Published On:Monday, 5 January 2015
Posted by Unknown
Peluang Kemajuan Perempuan Papua dalam Otonomi Khusus
Mama-Mama Papua Sedang Rajut Noken |
Otonomi Khusus memberi tempat sentral bagi kaum perempuan Papua duduk dalam Majelis Rakyat Papua (MRP). Mereka diberi kesempatan menunjukkan komitmen memperbaiki nasib perempuan dan hak-hak dasar masyarakat Papua. Dari 42 anggota MRP, 14 di antaranya berasal dari unsur perempuan yang dipilih secara demokratis melalui distrik (desa), kecamatan, dan kabupaten.
Anggota tim perumus MRP dari unsur perempuan, Golda Aronggear di Jayapura, Kamis (29/8), mengatakan, 14 anggota MRP dari unsur perempuan dipilih secara demokratis di tingkat distrik, kecamatan, dan kabupaten, bukan atas penunjukan pejabat setempat. Mereka tidak mewakili kabupaten tersebut, tetapi seluruh kaum perempuan di Papua.
Termasuk dalam kaum perempuan Papua adalah semua perempuan yang berdiam di Papua baik warga keturunan Tionghoa, warga pendatang, peranakan, dan terpenting adalah perempuan suku asli Papua. Unsur terakhir ini mendapat penekanan khusus dalam setiap perjuangan wakil-wakil perempuan di MRP.
Keanggotaan perempuan di MRP berdasarkan kapasitas, kemampuan, integritas, kemampuan memobilisasi massa, dan perjuangan mereka terhadap persoalan yang dihadapi masyarakat Papua termasuk kaum perempuan sendiri.
Kewenangan MRP memberi pertimbangan, kritik, usul, saran, membatalkan, dan memperjuangkan hak masyarakat asli Papua. MRP tidak membuat produk hukum dan mengeluarkan keputusan, tetapi lebih banyak berperan sebagai penjaga dan pengawas pembangunan secara keseluruhan terutama menyangkut hak-hak orang asli Papua.
Oleh karena itu wajar bila lahir pertanyaan dari berbagai kalangan, sejauh mana daya kritik dan analisis yang dimiliki MRP termasuk kaum perempuan terhadap kebijakan pemerintah provinsi dan DPRP? Keberanian berbicara, memberi masukan dan kritikan terhadap satu peraturan (kebijakan) harus dilandasi kemampuan menilai, menganalisis, mempertimbangkan, dan memberikan jalan keluar yang tepat, akurat, dan benar.
***
SEKRETARIS Daerah Papua Decky Asmuruf mengatakan, penduduk asli Papua yang sudah melek huruf hanya 20 persen. Dari jumlah ini 85 persen didominasi kaum pria sedangkan kaum perempuan hanya 15 persen. Jika demikian, seperti apakah kualitas perempuan di MRP yang mewakili 1,2 juta perempuan Papua?
Mereka harus mampu membawa suara 1,2 juta perempuan yang hidup dalam keterbelakangan, ketertindasan, kemiskinan, kebodohan, diperlakukan tidak adil oleh suami, mendapat tekanan adat dan budaya, serta harus menjalankan multiperan sebagai ibu rumah tangga dan membantu suami mencari rezeki.
Direktur Yayasan Perempuan Papua, Yusan Yeblo berpendapat, keanggotaan MRP dari unsur perempuan tidak memberi batasan tingkat pendidikan dan usia. Menurut Yeblo, mampu membaca dan menulis, diterima masyarakat, mempunyai massa, akhlak dan moral yang baik, dapat dipilih menjadi anggota MRP.
Yang dibutuhkan adalah orang yang berhati nurani, memiliki pendirian, semangat kontrol, peka atas tuntutan dan aspirasi masyarakat, dan tidak mudah dipengaruhi pihak luar. Berani memperjuangkan kebenaran dan keadilan, berbicara jujur, terbuka, dan memiliki integritas kepribadian yang tinggi. Tidak mudah redup di hadapan tawaran uang demi kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN).
Ia memberi contoh, Mama Yosepha Alomang, walau tidak memiliki pendidikan tinggi, tetapi mempunyai integritas dan harga diri yang kuat. Dengan mata hati dan kata hati, ia mampu membedakan yang baik dan buruk. Berani berteriak lantang demi perjuangan kemanusiaan dan hak-hak masyarakat suku Amungme khususnya dan warga Papua umumnya.
***
YEBLO yang juga Koordinator Jaringan Kerja Sama Kesehatan Perempuan dan Anak Kawasan Indonesia Timur (JKPIT) ini menilai, unsur perempuan di dalam MRP harus membawa sifat khas di dalam lembaga itu. Sebanyak 14 perempuan ditambah kaum perempuan dari unsur adat dan agama, tentu memiliki andil besar di dalam MRP.
Perempuan pada prinsipnya memiliki sejumlah sifat dasar yang jarang dimiliki kaum pria, seperti ketelitian, perhatian terhadap hal kecil, masalah rumah tangga, empati terhadap persoalan sosial dan pelanggaran HAM, hemat, dan seterusnya, menjadi dasar untuk mengontrol pemerintah dan memperjuangkan hak-hak dasar perempuan dan masyarakat Papua.
"Memang sampai saat ini kami belum tahu siapa saja yang akan duduk di MRP. Masih rahasia. Saya sendiri tidak masuk dan lebih suka berada di luar sebagai pengontrol," kata Yusan Yeblo.
Perempuan yang sering mengikuti berbagai seminar dan lokakarya mengenai perempuan dan anak-anak di dalam dan di luar negeri ini mengatakan, banyak kaum perempuan setelah masuk dalam suatu organisasi yang terkait dengan birokrasi pemerintah, gaya berpikir dan tingkah lakunya mulai berubah. Mereka cenderung berpikir seperti kaum pria dan lupa memperjuangkan hak dasar perempuan.
Padahal, sebelumnya mereka sangat gencar berbicara mengenai ketimpangan terhadap perempuan oleh kepentingan kekuasaan, politik, adat, dan paham kesatuan dan persatuan bangsa.
Tidak hanya melalui MRP, tetapi di DPRP (Dewan Perwakilan Rakyat Papua) pun kaum perempuan dapat memperjuangkan hak dan martabat perempuan secara khusus. Pengalaman penindasan terhadap perempuan, ketidakadilan, dan pelanggaran HAM perempuan semestinya diperjuangkan perempuan di lembaga itu. Tetapi, sikap itu tidak terlihat dari perempuan sendiri di DPRP.
"Ini yang kami khawatirkan dengan keanggotaan 14 anggota perempuan di MRP. Tetapi, kami masih membangun kerja sama dan saling membagi informasi sehingga masih saling mengingatkan. Kalau teman-teman itu sudah mendapat sorotan dari masyarakat, kita coba berbisik kepada mereka. Pada masa otonomi khusus, yang lebih banyak berperan di segala sendi kehidupan masyarakat dan pemerintah daerah adalah uang. Uang adalah raja. Siapa menguasai uang ia memiliki dan mengendalikan massa," tutur Yeblo.
Jangan sampai lembaga MRP yang berfungsi sebagai alat kontrol terhadap kinerja gubernur dan DPRP akhirnya memiliki mental dan gaya berpikir birokrasi. Ini perlu dihindari sehingga tidak menimbulkan kekecewaan masyarakat.
***
KETUA Aliansi Perempuan Papua, Ny Beatriks Koibur mengatakan, tanggung jawab kaum perempuan di dalam MRP tidak ringan. Mereka harus memperjuangkan hak, martabat, dan adat istiadat yang memposisikan perempuan di bawah kaum pria.
Di sisi lain, mereka juga harus memperjuangkan masalah besar yang sedang dihadapi masyarakat Papua, misalnya, persoalan pendidikan, kesehatan, ekonomi masyarakat, pertanian, perkebunan, kependudukan, dan masalah sosial seperti kecenderungan mabuk, pesta-pesta, dan seterusnya.
Persoalan yang dihadapi perempuan Papua sangat kompleks. Misalnya, pelanggaran HAM terhadap perempuan dan anak-anak, pemerkosaan, pengabaian hak demokrasi perempuan, keterbelakangan pendidikan, kesehatan kaum ibu yang sangat rendah, tidak diperhatikan dalam hak warisan, memikul beban tanggung jawab yang besar dalam mengurus dan mendidik anak-anak.
Sudah ribuan bahkan jutaan air mata kaum perempuan Papua meratapi kematian anak-anak yang mati di tanah ini oleh orang-orang yang menyebut diri sebagai pelindung masyarakat Papua. Sakit hati perempuan Papua pada masa Orde Baru hingga hari ini belum pulih. Masih terjadi pembunuhan yang menewaskan putra-putri Papua.
Koibur sendiri pun tidak tahu siapa saja kaum perempuan yang namanya telah masuk ke Jakarta sebagai anggota MRP dari unsur perempuan. "Kami harapkan kelompok ini bisa berperan ganda, memperjuangkan hak dan martabat perempuan tetapi juga hak-hak dasar masyarakat Papua. Perjuangan itu tidak terfokus pada perempuan saja tetapi masyarakat Papua yang sedang tertindas ini," katanya.
***
PEKERJAAN yang menanti anggota MRP, yang terpenting adalah bagaimana mereka dapat berjuang menekan pelanggaran HAM terhadap perempuan dan anak-anak di Papua. Ke depan para pelaku pelanggaran HAM tersebut wajib dibawa ke pengadilan.
Penderitaan perempuan pada masa Orde Baru dengan berbagai trauma batin menjadi titik tolak bagi anggota perempuan di MRP untuk menyusun strategi ke depan. Hukum harus ditegakkan di segala lapisan masyarakat tanpa rekayasa, dan campur tangan dari pihak lain. Berikut, masalah pendidikan perempuan. Masih banyak orangtua di Papua menilai pendidikan bagi anak-anak perempuan hanya menghamburkan biaya karena perempuan setelah menikah akan melayani keluarga pria. Keadaan ini harus diubah, karena perempuan Papua juga bisa maju dan menjadi pemimpin bila mendapat pendidikan yang memadai.
MRP dari unsur perempuan sebaiknya mengusulkan ke DPRP untuk mengeluarkan produk hukum atau perangkat peraturan mengatur persamaan hak dan peran antara perempuan dan laki-laki dalam keluarga. Perilaku kaum pria yang selama ini selalu menempatkan perempuan kelas dua harus dihentikan.
"Tindakan ini selain menjaga keutuhan rumah tangga juga menekan laju perkembangan HIV/AIDS dan membentuk generasi muda yang sehat dan bebas dari gangguan penyakit," kata Yeblo. / (KORNELIS KEWA AMA)
Anggota tim perumus MRP dari unsur perempuan, Golda Aronggear di Jayapura, Kamis (29/8), mengatakan, 14 anggota MRP dari unsur perempuan dipilih secara demokratis di tingkat distrik, kecamatan, dan kabupaten, bukan atas penunjukan pejabat setempat. Mereka tidak mewakili kabupaten tersebut, tetapi seluruh kaum perempuan di Papua.
Termasuk dalam kaum perempuan Papua adalah semua perempuan yang berdiam di Papua baik warga keturunan Tionghoa, warga pendatang, peranakan, dan terpenting adalah perempuan suku asli Papua. Unsur terakhir ini mendapat penekanan khusus dalam setiap perjuangan wakil-wakil perempuan di MRP.
Keanggotaan perempuan di MRP berdasarkan kapasitas, kemampuan, integritas, kemampuan memobilisasi massa, dan perjuangan mereka terhadap persoalan yang dihadapi masyarakat Papua termasuk kaum perempuan sendiri.
Kewenangan MRP memberi pertimbangan, kritik, usul, saran, membatalkan, dan memperjuangkan hak masyarakat asli Papua. MRP tidak membuat produk hukum dan mengeluarkan keputusan, tetapi lebih banyak berperan sebagai penjaga dan pengawas pembangunan secara keseluruhan terutama menyangkut hak-hak orang asli Papua.
Oleh karena itu wajar bila lahir pertanyaan dari berbagai kalangan, sejauh mana daya kritik dan analisis yang dimiliki MRP termasuk kaum perempuan terhadap kebijakan pemerintah provinsi dan DPRP? Keberanian berbicara, memberi masukan dan kritikan terhadap satu peraturan (kebijakan) harus dilandasi kemampuan menilai, menganalisis, mempertimbangkan, dan memberikan jalan keluar yang tepat, akurat, dan benar.
***
SEKRETARIS Daerah Papua Decky Asmuruf mengatakan, penduduk asli Papua yang sudah melek huruf hanya 20 persen. Dari jumlah ini 85 persen didominasi kaum pria sedangkan kaum perempuan hanya 15 persen. Jika demikian, seperti apakah kualitas perempuan di MRP yang mewakili 1,2 juta perempuan Papua?
Mereka harus mampu membawa suara 1,2 juta perempuan yang hidup dalam keterbelakangan, ketertindasan, kemiskinan, kebodohan, diperlakukan tidak adil oleh suami, mendapat tekanan adat dan budaya, serta harus menjalankan multiperan sebagai ibu rumah tangga dan membantu suami mencari rezeki.
Direktur Yayasan Perempuan Papua, Yusan Yeblo berpendapat, keanggotaan MRP dari unsur perempuan tidak memberi batasan tingkat pendidikan dan usia. Menurut Yeblo, mampu membaca dan menulis, diterima masyarakat, mempunyai massa, akhlak dan moral yang baik, dapat dipilih menjadi anggota MRP.
Yang dibutuhkan adalah orang yang berhati nurani, memiliki pendirian, semangat kontrol, peka atas tuntutan dan aspirasi masyarakat, dan tidak mudah dipengaruhi pihak luar. Berani memperjuangkan kebenaran dan keadilan, berbicara jujur, terbuka, dan memiliki integritas kepribadian yang tinggi. Tidak mudah redup di hadapan tawaran uang demi kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN).
Ia memberi contoh, Mama Yosepha Alomang, walau tidak memiliki pendidikan tinggi, tetapi mempunyai integritas dan harga diri yang kuat. Dengan mata hati dan kata hati, ia mampu membedakan yang baik dan buruk. Berani berteriak lantang demi perjuangan kemanusiaan dan hak-hak masyarakat suku Amungme khususnya dan warga Papua umumnya.
***
YEBLO yang juga Koordinator Jaringan Kerja Sama Kesehatan Perempuan dan Anak Kawasan Indonesia Timur (JKPIT) ini menilai, unsur perempuan di dalam MRP harus membawa sifat khas di dalam lembaga itu. Sebanyak 14 perempuan ditambah kaum perempuan dari unsur adat dan agama, tentu memiliki andil besar di dalam MRP.
Perempuan pada prinsipnya memiliki sejumlah sifat dasar yang jarang dimiliki kaum pria, seperti ketelitian, perhatian terhadap hal kecil, masalah rumah tangga, empati terhadap persoalan sosial dan pelanggaran HAM, hemat, dan seterusnya, menjadi dasar untuk mengontrol pemerintah dan memperjuangkan hak-hak dasar perempuan dan masyarakat Papua.
"Memang sampai saat ini kami belum tahu siapa saja yang akan duduk di MRP. Masih rahasia. Saya sendiri tidak masuk dan lebih suka berada di luar sebagai pengontrol," kata Yusan Yeblo.
Perempuan yang sering mengikuti berbagai seminar dan lokakarya mengenai perempuan dan anak-anak di dalam dan di luar negeri ini mengatakan, banyak kaum perempuan setelah masuk dalam suatu organisasi yang terkait dengan birokrasi pemerintah, gaya berpikir dan tingkah lakunya mulai berubah. Mereka cenderung berpikir seperti kaum pria dan lupa memperjuangkan hak dasar perempuan.
Padahal, sebelumnya mereka sangat gencar berbicara mengenai ketimpangan terhadap perempuan oleh kepentingan kekuasaan, politik, adat, dan paham kesatuan dan persatuan bangsa.
Tidak hanya melalui MRP, tetapi di DPRP (Dewan Perwakilan Rakyat Papua) pun kaum perempuan dapat memperjuangkan hak dan martabat perempuan secara khusus. Pengalaman penindasan terhadap perempuan, ketidakadilan, dan pelanggaran HAM perempuan semestinya diperjuangkan perempuan di lembaga itu. Tetapi, sikap itu tidak terlihat dari perempuan sendiri di DPRP.
"Ini yang kami khawatirkan dengan keanggotaan 14 anggota perempuan di MRP. Tetapi, kami masih membangun kerja sama dan saling membagi informasi sehingga masih saling mengingatkan. Kalau teman-teman itu sudah mendapat sorotan dari masyarakat, kita coba berbisik kepada mereka. Pada masa otonomi khusus, yang lebih banyak berperan di segala sendi kehidupan masyarakat dan pemerintah daerah adalah uang. Uang adalah raja. Siapa menguasai uang ia memiliki dan mengendalikan massa," tutur Yeblo.
Jangan sampai lembaga MRP yang berfungsi sebagai alat kontrol terhadap kinerja gubernur dan DPRP akhirnya memiliki mental dan gaya berpikir birokrasi. Ini perlu dihindari sehingga tidak menimbulkan kekecewaan masyarakat.
***
KETUA Aliansi Perempuan Papua, Ny Beatriks Koibur mengatakan, tanggung jawab kaum perempuan di dalam MRP tidak ringan. Mereka harus memperjuangkan hak, martabat, dan adat istiadat yang memposisikan perempuan di bawah kaum pria.
Di sisi lain, mereka juga harus memperjuangkan masalah besar yang sedang dihadapi masyarakat Papua, misalnya, persoalan pendidikan, kesehatan, ekonomi masyarakat, pertanian, perkebunan, kependudukan, dan masalah sosial seperti kecenderungan mabuk, pesta-pesta, dan seterusnya.
Persoalan yang dihadapi perempuan Papua sangat kompleks. Misalnya, pelanggaran HAM terhadap perempuan dan anak-anak, pemerkosaan, pengabaian hak demokrasi perempuan, keterbelakangan pendidikan, kesehatan kaum ibu yang sangat rendah, tidak diperhatikan dalam hak warisan, memikul beban tanggung jawab yang besar dalam mengurus dan mendidik anak-anak.
Sudah ribuan bahkan jutaan air mata kaum perempuan Papua meratapi kematian anak-anak yang mati di tanah ini oleh orang-orang yang menyebut diri sebagai pelindung masyarakat Papua. Sakit hati perempuan Papua pada masa Orde Baru hingga hari ini belum pulih. Masih terjadi pembunuhan yang menewaskan putra-putri Papua.
Koibur sendiri pun tidak tahu siapa saja kaum perempuan yang namanya telah masuk ke Jakarta sebagai anggota MRP dari unsur perempuan. "Kami harapkan kelompok ini bisa berperan ganda, memperjuangkan hak dan martabat perempuan tetapi juga hak-hak dasar masyarakat Papua. Perjuangan itu tidak terfokus pada perempuan saja tetapi masyarakat Papua yang sedang tertindas ini," katanya.
***
PEKERJAAN yang menanti anggota MRP, yang terpenting adalah bagaimana mereka dapat berjuang menekan pelanggaran HAM terhadap perempuan dan anak-anak di Papua. Ke depan para pelaku pelanggaran HAM tersebut wajib dibawa ke pengadilan.
Penderitaan perempuan pada masa Orde Baru dengan berbagai trauma batin menjadi titik tolak bagi anggota perempuan di MRP untuk menyusun strategi ke depan. Hukum harus ditegakkan di segala lapisan masyarakat tanpa rekayasa, dan campur tangan dari pihak lain. Berikut, masalah pendidikan perempuan. Masih banyak orangtua di Papua menilai pendidikan bagi anak-anak perempuan hanya menghamburkan biaya karena perempuan setelah menikah akan melayani keluarga pria. Keadaan ini harus diubah, karena perempuan Papua juga bisa maju dan menjadi pemimpin bila mendapat pendidikan yang memadai.
MRP dari unsur perempuan sebaiknya mengusulkan ke DPRP untuk mengeluarkan produk hukum atau perangkat peraturan mengatur persamaan hak dan peran antara perempuan dan laki-laki dalam keluarga. Perilaku kaum pria yang selama ini selalu menempatkan perempuan kelas dua harus dihentikan.
"Tindakan ini selain menjaga keutuhan rumah tangga juga menekan laju perkembangan HIV/AIDS dan membentuk generasi muda yang sehat dan bebas dari gangguan penyakit," kata Yeblo. / (KORNELIS KEWA AMA)