Published On:Wednesday, 23 September 2015
Posted by Unknown
Antara “Hak” dan “Kemampuan” Menjadi Pemimpin dalam Konteks Demokrasi
Ketika hendak mencalonkan diri dalam momentum pemilihan tertentu
(sebut saja contohnya: pemilihan anggota legislatif di berbagai
tingkatan, pemilihan presiden, dan pemilihan kepala daerah) untuk
menduduki jabatan tertentu, seorang calon sering mengatakan, “Saya punya
mencalonkan diri menjadi ….” Pernyataan seperti ini tentu saja benar,
sebab dalam konteks demokrasi setiap orang berhak mencalonkan diri untuk
menduduki jabatan tertentu, tentu saja dengan kewajiban memenuhi
sejumlah persyaratan sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Demokrasi diantaranya mengandung unsur yang esensial; (1) kebebasan
untuk mencalon diri sebagai pemimpin, dan (2) kebebasan untuk dipilih
menjadi pemimpin. Keterkaitan erat antara kedua unsur ini akan
menentukan “siapa yang menjadi pemimpin”.
Ilustrasi |
Soal siapa yang menjadi
pemimpin, tergantung siapa yang mencalonkan diri dan siapa yang
dipilih. Dalam konteks demokrasi, dengan adanya kebebasan seperti itu,
yang selalu menjadi persoalan adalah “pemimpin yang bagaimana”. Hal ini
tentu saja berkaitan erat dengan “kemampuan”. Apakah orang yang
menggunakan haknya, memcalonkan diri, dan terpilih menjadi pemimpin
adalah orang yang mampu? Ini pertanyaan penting yang seringkali luput
dan hilang dalam dinamika demokrasi. Pertanyaan lain pun muncul, apakah
“hak” perlu digunakan sembarang (secara bodoh) tanpa harus
mempertimbangkan aspek “kemampuan” dan “kelayakan” untuk menjadi
pemimpin?
Pemimpin yang ideal, setidaknya wajib memiliki tiga
kemampuan secara memadai dan berimbang, yakni (1) kemampuan intelektual
(IQ), (2) kemampuan emosional (EQ), dan kemampuan spiritual (SQ).
Seorang calon pemimpin harus mempunyai modal intelektual yang memadai,
harus mempunyai modal emosional yang memadai, dan mempunyai kemampuan
spiritual yang memadai. Dan idealnya ketiga kemampuan ini harus
seimbang. Keseimbangan kemampuan inilah yang akan menentukan kualitas
seseorang, yang dalam konteks ini akan menentukan keberhasilan
kepemimpinan apabila seorang calon terpilih menjadi pemimpin.
Karena itu, dalam menggunakan “hak” menjadi calon pemimpin kedepan,
seorang sebagai calon maupun masyarakat sebagai pemilih harus menyadari
hal ini. Di satu sisi, seseorang berhak menjadi calon pemimpin dan
terpilih menjadi pemimpin, tetapi hal itu harus ditunjang oleh kesadaran
akan kemampuannya untuk memimpin. Jika merasa belum mampu, dalam arti
kemampuan intelektualnya, kemampuan emosionalnya, dan kemampuan
spiritualnya masih minim dan tak berimbang, alangkah baiknya tidak
mencalonkan diri menjadi pemimpin. Begitu juga bagi masyarakat sebagai
pemilih, harus bijaksana menilai seseorang calon pemimpin. Apabila
seorang calon pemimpin tidak mempunyai ketiga kemampuan tersebut secara
memadai dan berimbang, maka tidak perlu memilih mereka.
Mengapa
seorang calon pemimpin dan masyarakat harus bertindak demikian? Sebab
seorang pemimpin tidak hidup dan memimpin di ruang hampa. Seorang
pemimpin hendak memimpin rakyatnya dalam “kedinamisan” kehidupan (bukan
“kestatisan” kehidupan). Kedinamisan kehidupan hanya mampu dikendalikan
oleh “orang mampu”, bukan oleh “orang abal-abalan”. Apapun alasannya,
hanya orang yang mempunyai kemampuan intelektual, kemampuan emosioanl,
dan kemampuan spiritual secara memadai dan berimbanglah yang layak
menjadi pemimpin untuk memimpin rakyatnya dari kehidupan yang kurang
baik dan benar menuju kehidupan yang lebih baik dan benar.
Apakah
kita masih mau (secara bodoh) menggunakan “hak” secara sembarang
(bahkan mungkin ambisius) untuk mencalonkan diri sebagai pemimpin tanpa
mempertimbangkan aspek “kemampuan” kita? Apakah kita masih mau (secara
bodoh) menggunakan “hak” secara sembarang (bahkan mungkin ambisius)
untuk memilih pemimpin tanpa mempertimbangkan aspek “kemampuan” yang
dimilikinya?
(Dumupa Odiyaipai)