Apa akar penindasan terhadap perempuan? Bagaimana kita melawannya?
Keduanya merupakan pertanyaan vital untuk diajukan dalam suatu
masyarakat dimana kelas pekerja perempuan ditindas dua kali-sebagai
pekerja dan sebagai perempuan.
Seberapa Bebas Perempuan Hari Ini?
Sering dikatakan bahwa seksisme adalah suatu fenomena dari masa
silam-kini ada lebih banyak perempuan di tempat kerja dan mereka semakin
terbebaskan secara jenis kelamin. Namun jelas pula bagi orang
kebanyakan bahwa ini tidak benar sama sekali-di Inggris, kesenjangan
upaha antara laki-laki dan perempuan tetap berada di kisaran 20% dan
kaum perempuan masih dituntut untuk mengerjakan mayoritas
aktivitas-aktivitas domestik seperti mencuci dan merawat anak-anak.
Jelas bahwa abad lalu telah menjadi saksi banyaknya capaian maju bagi
kaum perempuan dimana makin banyak perempuan yang mengakses pendidikan
tinggi, menempuh karir, dan hak-hak atas perceraian dan aborsi telah
dicapai. Bagaimanapun juga kita harus mengetahui bahwa kaum perempuan
tetaplah kelompok yang dieksploitasi dan bahwa bentuk eksploitasi ini
telah berubah seiring dengan perubahan dalam sistem kapitalisme.
Bila kita mempertimbangkan terlebih dahulu isu perempuan di tempat
kerja, dari tahun 1881 ke 1951 persentase kaum perempuan di tempat kerja
terkatung-katung di angka 25%, dan pada tahun 1965, 54% kaum perempuan
dikategorikan sebagai “aktif secara ekonomi”. Hal ini bisa dipandang
sebagai hasil dari perubahan jangkauan kapitalisme Inggis dengan
pembukaan industri-industri dan ekspansi-ekspansi yang dihasilkan dari
boom (kemakmuran) pasca perang dunia II.
Bagaimanapun juga penting untuk diperhatikan bahwa meskipun semakin
banyak kaum perempuan di tempat kerja, namun kesenjangan upah tetap
berlaku-sekitar 27% hingga 30%-dan mayoritas (70%) dipekerjakan di
sektor jasa yang rawan.
Dari 1960an ke 1990an dan 2000an: selama dua dekade silam persentase
kaum perempuan di tempat kerja tetap berada di kisaran 65%. Bagaimanapun
juga, jelas bahwa terlepas semakin banyak kaum perempuan di tempat
kerja-yang merupakan tanda positif atas emansipasi-kerja perempuan tetap
diupah lebih rendah dan lebih banyak di sektor-sektor kerja kontrak dan
outsourcing. Kesenjangan upah yang terus berlangsung, terjadi pada 92%
perempuan di sektor jasa yang merupakan salah satu sektor kerja paling
rawan, sedangkan persentase laki-laki hanya 71%.
Seseorang harus mempertimbangkan alasan-alasan mengapa kaum perempuan
bekerja: statistik pemerintah menunjukkan bahwa pada tahun 2011 hanya
9% tenaga kerja Inggris yang bekerja di sektor manufaktur. Hal ini bisa
dipandang sebagai suatu akibat dari de-industrialisasi, yang berujung
pada penutupan-penutupan industri seperti pertambangan, baja, dan
pembangunan kapal di seluruh negeri. Hilangnya industri-industri ini
berakibat hilangnya banyak pekerjaan dengan pendapatan berkecukupan di
komunitas-komunitas kelas pekerja dan membuat paket dua upah (ayah dan
ibu atau suami dan istri sama-sama bekerja) menjadi suatu keharusan
dalam keluarga.
Disini kita bisa melihat bahwa lebih banyak kaum perempuan yang
memasuki pasar tenaga kerja sebagai akibat dari perubahan watak
kapitalisme serta memberi jalan pada penurunan upah karena dua upah
sudah jadi semakin lumrah. Bagi banyak perempuan hal ini jauh dari
pengalaman emansipasi karena mereka dipaksa masuk ke dalam sektor kerja
kontrak dan outsourcing, yang dibayar lebih sedikit dibanding rekan
laki-lakinya.
Jelas bahwa meskipun lebih banyak kaum perempuan yang masuk dunia
kerja, mereka terus dieksploitasi di dunia pekerjaan dan kerja mereka
digunakan untuk mengeksploitasi kelas pekerja secara keseluruhan. Patut
dicatat pula bahwa meskipun mayoritas perempuan kini bekerja, meeka
masih dituntut untuk menjalankan kebanyakan kegiatan-kegiatan
domestik-artinya mereka melakukan dua kerja sekaligus. Ini hanyalah
salah satu contoh penindasan perempuan di luar tempat kerja.
Pembebasan seksual selama abad terakhir telah memenangkan banyak
pencapaian bagi kaum perempuan, seperti hak terhadap perceraian dan
aborsi. Namun modernisasi hubungan dan sikap terhadap seks memang
mengakibatkan perubahan namun masih jauh dari mengakhiri penindasan
terhadap perempuan di ranah ini. Tuntutan-tuntutan baru berarti
alih-alih perempuan sekedar menjalankan peran dapur, sumur, kasur,
mereka kini juga dituntut menunjukkan perilaku seksual tertentu atau
kalau tidak akan dicap “alim”; namun kalau berlebihan juga akan dicap
“binal”. Pencitraan seksual yang meningkat kuat serta tuntutan seksual
juga turut menciptakan budaya sebagaimana yang ditunjukkan dalam
forum-forum seperti “Uni Lad” dimana perempuan dijadikan obyek seksual
dan kekerasan seksual termasuk perkosaan yang digambarkan sebagai suatu
guyonan.
Modenisasi dalam kapitalisme masih jauh dari mengakhiri penindasan
terhadap kaum perempuan, hanya watak penindasannya saja yang berubah.
Kaena itu mengakhiri penindasan ini hanya bisa dilakukan dalam
sosialisme dimana kerja domestik akan disosialiskan, dimana ekonomi
terencana yang secara dramatis mengurangi jam kerja dan meningkatkan jam
santai serta menghapus tekanan-tekanan ekonomi dan taktik devide et
impera (pecah belah lalu kuasai), demi mengakhii sikap dan perlakuan
negatif terhadap perempuan.
Apa yang Bisa Ditawarkan Sosialisme
Dengan sosialisme akan mengakhiri semua bentuk penindasan yang banyak
digunakan oleh sistem kapitalis, termasuk yang dihadapi oleh kaum
perempuan. Sementara kapitalisme bersandar pada aturan gender yang
ketat, sosialisme akan menyingkirkan semua pelabelan represif terhadap
semua individu. Hubungan-hubungan dan keluarga-keluarga yang sebelumnya
tidak tunduk pada nilai-nilai ideal monogami (sebagaimana yang dituntut
oleh kapitalisme untuk melacak pewarisan, tentu saja dengan bersandar
lebih kepada monogami perempuan daripada monogami laki-laki) akan
diterima secara sosial sebagaimana yang lainnya. Suatu masyarakat
sosialis akan tidak membutuhkan keluarga inti, yang mana seringkali di
hadapan penindasan tehadap perempuan, dibutuhkan untuk mewariskan hak
milik pribadi dan merawat serta menumbuhkan generasi pekerja berikutnya
yang disediakan untuk kapitalis.
Hal ini dicapai melalui jaminan kerja untuk semua orang, bersama
dengan pengurangan umum dalam jam kerja, dengan memberikan tiap pekerja
lebih banyak waktu untuk mereka lewatkan untuk apapun yang mereka suka,
termasuk untuk merawat keluarga mereka. Para pengusaha yaitu kaum
majikan akan dihapuskan sebagai satu bagian dari akhir kapitalisme, dan
dengan ini akan menghapuskan setiap bias berdasarkan jenis kelamin dalam
tempat kerja. Dengan jaminan atas suatu pekerjaan dan sosialisasi
tempat penitipan anak, kaum perempuan tidak harus terpaksa memilih
antara memiliki anak dan bekerja. Tak satupun pekerja yang akan
menghadapi bentuk diskriminasi atau penindasan apapun. Hal ini, seiring
dengan maternitas (keibuan) dan paternitas (kebapakan) yang setara dan
sistem pendidikan yang menekankan kesetaraan (termasuk kesetaraan
gender), akan membantu memerangi perilaku-perilaku seksis di masyaakat,
seperti tuntutan terhadap perempuan agar bersifat sesuai ‘kodrat’nya
yaitu mengurus rumah dan merawat keluarga.
Penitipan anak umum yang gratis adalah solusi sederhana untuk
meringankan tuntutan-tuntutan demikian sehingga membuat para orang tua
dari segala gender bebas bekerja sementara anaknya dirawat dengan baik.
Dalam sistem ekonomi saat ini, adalah perempuan yang menanggung beban
ganda jam kerja yang lebih pendek dan upah lebih rendah dibandingkan
rekan kerja laki-lakinya, sehingga berujung pada kesimpulan “logis”
bahwa dengan demikian wajar dan lebih baik bagi kaum perempuan untuk
bekerja di rumah, membersihkan, memasak, dan merawat serta membesarkan
anak-anak, serta sekian tuntutan masyarakat lainnya terhadap perempuan.
Perempuan juga dianggap sebagai sosok lemah lembut secara alami dengan
demikian dapat dihabiskan di tempat kerja, semua bergantung pada ampunan
dan belas kasihan kapitalis.
Selain itu juga akan terdapat perubahan menyeluruh terhadap banyak
institusi, yang ada dalam kapitalisme untuk mempromosikan dan
mereproduksi semua bentuk penindasan-termasuk diskriminasi terhadap
perempuan. Sistem legal, dengan budayanya yang terkenal keji atas
pengkambinghitaman terhadap korban, pemberian hukuman kriminal yang
lebih keras dan khususnya terhadap kaum perempuan, akan diubah secara
adikal, dan dijalankan di atas kepentingan kelas pekeja dan bukannya
kepentingan para majikan dan mereka yang berkuasa. Sistem perawatan
kesehatan akan membeikan perawatan yang akurat, dapat diandalkan, serta
menghargai kaum perempuan, dengan menginformasikan mengenai
pilihan-pilihan reproduktif yang bebas dari prasangka dan misinformasi.
Kita tidak bisa begitu saja menghapuskan keyakinan-keyakinan yang
dengan akut terinstitusionalisasikan dalam masyarakat melalui
kuota-kuota gender di kama-kamar pas dan kampanye-kampanye “real beauty”
atau “kecantikan sejati” dari raksasa-raksasa industri kosmetik. Kita
harus menolak dilacurkan oleh kekuatan-kekuatan kapitalis; hanya melalui
suatu sistem ekonomi sosialis dan perombakan terhadap pandangan sosial
yang menindas, lah, kita bisa mencapai kesetaraan sepenuhnya.
Akar Penindasan terhadap Perempuan
Terlepas dari kenyataan bahwa ini merupakan salah satu pertanyaan
yang paling jelas diajukan dalam fenomena sosial manapun, pertanyaan
mengenai akar penindasan perempuan adalah salah satu pertanyaan yang
jarang direspon dengan serius. Hal ini merupakan kepentingan tertinggi
bagi kita untuk memahami dari mana penindasan ini berakar, karena di
atas hal inilah terletak basis bagi hubungan antara masyarakat kelas dan
penindasan terhada[ kaum perempuan jadi jelas.
Penindasan terhadap perempuan adalah salah satu dari banyak bentuk
penindasan-temasuk rasisme, homophobia, dan seksisme-yang dihasilkan
dari suatu masyarakat yang berlandaskan penghisapan kelas terhadap
banyak orang demi keuntungan segelintir pihak. Dengan pemahaman ini kita
bisa juga mengembangkan gagasan-gagasan bagaimana memerangi penindasan
terhadap perempuan. Jelas hal ini melibatkan perjuangan untuk
memenangkan setiap reforma dan mengusung pertanyaan mengenai hak-hak
kaum perempuan; namun landasan perjuangan melawan penindasan terhadap
perempuan juga mengarah letaknya pada perjuangan kelas untuk sosialisme.
Sebagaimana yang didokumentasikan melalui karya Engels “Asal-Usul
Keluarga, Negaa, dan Hak Milik Pribadi”, penindasan dan degradasi
perempuan tidak melulu hadir sepanjang sejarah umat manusia. Benar bahwa
bahkan di awal sejarah manusia-di suatu periode yang disebut sebagai
‘komunisme primitif’, dimana kondisi-kondisi keterbelakangan berarti
suku-suku harus bekerjasama demi memenuhi kebutuhan dasar, dan juga
tidak ada nilai lebih untuk menghasilkan laba-kerja laki-laki dan
perempuan dibagi berdasarkan jenis kelamin. Untuk alasan-alasan biologis
perempuan perlu merawat anak-anak dan dengan demikian peran mereka
dalam produksi pangan berdasarkan pengumpulan dekat tempat tinggal
sementara laki-laki berburu. Bagaimana pun juga terlepas dari pembagian
kerja, kaum perempuan tidak dipandang sebagai kaum yang inferior atau
lebih lemah dibandingkan kaum laki-laki dan status mereka terbantu
dengan fakta bahwa keluarga dilacak melalui garis ibu, karena tanpa
pernikahan dan ketaatan sebagai norma sosial mustahil memastikan siapa
bapak dari seorang anak.
Revolusi Neolithic memunculkan alat-alat dan domestifikasi binatang
yang muncul pertama kali dalam sejarah manusia, sehingga tidak hanya
memungkinkan pemenuhan kebutuhan dasar namun juga penciptaan nilai
lebih. Penciptaan nilai lebih menandai awal masyarakat kelas yang baru
karena kini mustahil bagi beberapa orang untuk menjual nilai lebih untuk
laba, maka mulai memunculkan perbedaan antara yang kaya dan miskin.
Sedangkan sebagian mulai menimbun kekayaan mereka juga mulai membeli
budak dan membayar orang lain untuk menggarap tanah; sehingga disini
kita menyaksikan contoh awal dari penggarap dan tuan tanah.
Proses ini mengakibatkan kaum perempuan dinilai sebagai kaum inferior
atau lebih lemah dibandingkan laki-laki di masyarakat, karena melalui
kerja laki-laki, lah, laba dihasilkan. Penciptaan nilai lebih juga
memunculkan hak waris. Semakin tinggi status seseorang berarti bahwa
keluarga tersebut dilacak melalui garis keturunan laki-laki, yang
kemudian mengharuskan pemaksaan kepatuhan perempuan. Disinilah kita
menyaksikan asal-usul pernikahan.
Penindasan terhadap eprempuan muncul dalam embrio masyarakat kelas
dan terus tumbuh ke dalam sistem kapitalisme dengan demikian penindasan
terhadap perempuan kian kompleks dan berurat akar. Demi membebaskan atau
mengemansipasikan perempuan, kita harus menggulingkan sistem yang
menciptakan dan diuntungkan melalui penindasan terhadap kaum perempuan.
Perjuangkan Pembebasan Perempuan! Perjuangkan Sosialisme!
Sebagaimana yang ditunjukkan di atas, kapitalisme dan penindasan
saling terhubung satu sama lain. Seksisme, sebagaimana rasisme,
ableisme, homophobia, dan berbagai bentuk penindasan lainnya, berasal
dari penindasan kelas; karena itu, demi menghapuskan semua bentuk
penindasan demikian, kita juga harus melawan kapitalisme. Pola ini bisa
dilacak perkembangannya selama revolusi Neolithic dan diikuti
keberadaannya yang terus berlangsung sebagaimana kita saksikan dalam
masyarakat modern.
Seksisme, rasisme, dan sebagainya-semua hal demikian digunakan oleh
para kapitalis untuk memecah belah tenaga kerja demi mecegah mereka
bersatu melawan musuh mereka yang sama dan yang sebenarnya, yaitu kaum
majikan dan kapitalis. Kapitalisme bersandar pada penindasan terhadap
mayoritas untuk mempertahankan kekuatan minoritas, dan penindasan
berkembang dengan subur dalam kesenjangan ekonomi dan sosial yang
diciptakan dalam sistem kapitalis.
Kita membutuhkan sosialisme dan suatu perjuangan untuk memenangkan
semua reforma yang mungkin diraih; langkah-langkah yang vital bagi
perlindungan dan emansipasi mendesak kaum perempuan. Kekerasan terhadap
perempuan, perilaku-perilaku masyarakat yang berbahaya, penyangkalan
atas pendidikan dan banyak bentuk diskriminasi gender brutal lainnya
harus dilawan sekuat dan secepat mungkin. Bagaimanapun, reforma-reforma
sosial juga punya batasan-batasan atas apa saja yang bisa diraih.
Sembari kita mendukung perjuangan pembebasan perempuan dan bergabung
dalam perjuangan untuk mengakhiri penindasan berbasis gender, solusinya
tidak terletak dalam feminisme borjuis, yang semata menyarankan
kesetaraan seks dan gender hanya di pucuk kekuasaan masyarakat. Ideologi
demikian tidak membantu mayoritas kaum perempuan, terutama kaena
mengabaikan bentuk-bentuk penindasan lainnya, dan hanya memperbolehkan
segelintir perempuan untuk meraih tingkat dan jenjang yang lebih tinggi
dalam masyarakat. Disini, sebagai majikan maupun sebagai politisi
borjuis, dan lainnya., mereka pada gilirannya akan menjalankan
penundukan baik terhadap pekerja laki-laki maupun perempuan, seringkali
tanpa menyadarinya. Inilah yang bisa dijanjikan kapitalisme dalam hal
kesetaraan: kesempatan yang langka untuk memilih menjadi kaum tertindas
atau kaum penindas.
Kesetaraan sepenuhnya hanya bisa dicapai melalui penghancuan terhadap
akar penindasan, yaitu kapitalisme. Sosialisme menuntut perlakuan
seatra terhadap semua orang, apapun jenis kelaminnya, ras, kebangsaan,
maupun orientasi seksnya. Reforma-reforma sosial harus diserasikan
dengan ekonomi terencana untuk menjamin suatu masyarakat yang bebas dari
diskriminasi dan penundukan terhadap semua orang, baik di tempat kerja,
di perawatan kesehatan, dan di sistem legal, sebagaimanapula di dunia
mayar, di jalanan, dan juga di rumah. Sosialisme tidak butuh penindasan;
karena suatu ekonomi sosialis menjamin dan bergantung pada
penjunjungtinggian perlakuan yang adil dan setara bagi semua warga.
Sebagai suatu organisasi kami mendukung kesetaraan bagi semua orang
dan bertujuan melawan semua bentuk penindasan sekaligus melawan akarnya
yaitu kapitalisme. Kami menyediakan suatu tempat diskusi yang aman dan
berkomitmen untuk memberikan analisis Marxis yang akurat terhadap
isu-isu terkini sekaligus menawarkan solusi sosialis.
*ditulis oleh Rachel Gibbs dan Claire Martin pada Senin 9 September
2013 dengan judul asli “Women’s Oppression: Where It Comes From and How
to Fight It” sebagaimana yang dimuat di marxist.com dan socialist.net. Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan dipublikasikan kembali via Bumi Rakyat.
Source : Bumi Rakyat
Saya adalah Peziarah Kehidupan yang berkelana di Ilalang Kebebasan, demi mencari kehidupan yang menghidupkan untuk mengusik Duka Nestapa di Negeri Hitamku.
.
bagikan kontent ini!
Diposting Oleh : Unknown -
Kolom
Perempuan
Artikel dan Gambar Terkait
Komentar Anda :