Cerpen - Rembulan di Kaki Langit Cycloop
![]() |
Rembulan di Kaki Langit Cycloop |
John menghapus keringat dengan tangannya. Puluhan kilo telah ditempuhnya. Ia masih berdiri menyaksikan kendaraan yang masih saja memadati jalan.Ia menatap mal-mal yang berdiri kokoh menggantikan hutan sagu. Di atas hutan sagu yang dulunya menjadi tempat meramu sagu, kini telah menjadi tempat gengsi para kapitalis. Tak sedikit orang yang masuk ke dalam mal-mal itu, sebab disitulah tempat orang-orang bergengsi.
Matahari memancarkan teriknya. Butir-butir keringat memandikan tubuhnya, namun John tetap berdiri di sisi kanan jalan. Ia merasa dirinya terpojok seakan seorang asing yang tersesat di kota Jayapura. Tak seorang pun yang memedulikannya. 'Inikah kejamnya dunia?' John bergumam. Ia teringat akan sebuah syair lagi Black Brothers 'Hari Kiamat'. Ia duduk di tepi danau Sentani dan mulai menyanyikan lagu itu.
'Di tepi jalan si miskin menjeritHidup meminta dan menerima
Si kaya tertawa berpesta pora
Hidup menumpang di kecurangan
Sadarlah kau… cara hidupmu
Yang hanya menelan korban yang lain
Bintang jatuh hari kiamat
Pengadilan yang penghabisan
Itulah hidup semakin biasaseakan tak pedulikan lagi
Tiada kasih bagi yang lemah
Disiram banjiran air mata
Sadarlah kau cara hidupmu
Yang hanya menelan korban yang lain
Bintang jatuh hari kiamat
Pengadilan yang penghabisan'
Sang mentari telah bergegas ke ufuk barat. Hari telah beranjak sore. John duduk menikmati indahnya pesona danau Sentani. Ia berpikir kalau hidup ini memang harus diperjuangkan untuk mempertahankannya dari ancaman kapitalisme yang dengan gigihnya melebarkan sayap-sayapnya.
Usai sang mentari berlalu pergi ke alam peraduannya, sang rembulan memancarkan kelembutan cahayanya di kaki langit di atas gunung Cycloop. Kelembutan cahaya yang seakan menenangkan batin yang bergejolak meratapi nasib kaum miskin. Semilir angin malam yang datang pun seakan menyapa bahwa ia dipihak kaum lemah