Published On:Friday, 16 January 2015
Posted by Unknown
SISI KELAM PEREMPUAN PAPUA BARAT
Perempuan Papua (Foto.Ist) |
Oleh: CD Lani Women
Papua -- sebagai wilayah paling timur yang sangat jauh dari Jakarta, di mana kebijakan-kebijakan tentang Indonesia dibuat -- menjadi daerah yang terisolasi dari segala kemajuan komunikasi. Hal lain, masyarakat Papua hidup dengan budaya mereka yang sangat berbeda dengan masyarakat di daerah Indonesia yang lainnya. Oleh karena faktor seperti ini, banyak hal kemudian tak terungkap - atau tak didengarkan.
Dalam kata-kata Beatrix Koibur Rumbino -- salah satu di antara dua perempuan yang menjadi anggota Presidium Dewan Papua -- perempuan di daerah lain kemudian tak dapat menyuarakan suara mereka. Pelanggaran hak asasi manusia perempuan Papua, menjadi catatan khusus juga karena beberapa hal. Kekerasan terhadap perempuan terutama dialami oleh perempuan Papua karena adanya kekerasan politik yang disebabkan oleh tuntutan kemerdekaan dan tanggapan keras terhadapnya. Hal kedua, yang membedakannya dengan daerah lain, perempuan Papua mengalami kekerasan domestik karena adanya perubahan sosial ekonomi. Perubahan ini telah menimbulkan pergesekan budaya yang kemudian menjadi pemicu terjadinya kekerasan perempuan di Papua.
Menurut pekerja hak asasi manusia Galuh Wandita, kekerasan dalam situasi konflik antara lain disebabkan oleh pembedaan jender dalam peran laki-laki dan perempuan, di mana laki-laki ditempatkan sebagai "prajurit, dan perempuan yang merawat keluarga. Perempuan di sini kemudian menjadi amat rentan tehadap apa yang disebut sebagai proxy violence, kekerasan yang dilakukan karena sasaran utama tidak ada. Hal lainnya diuraikan oleh Anne Feith -- seorang peneliti dari Queensland University -- bahwa dalam situasi konflik atau perang, kekerasan terhadap perempuan menjadi sebuah cara yang umum dipakai untuk mempermalukan dan menteror penduduk sipil yang dianggap sebagai musuh. Perkosaan misalnya, menjadi alat untuk mengintimidasi dan juga meruntuhkan moral musuh. Hal terakhir terjadi ketika perempuan dilihat sebagai milik laki-laki dan merupakan simbol kehormatan laki-laki.
Oleh karena itu Konvensi Jenewa yang menjadi "peraturan perang" internasional secara tegas mengatakan bahwa dalam situasi konflik pun penghormatan perempuan harus dilindungi. Perempuan di Papua seperti di dua daerah operasi militer lain, Aceh dan Timor Timur kemudian mengalami penyiksaan, perkosaan atau bahkan menjadi perempuan simpanan personel militer, seperti dikemukakan oleh Pelapor Khusus PBB untuk Kekerasan terhadap Perempuan ketika dia berkunjung ke Indonesia pada 1998.
Perkosaan antara lain pernah dialami oleh penduduk Jilla sekitar tahun 1987-1988, dalam operasi pengejaran tokoh Organisasi Papua Merdeka (OPM) Kelli Kwalik oleh ABRI (TNI). Sepuluh orang tercatat diperkosa di bawah ancaman senjata. Perkosaan telah menyebabkan sebagian korban mengandung dan melahirkan bayi. Perkosaan juga dialami oleh perempuan di daerah-daerah Mapnduman, Nggeselema Bela, Alama, Jila dan sekitarnya pada sekitar tahun 1996-1998 yang dilakukan oleh beberapa orang tentara. Investigasi lapangan yang dilakukan Gereja Kemah Injil Indonesia Wilayah Irian Jaya, Gereja Kristen Injili di Irian Jaya dan Keuskupan Jayapura mencatat beberapa beberapa perkosaan terjadi. Pekerja hak asasi manusia di Papua, John Rumbiak, menegaskan bahwa 13 kasus perkosaan tercatat pada peristiwa ini, termasuk seorang anak yang berumur 3 tahun.
Penyebab lain dari kekerasan terhadap perempuan yang terjadi adalah perubahan sosial ekonomi. Kebijakan nasional pembangunan ekonomi yang sentralistis tak menyisakan ruang bagi masyarakat untuk menyuarakan apa yang mereka inginkan. Pembangunan fisik Papua yang sangat cepat tidak bisa diikuti oleh masyarakat Papua, sehingga mereka tertinggal menjadi penonton di pinggiran. Hal ini ditambah dengan transmigrasi, yang membuat penduduk lokal makin teralienasi karena kalah bersaing. Perubahan ini lantas mengacaukan pembagian peran jender yang berlaku. Laki- laki kehilangan fungsi tadisional mereka sebagai laki-laki. Namun di sisi lain, mereka gagap untuk menyesuaikan diri dengan perubahan. Istri kemudian menjadi pelampiasan rasa frustrasi mereka yang diwujudkan dalam bentuk kekerasan domestik. Kedadaan diperburuk dengan konsumsi alkohol yang meningkat.
Dampak lainnya dari perubahan sosial ekonomi adalah munculnya pelacuran di wilayah urban. Perempuan Papua mengikuti jejak perempuan pendatang menjadi pelacur, tapi dengan tarif yang relatif murah. Tarif murah ini menjadikan mereka sasaran para penganggur, yang mengakibatkan penyebaran penyakit menular termasuk HIV/AIDS.
Perlindungan terhadap perempuan Papua menjadi sulit karena tempat operasi dan rumah mereka sulit ditemukan. Namun, Beatrix tetap optimis, bahwa masih akan banyak kesempatan bagi perempuan Papua di berbagai bidang, bila kemerdekaan sesungguhnya telah tercapai.
Fakta HAM No. 25, Tahun 1, 2001.
Dalam kata-kata Beatrix Koibur Rumbino -- salah satu di antara dua perempuan yang menjadi anggota Presidium Dewan Papua -- perempuan di daerah lain kemudian tak dapat menyuarakan suara mereka. Pelanggaran hak asasi manusia perempuan Papua, menjadi catatan khusus juga karena beberapa hal. Kekerasan terhadap perempuan terutama dialami oleh perempuan Papua karena adanya kekerasan politik yang disebabkan oleh tuntutan kemerdekaan dan tanggapan keras terhadapnya. Hal kedua, yang membedakannya dengan daerah lain, perempuan Papua mengalami kekerasan domestik karena adanya perubahan sosial ekonomi. Perubahan ini telah menimbulkan pergesekan budaya yang kemudian menjadi pemicu terjadinya kekerasan perempuan di Papua.
Menurut pekerja hak asasi manusia Galuh Wandita, kekerasan dalam situasi konflik antara lain disebabkan oleh pembedaan jender dalam peran laki-laki dan perempuan, di mana laki-laki ditempatkan sebagai "prajurit, dan perempuan yang merawat keluarga. Perempuan di sini kemudian menjadi amat rentan tehadap apa yang disebut sebagai proxy violence, kekerasan yang dilakukan karena sasaran utama tidak ada. Hal lainnya diuraikan oleh Anne Feith -- seorang peneliti dari Queensland University -- bahwa dalam situasi konflik atau perang, kekerasan terhadap perempuan menjadi sebuah cara yang umum dipakai untuk mempermalukan dan menteror penduduk sipil yang dianggap sebagai musuh. Perkosaan misalnya, menjadi alat untuk mengintimidasi dan juga meruntuhkan moral musuh. Hal terakhir terjadi ketika perempuan dilihat sebagai milik laki-laki dan merupakan simbol kehormatan laki-laki.
Oleh karena itu Konvensi Jenewa yang menjadi "peraturan perang" internasional secara tegas mengatakan bahwa dalam situasi konflik pun penghormatan perempuan harus dilindungi. Perempuan di Papua seperti di dua daerah operasi militer lain, Aceh dan Timor Timur kemudian mengalami penyiksaan, perkosaan atau bahkan menjadi perempuan simpanan personel militer, seperti dikemukakan oleh Pelapor Khusus PBB untuk Kekerasan terhadap Perempuan ketika dia berkunjung ke Indonesia pada 1998.
Perkosaan antara lain pernah dialami oleh penduduk Jilla sekitar tahun 1987-1988, dalam operasi pengejaran tokoh Organisasi Papua Merdeka (OPM) Kelli Kwalik oleh ABRI (TNI). Sepuluh orang tercatat diperkosa di bawah ancaman senjata. Perkosaan telah menyebabkan sebagian korban mengandung dan melahirkan bayi. Perkosaan juga dialami oleh perempuan di daerah-daerah Mapnduman, Nggeselema Bela, Alama, Jila dan sekitarnya pada sekitar tahun 1996-1998 yang dilakukan oleh beberapa orang tentara. Investigasi lapangan yang dilakukan Gereja Kemah Injil Indonesia Wilayah Irian Jaya, Gereja Kristen Injili di Irian Jaya dan Keuskupan Jayapura mencatat beberapa beberapa perkosaan terjadi. Pekerja hak asasi manusia di Papua, John Rumbiak, menegaskan bahwa 13 kasus perkosaan tercatat pada peristiwa ini, termasuk seorang anak yang berumur 3 tahun.
Penyebab lain dari kekerasan terhadap perempuan yang terjadi adalah perubahan sosial ekonomi. Kebijakan nasional pembangunan ekonomi yang sentralistis tak menyisakan ruang bagi masyarakat untuk menyuarakan apa yang mereka inginkan. Pembangunan fisik Papua yang sangat cepat tidak bisa diikuti oleh masyarakat Papua, sehingga mereka tertinggal menjadi penonton di pinggiran. Hal ini ditambah dengan transmigrasi, yang membuat penduduk lokal makin teralienasi karena kalah bersaing. Perubahan ini lantas mengacaukan pembagian peran jender yang berlaku. Laki- laki kehilangan fungsi tadisional mereka sebagai laki-laki. Namun di sisi lain, mereka gagap untuk menyesuaikan diri dengan perubahan. Istri kemudian menjadi pelampiasan rasa frustrasi mereka yang diwujudkan dalam bentuk kekerasan domestik. Kedadaan diperburuk dengan konsumsi alkohol yang meningkat.
Dampak lainnya dari perubahan sosial ekonomi adalah munculnya pelacuran di wilayah urban. Perempuan Papua mengikuti jejak perempuan pendatang menjadi pelacur, tapi dengan tarif yang relatif murah. Tarif murah ini menjadikan mereka sasaran para penganggur, yang mengakibatkan penyebaran penyakit menular termasuk HIV/AIDS.
Perlindungan terhadap perempuan Papua menjadi sulit karena tempat operasi dan rumah mereka sulit ditemukan. Namun, Beatrix tetap optimis, bahwa masih akan banyak kesempatan bagi perempuan Papua di berbagai bidang, bila kemerdekaan sesungguhnya telah tercapai.
Fakta HAM No. 25, Tahun 1, 2001.