan Hukum
& Humas yang orang Rote. Noenoehitoe menunjukkan surat laporan
penyitaan itu, tertanggal 15 Agustus, bercap rahasia serta berwarna
kuning, yang sudah dikirim ke Kejaksaan Agung. Isinya berupa laporan
kronologis penyitaan buku Yoman dari kantor Galangpress dan ”minta
tindakan selanjutnya” kepada Hendarman Supandji karena “jumlah buku yang
disita cukup banyak.”
Namun, bukan sekali ini saja buku terbitan Galang yang bertema Papua
disita. Buku “Tenggelamnya Rumpun Melanesia: Pertarungan Politik NKRI di
Papua Barat,” karangan Sendius Wonda, terbit Agustus 2007, juga
bernasib sama. Pada 27 November 2007, Hendarman Supandji
menginstruksikan buku itu disita.
Galangpress menerima surat edaran kejaksaan pada empat atau lima
bulan berikutnya. Buku Wonda sepenuhnya ditarik sekitar April 2008.
Menurut Julius, buku ini masih laku 2000-an eksemplar (dari 3000 yang
dicetak). Kejaksaan Tinggi Yogya menyita 153 eksemplar buku Wonda.
Baik buku Yoman maupun Wonda masih disimpan di Posko Kotegede. Fora
Noenoehitoe mengatakan “kedua buku itu nantinya dimusnahkan.”
”Kita masih menunggu persetujuan lagi. Karena ini bukan hanya Yogya
saja, tapi se-Indonesia. Jadi perintah itu datangnya sekali, langsung
didistribusikan ke kejaksaan tinggi,” katanya.
Julius menyayangkan sikap kejaksaan. Dia bertanya ukuran “kerawanan”
yang dipakai kejaksaan, ”Karena saya nggak pernah tahu, ada buku yang
diterbitkan dan itu akan membuat suatu bangsa akan terpecah-belah.”
Dia juga menyebut dasar keputusan pembredelan itu, undang-undang
tahun 1963, “sudah kadaluwarsa,” mengingat perkembangan teknologi
informasi yang pesat serta konteks jaman yang jauh berubah.
”Katanya jaman reformasi, ini sama saja dengan waktu Pak Harto!”
Aksi pembredelan ini, lewat insitusi negara bernama kejaksaan,
merupakan tindakan “negara yang tidak mau belajar” dari masa lalunya,
menurut Julius.
Fora Noenoehitoe mengatakan pelarangan buku ini, justru agar
“masyarakat tidak terjerumus pada ajaran yang salah.” Kejaksaan sudah
melakukan “penelitian” lebih dulu. Itu tercantum dalam surat keputusan
yang tertulis “hasil rapat Clearing House barang cetakan” pada 14
November 2007 untuk buku Wonda dan 2 April 2008 untuk buku Yoman.
Badan ‘Clearing House’, atau disebut Lembaga Kliring, dibentuk 25
Maret 2003 saat Jaksa Agung M.A. Rachman. Ia melibatkan kejaksaan hingga
departemen agama, departeman pendidikan maupun penerangan hingga Badan
Intelijen Negara, Tentara Nasional Indonesia serta kepolisian Indonesia.
Noenoehitoe berkata “satu barang cetakan itu satu keutuhan.” Tak ada
beda antara satu halaman dengan halaman lainnya dari satu buku. Intinya,
jika ada satu fakta keliru atau dianggap keliru, maka buku itu dilarang
beredar. ”Kami harus melakukan tindakan pengamanan. Atas undang-undang,
bukan asal karena tidak senang sama siapa,” ujarnya, menambahkan
kejaksaan tak hanya sekali ini saja melakukannya, ”sudah ribuan cetakan
yang kita tarik.”
Dia juga bertanya balik kepada penerbit. ”Isinya kan bukan penerbit
yang bertanggungjawab. Penerbit cukup dibayar, dicetak. Selesai dia.
Kalau dia yang bertanya, apa ukurannya? Justru penerbit itu yang salah!”
Namun saya punya kesan tindakan kejaksaan ini berdasarkan perkiraan,
yang belum tentu didasari riset kuat tapi lebih menekankan perasaan
ketakutan ketimbang apa yang disebut “aturan hukum.” Noenoehitoe
berujar, karena pembaca sekarang sudah pintar maka ada larangan
buku-buku macam punya Wonda maupun Yoman. Institusinya juga tak ingin
debat pembredelan ini melebar hingga urusan politik dan hak asasi
manusia (yang justru kedua buku itu sendiri sangat politis), tapi hanya
berbicara dalam batasan hukum.
Menurut Julius Felicianus, pelarangan ini justru makin bikin tajam
pandangan negatif orang-orang Papua terhadap Jakarta, yang mulanya sudah
negatif. Alih-alih apa yang disebut kejaksaan “mencegah timbulnya
keresahan pada masyarakat.”
Saya minta pendapat penulisnya, Socratez Sofyan Yoman, saat mendengar
bukunya dibredel di Jawa. Yoman kirim pesan pendek. Isinya,”Surat
larangan atau pembredelan buku saya itu sudah saya kirim ke teman-teman
anggota Parlemen Inggris dan mereka akan berdebat tentang larangan buku
itu setelah kembali liburan musim gugur. Larangan itu merusak citra
demokrasi Indonesia di mata internasional. Pembredelan itu memberikan
bobot dan nilai tambah bagi perjuangan rakyat dan bangsa Papua Barat
menuju Penentuan Nasib Sendiri. Saya baru-baru ini, tanggal 9 Juli 2008,
mengadakan pertemuan dengan Ibu Mega Munn, Menteri Luar Negeri Urusan
Asia Pasifik di London bersama teman saya Andrew Smith, anggota Parlemen
Pendukung Papua Barat merdeka. Jadi, pembredelan itu memperkuat lobi,
diplomasi dan kampanye Penduduk Pribumi atau Masyarakat Adat Papua untuk
menentukan Masa Depannya.”
”Terima kasih banyak kepada Jaksa Agung memperkuat kampanye tentang
Indonesia tidak demokratis dan membelenggu kebebasan rakyat sipil.”
SAYA belum membaca buku Yoman maupun Sendius Wonda.
Tapi Julius Felicianus, direktur Galangpress, pegang satu buku Yoman
tapi tak menyimpan buku Wonda. Dia sebatas menunjukkan kepada saya.
Sampul buku Yoman berwarna merah, berlatar peta Papua yang terbakar.
Tebalnya 473 halaman. Pengantar dari Pdt. Dr. Benny Giay dan Dr. George
Junus Aditjondro.
Dalam sebuah situs berita Bintang Papua Online, saya
menemukan ucapan Yoman yang menyinggung isi bukunya. “Buku saya memuat
delapan bagian. Antara lain: referensi menyangkut landasan hak asasi
manusia, sejarah, pembangunan dalam perspektif Indonesia dan orang
Papua, bagian yang berhubungan dengan otonomi khusus, bagian yang
menulis tentang pemekaran, tentang pelanggaran HAM dan proses pemusnahan
etnis serta bagian rekomendasi,” kata Yoman.
Namun, Joost W. Mirino, kolega saya dari mingguan Suara Perempuan Papua,
menilai isi buku Wonda “banyak salah, emosional dan sulit
dipertanggungjawabkan secara ilmiah.” Dia bilang “model Yoman sama
pula.”
Sebelum buku Wonda dan Yoman, Galangpress menerbitkan buku-buku orang
Papua. Misalnya “Papua Menggugat” soal kematian Theys Hiyo Eluay,
terbit 2002. Ini kerjasama Aliansi Mahasiswa Papua Internasional,
jaringan para mahasiswa Papua yang tersebar sampai London, berdiri 1998
di Yogyakarta. Edisi kedua terbit 2004, temanya seputar otonomi khusus,
kerjasama WatchPapua.
Galangpress juga menerbitkan “Pembunuhan Theys: Kematian HAM di Tanah
Papua,” karya Benny Giay, terbit 2006. Giay Ketua Program Pascasarjana
dan dosen Teologi Kontekstual Sekolah Tinggi Teologi Walter Post
Jayapura. Buku ini memaparkan peristiwa sebelum, saat kejadian, dan
setelah kematian Ketua Presidium Dewan Papua itu, yang dibunuh 10
November 2001 oleh Kopassus, unit pasukan elit khusus tentara Indonesia.
Buku Giay sebelumnya terbit November 2003 di Jayapura. Tapi Kejaksaan
Negeri Jayapura melarangnya. Galang lalu menerbitkan ulang. Julius
menceritakan, pernah ada tentara Indonesia mendatangi kantornya, merasa
keberatan terhadai isi buku itu.
Di luar pelarangan dan penyitaan buku-buku terbitan Galang, perlu
dicatat juga sensor Kejaksaan Indonesia terhadap “Atlas West Irian” pada
16 Juni 2006. Alasannya, pencantuman bendera Bintang Kejora, lambang
bangsa Papua.
Namun larangan buku di Indonesia tidaklah sebatas untuk para penulis
Papua. Peristiwa pembakaran buku pelajaran sejarah pada 2007 adalah
contoh keras bagaimana sensor gaya kejaksaan Indonesia ini.
Pada pertengahan 2007, pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, melalui
kejaksaan-kejaksaan negeri, merampas dan menyita buku-buku pelajaran
sejarah, bahkan menyisirnya hingga ke sekolah-sekolah, lalu membakarnya,
merobek atau menghancurkannya. Itu menyebar dari kota ke kota.
Gara-garanya, buku tersebut dituduh tak mencantumkan kata “Partai
Komunis Indonesia” dalam menerangkan Gerakan 30 September 1965. Menteri
Pendidikan Bambang Sudibyo minta agar kejaksaan agung meneliti buku yang
dibuat berdasarkan kurikulum pendidikan 2004 itu. Pada Maret 2007,
Abdul Rahman Saleh melarangnya. Pada 9 Mei 2007, Presiden Yudhoyono
memberhentikan Rahman Saleh dan diganti Hendarman Supandji. Ikatan
Penerbit Indonesia mengirim surat agar keputusan larangan buku itu
seyogyanya dipertimbangkan kembali. Tapi surat tak diindahkan dan
mulailah pembakaran buku-buku. Sepanjang Juni-Juli 2007 misalnya, lebih
dari 30.000 buku dibakar di Jawa Barat, Sulawesi Selatan dan Jawa
Tengah.
Pendek kata, apa yang tidak sesui dengan arah pikir penguasa menjadi
jalan pemberangusan. Pandangan kritis dan berbeda, juga kebebasan
berbicara dan berekspresi—sesuatu yang esensial dalam demokrasi,
diperlemah lewat cara-cara sita dan bredel buku.
Beleid No. 4/1963 selalu dijadikan rujukann. Aturan ini, di bawah
pemerintahan Soekarno, tak pernah dikoreksi. Ini tahun di mana Soekarno
sedang giat dalam “proyek Revolusi”-nya serta apa yang dinamakan “Negara
jang sedang membina Sosialisme.” Agak rancu jika aturan yang terdiri
dari 11 pasal ini diterapkan terus-menerus. Belakangan ia dipertegas
Undang-Undang No. 16/2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia pada
Pasal 30 ayat 3 item c.
Artinya, konteks hukum sudah jauh berbeda jika aturan bredel itu
tetap dipakai. Bahkan aturan ini sebetulnya bukan murni ide pemerintahan
Soekarno. Ia memperbaiki kebijakan sensor pemerintahan kolonial Belanda
tahun 1900 dan pasal 13 dari “Reglement op de Drukwerken” tahun 1956.
Salah satu pasal dalam bredel 1963 itu mengatakan “barang cetakan
yang jadi sasaran sensor kejaksaan selain buku-buku, juga brosur,
buletin, suratkabar harian, majalah, penerbitan berkala, pamflet, hingga
poster.” Disahkannya UU Pers No. 40/1999, yang bersifat khusus, sedikit
banyak mengurangi daftar sensor itu.
Julius Felicianus, direktur Galangpress, mengaku “repot” dengan
aturan 1963 itu. Penyitaan buku-buku di Indonesia, yang dilakukan
kejaksaan, selalu berkaitan dengan sejarah masa lalu. ”Aturannya pun
dilakukan oleh penguasa masa lalu juga,” katanya.
Saya teringat pengalaman almarhum pengarang Pramoedya Ananta Toer.
Karya-karya Pram mungkin paling sering dibakar militer Indonesia, dalam
hal ini Angkatan Darat, serta dilarang kejaksaan agung. Ketika Bumi Manusia
terbit pada 1980, karya perdana Pram sejak 1965 (tahun ketika Soeharto
menggantikan Soekarno), Jaksa Agung pun melarangnya. Ini berlaku untuk
buku-buku Pram berikutnya. Bahkan departemen pendidikan Indonesia
menerbitkan surat edaran yang melarang semua lembaga di bawahnya,
termasuk universitas, membaca dan memiliki Bumi Manusia.
Pramoedya mengatakan pelarangan itu merupakan sensor gaya budaya
Jawa. Sebutannya “tepo sliro,” eufemisme dari “self-censorship.” Pram
mengaku benci sekali dengan “Jawanisme,” yakni taat dan setia kepada
atasan.
”Ketika diterjemahkan ke politik,” kata Pram dalam Saya Terbakar Amarah Sendirian, ”jadilah fasisme.”
George Junus Aditjondro, penulis pengantar buku Socratez Sofyan
Yoman, mengatakan kepada saya bahwa dulu sensor lebih banyak melibatkan
aparat militer, tapi sekarang aparat kejaksaan. Pelarangan buku ini,
dari Jawa hingga Papua, kata lain untuk menyebut dua hal yang masih
lemah dalam “pikiran orang-orang pemerintahan Indonesia” mengenai
struktur kenegaraan, yakni “politik unitarianisme dan sistem ekonomi.”
”Artinya,” menurut Aditjondro, ”ada dua hal yang masih ditakuti negara ini: komunisme dan separatisme.”
Aditjondro seorang peneliti kawakan yang malang-melintang ke Papua
Barat, Timor Leste, Maluku, Sulawesi, Kalimantan, Sumatera, hingga Aceh.
Dia menulis buku tentang Papua, “Cahaya Bintang Kejora.” Saya kira
komentarnya penting demi melihat cerita di balik fakta-fakta penyitaan
ini.
Dia bilang sebenarnya ada banyak sekali terbitan dari beragam
kalangan, dari Kristen, Islam, pro-NKRI dan sebagainya. Tapi uniknya,
negara Indonesia masih takut dua hal tersebut.
Aditjondro menyinggung kerusuhan Maluku Selatan. Dia mencontohkan
buku karangan Rustam Kastor, “Konspirasi Politik RMS dan Kristen
Menghancurkan Umat Islam di Ambon-Maluku.” Kastor, yang
kelahiran Ambon, adalah mantan Komandan Korem Pattimura juga mantan
Kepala Staf Kodam Trikora (Papua Barat), dan telah ditempatkan di Markas
Besar di Jakarta.
Dalam artikel “Orang-orang Jakarta di Balik Tragedi Maluku,”
Aditjondro menulis buku Kastor itu mengembangkan teori konspirasi bahwa
orang-orang Kristen di Maluku berupaya menciptakan negara Maluku yang
berasas Kristen dan tidak ada tempat bagi orang Maluku yang beragama
Islam. Ia memberikan pembenaran ‘pseudo-ilmiah’ untuk mengundang Lasykar
Jihad dari Jawa ke Maluku dan menuduh orang-orang Kristen mencoba
menghidupkan kembali ‘pemberontakan Republik Maluku Selatan’ tahun
1950-1964.
Padahal, ungkap Aditjondro, dalam disertasi Richard Chauvel tentang
‘pemberontakan’ itu jelas-jelas membeberkan salah seorang pemimpin RMS
yang ditumpas Tentara Nasional Indonesia adalah Ibrahim Ohorella, Raja
Tulehu yang seorang Muslim, yang menjadi tuan rumah rapat-rapat
persiapan proklamasi RMS. Sebaliknya, masyarakat Kristen di Ambon serta
orang Ambon yang kristen di luar Ambon juga tidak sepenuhnya mendukung
proklamasi RMS. Sinode Gereja Protestan Maluku, jaringan gereja terbesar
di Sulawesi sendiri bersikap netral terhadap proklamasi itu.
“Ini ideologi yang dihembuskan kelompok Jawa yang datang ke Maluku,
dan orang-orang Kristen tak suka dengan buku semacam itu,” papar
Aditjondro.
Buku Kastor juga mengabaikan kenyataan gerakan kemerdekaan Timor
Lorosa’e dan Papua Barat ikut dipimpin oleh tokoh-tokoh Muslim setempat.
Di samping itu, kehendak untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan
Republik Indonesia bukanlah monopoli Kristen sebagaimana ditunjukkan
oleh rakyat Aceh.
Buku Kastor, yang jelas-jelas mengoyak-oyak suatu bangsa, malah
dibiarkan. “Artinya ada sikap diskriminatif di sini,” kata Aditjondro
kepada saya.
”Negara kesatuan kita selalu pakai tangan besi: Militer yang fasis dan Islam yang reaksioner!”
Contoh lain ketika Partai Persatuan Pembebasan Nasional (Papernas)
hendak melakukan rapat besar di Jawa yang dihalang-halangi Faqih,
kelompok massa yang disokong tentara. Papernas yang berideologi kiri
dilawan dengan pemukulan dan kekerasan oleh Faqih, yang dalam setiap
propagandanya menghasut “bahaya laten komunisme” agar dibersihkan dari
“bumi Indonesia.” Partai ini pun tak masuk dalam seleksi Komisi
Pemilihan Umum untuk ikut Pemilu 2009.
Aditjondro berkata hal itu menunjukkan ada “represif ideologis dan represif militer.”
Gerakan Papua merdeka dan ‘Republik Maluku Selatan’ merupakan suara
kritis terhadap politik kesatuan dari Jakarta. Adapun ‘komunisme’ kata
lain dari suara kritis kaum kiri terhadap sistem ekonomi Indonesia yang
sangat terbuka bagi modal asing, yang sangat kapitalistik.
Di Papua, kata Aditjondro, ‘OPM’ itu disingkat sebagai ‘Otonomi,
Pemekaran, Merdeka.’ Atau kalangan gereja menyebutnya, ‘Otonomi,
Pederalisme, Merdeka.’ ”Yang ingin saya katakan, semua-semua plesetan
itu merupakan kritik halus terhadap struktur kenegaraan ini,” ujarnya.
Saya menimbang-nimbang, semangat ‘fasisme’ ala kejaksaan,
dengan menyita maupun membakar buku, menyiratkan sesuatu yang salah
dalam praktik politik hukum di Indonesia. Ini menujukkan sikap yang
anti-toleransi terhadap perbedaan pandangan. Taruhannya adalah demokrasi
itu sendiri. Orang dipersempit geraknya dalam mengemukakan pendapat,
berbicara dan berekspresi. Jika tak puas dengan penyitaan dan
pembakaran, ia bisa dicekal, dipenjara, atau melangkah lebih serius lagi
… dibunuh. Orang-orang Papua, saya kira, mengenali betul pendapat
beginian. [Oktober 2008]