Published On:Thursday, 30 June 2016
Posted by Unknown
Sa Lemah
Istimewa |
12 Agustus 2013. Persis hari itu adalah hari dimana kau dan aku bersua, dan menjalin relasi hingga berangsur menjadi status hubungan kita yang sekarang. Adalah berpacaran. Kini sudah 34 bulan lebih 13 hari sejak saat itu. Mesti kuakui bahwa dalam kurun waktu yang segitu, kau sudah memberiku yang terbaik. Selain berparas cukup tanpan, kau juga lelaki yang bisa memahamiku disetiap aku dirundung pelbagai masalah. Itu satu.
Dikala ada sesuatu yang datang dan mengharuskanku untuk menyelesaikan atau memecahkannya, kau selalu membantuku, dan aku pun sebaliknya. Jujur. Bahwa inilah yang membuatku begitu bangga memiliki sahabat karib yang berbudi baik seperti dirimu. Dalam setiap untaian munajat yang kupanjatkan kehadirat Sang Maha Perkasa, jarang terlalai pula kupinta untuk Tuhan sendiri merestui jalinan yang sedang kita bumbui.
Pada hari Sabtu, 07 Mei 2016 lalu dari ruangan aula di sekolah, kau terima amplop berisi secarik kertas bertuliskan “LULUS”. Kulihat kau riang gembira ketika itu. Aku pun demikian. Namun kegiranganku tak seriang kau, karena aku tahu bahwa itu berarti kini kau sudah di ambang untuk berpergian ke suatu tempat dimana disana kau akan melanjutkan jenjang perkuliaanmu.
Lalu aku yang setahun lebih muda dari kau ini? Aku masih setahun lagi disini. Di sekolah ini. Aku masih akan bertemu dengan pak guru Markus, yang adalah guru Fisika. Aku masih akan bertemu dengan kepala sekolah, yang adakalanya bersikap tegas dan otoriter. Aku juga masih akan bertemu dengan pak guru Modes, guru Seni Budaya yang sering mangkir.
Namun, itu pun jika Tuhan masih meridaiku hidup hingga ke saat yang disitu.
Kau? Akh, Kau. Mana mungkin pikiran semacam ini terlintas dibenakmu. Mungkin yang di saat ini tengah kau gumuli adalah dimana aku akan melanjutkan kuliah, program studi yang mesti aku ambil, dkk seperti yang saat dua hari lalu sempat kau ceritakan padaku. Itu saja. Kan? Lagipula sekolah negeri berakreditasi B ini bukan lagi sekolahmu. Kau kini seorang alumnus dari sekolah ini.
Kuharap kau tak serta merta melupakan sekolah yang sudah beri kau nutrisi pengetahuan selama enam semester ini.
Tapi aku tahu persis tipikalmu. Selama dua tahun kau menakhodai kepengurusan osis, kau sudah cukup memberikan yang terbaik buat sekolah kita. Itu amatanku. Para guru, sejawatmu, sejawatku serta adik-adik kelas kita yang kini sedang duduk dibangku kelas X pun pikirku kami sepersepsi. Dan kau tahu? Itu pulalah yang membuatku kian tetap ingin bertengger di dahan cintamu.
Kemarin sore di Tanggul Pantai Nabire, atas permintaan kau sebelumnya saat kita berkencan lewat sms. Kita ketemuan disana sembari menyaksikan datangnya durjana malam. Ombak yang berbuai-buai memukul tambak menjadi hidangan kuping kita. Suasana menjadi kikuk. Kau terpegun. Agaknya ada yang ingin kau sampaikan, namun seakan berat untuk kau curahkan.
“Siska..” Kau menyapaku memecah kecanggungan.
“Ya?”
“Sa mo bicara sesuatu deng ko. Dan kayaknya pertemuan kita yang kali ini yang terakhir kali,”
“Jii, bicara sudah, Soni. Ko bikin sa penasaran saja,”
“Iyo. Sis, seperti yang sa bilang saat dua hari yang lalu. Besok lusa nanti ada kapal dengan tujuan Pelabuhan Manokwari, Sorong, Ternate, Bitung, Amorang, Toli-toli, Pantoloan dan Surabaya. Sa su ambil tiket. Jadi sa pasti naik kapal itu.” Kau meraih kedua tanganku dan memegang erat, pertanda aku harus bisa memahami ini.
Aku tergeming sejenak.
“O, trapapa. Itu memang sesuatu yang tra bisa untuk ko hindari. Cuma sa harap ketika ko su disana nanti, jangan lupa sa. Soni, sa su terlalu sayang ko. Sa takut kehilangan ko, sungguh!”
“Itu pasti, Sis. Sa juga sayang ko. Kitong dua pu janji bahwa tong akan jalin tong pu cinta sampe nanti saat di pelaminan nanti itu sa masih ingat. Ko sa pu cinta pertama dan terakhir. Sa tra tipu.” Rasa hatiku bergelegak ketika itu. Tapi juga ada sedikit rasa skeptis. Tuhan, peluklah jalinan cinta kami.
Bukan hal yang keliru jika kau dipanggil musikus muda Papua. Kau tak saja lihai bermain gitar, tapi juga piano dan harmonika. Kadang ketika aku pergi menandangimu, kau melantunkan lagu untukku. Bagiku kau adalah pelipur lara. Suaramu yang bagus dan sedap didengar membuat siapa saja yang mendengar terhibur. Dan barangkali hal itulah yang membuat kau selalu menjadi salah satu kontestan setiap diadakan lomba nyanyi di ini metropolis.
Desau alobar nan berseliweran membuat tubuh tak tetap hangat. Jaket yang kukenakan pun seakan tidak lagi berpotensi memberiku kehangatan. Jemarimu dengan lembut menggemgam tanganku. Aku saat itu tengah separuh linglung namun berusaha tegar dihadapanmu. Bagaimana tidak? Tapi itulah. Sebab tak mungkin aku mencegah dan menghalangi kepergianmu nanti.
Kita pulang.
Kau tahu. Sepulangmu beberapa saat lalu di kampungmu yang cuman berdurasi satu bulan saja, aku terkulai bak bendera bintang kejora yang tak berkibar ditengah rintik hujan. Kala itu aku bagai merpati yang terbang rendah, terseok-seok di antara rimbunan ilalang, karena sebuah sayapnya terluka oleh pedang perpisahan. Setumpuk kekhawatiran pun menyesakkan dadaku yang sudah menyempit sejak kepergianmu.
Kepergianmu yang kali ini jelas akan lebih lama. Pastilah butuh waktu enam bulan atau 12 bulan untuk kau kembali. Namun itu pun jika kepulanganmu salah satunya adalah untukku. Tapi kalau tidak? Kalau hatimu telah terlanjur terpikat kepada gadis lain, yang mungkin adalah teman kuliahmu? Soni, sungguh. Jangan.
Akh, kepala ini serasa mau pening jika aku terus-menerus mengerawangi hal itu. Yang tarpenting sekarang adalah doa. Ya, doa. Sebab hanya jika aku berdoa, maka semuanya pasti akan terlumatkan. Dan kukira aku pun harus mulai belajar bercintaan jarak jauh, tanpa harus acapkali berpapasan denganmu. TAMAT(*)
Penulis : Herman Degei
Sumber : Sa Pu Suara