Published On:Monday, 5 January 2015
Posted by Unknown
Mas Kawin Jadi Simbol Status Sosial
Tradisi Acara Mas Kawin di Sorong Papua/ Foto.Ist |
Sebagai anak kepala suku saja, saya diperlakukan seperti hamba dalam keluarga. Pembagian harta warisan tanah ulayat tidak pernah saya dapat. Padahal, saya anak perempuan sulung di dalam keluarga. Saya dijual kepada pihak keluarga pria dengan beban mas kawin yang tinggi. Mas kawin yang tinggi membuat saya tidak bebas dalam hidup perkawinan. Saya harus bertindak menyenangkan hati semua anggota keluarga pria," kata Ny Alfina Tabuni, dari suku Dani di Jayapura, Rabu (12/9).
Menurut Ketua Lembaga Penelitian Universitas Cenderawasih Dr J Mansoben, di Jayapura, mas kawin bagi sebagian besar suku di Irian Jaya (Irja) adalah ternak babi. Di Oksibil, Jayawijaya, misalnya satu ternak babi dinilai antara Rp 3 juta-Rp 5 juta tergantung besar kecilnya hewan tersebut.
Satu perempuan rata-rata mendapat mas kawin antara tiga-lima ekor babi untuk masyarakat biasa. Anak kepala suku antara 5-10 ekor. Mendampingi babi biasanya diberikan juga kerang, kapak batu, busur dan panah, gigi anjing, tulang burung kasuari, dan kuskus. Mas kawin tersebut harus ditanggung pihak keluarga pria secara bergotong royong.
Sekretaris Lembaga Adat Irian Jaya Max Sibin, menambahkan, babi menjadi mas kawin karena sebagai binatang yang dapat dikonsumsi satu kelompok besar masyarakat, dan bernilai sosial tinggi. Ketangkasan menangkap babi di hutan juga menunjukkan ketangkasan pria mendapatkan gadis.
Mansoben yang lulusan Universitas Leiden menjelas-kan, babi menjadi mas kawin karena babi adalah binatang yang sangat dekat dengan masyarakat sejak nenek moyang, bernilai sosial karena dagingnya dapat dibagi-bagi kepada semua anggota keluarga, dan menjadi simbol status sosial seseorang. Makin banyak babi yang dipelihara, status sosial orang itu makin tinggi di dalam masyarakat. Sebaliknya, memiliki banyak babi bakal mendapatkan istri lebih dari satu. Mas kawin berupa babi dan pendampingnya harus ada dalam adat meminang perempuan. Jika tidak ada mas kawin, status sosial keluarga runtuh sama sekali. Perempuan dinilai tidak berarti, perempuan murahan, dan orangtua tidak memiliki adat dalam masyarakat.
PEMILIHAN jodoh dilakukan orangtua. Faktor eksogami dan faktor hubungan saudara sepupu pihak saudara pria dari garis ibu kuat dalam pemilihan jodoh. Perkawinan antara saudara sepupu dari pihak saudara pria dari garis ayah dilarang adat. Lamaran yang disetujui, disertai penetapan mas kawin. Besarnya mas kawin tergantung status sosial keluarga wanita. Jika ia anak dari ondoafi, kepala suku, mas kawin sangat tinggi, antara 5-10 ekor ternak babi dengan berat antara 100 kg-150 kg. Seekor babi dihargai Rp 5 juta-Rp 10 juta. Masyarakat biasa, biasanya menyerahkan babi antara tiga-lima ekor, tergantung negosiasi antara ketua adat kedua pihak.
Betapa sulitnya mendapatkan uang sebesar itu bagi masyarakat di pedalaman. Beruntung kalau pria bersangkutan selama masa remaja telah memelihara babi dalam jumlah besar. Jika tidak, ia harus menanggung beban utang sangat besar, sampai pada anak cucu.
Jika kedua pasang suami istri tidak mampu membayar mas kawin mereka tetap mempunyai utang sampai kepada anak dan cucu. Pemberian mas kawin dapat berupa pemberian babi kepada paman dan saudara pria istri. Mas kawin yang diberikan pihak keluarga pria harus sesuai kesepakatan awal. Biasanya tuntutan besarnya mas kawin sesuai besarnya jumlah anggota suku (keluarga) dari pihak wanita. Mereka semua akan mendapat bagian dari mas kawin tersebut. Keluarga inti yakni bapak, ibu, dan saudara pria berhak mendapatkan ternak babi sedangkan di luar keluarga inti hanya mendapatkan manik-manik, tulang kasuari, dan tulang kuskus.
Mansoben membenarkan beberapa tahun lalu pada suku Muyu dan Marit di pedalaman Merauke, keterlibatan keluarga pihak pria dalam mengadakan mas kawin juga memberi kesempatan kepada semua kaum pria di dalam suku itu mengambil bagian untuk menikahi perempuan. Hubungan seks yang dilakukan pihak keluarga pria tersebut sebagai tanda bahwa anak yang dilahirkan adalah turunan dari suku tersebut, menjadi milik suku dan diterima semua anggota suku.
Perempuan tidak boleh menolak karena telah dibayar mahal dan melibatkan semua anggota suku kaum pria. Tetapi, tradisi ini perlahan-lahan mulai punah oleh tekanan gereja dan pemerintah. Oleh karena sang istri dibayar dengan mas kawin tinggi oleh pihak keluarga pria, maka ia juga harus menyenangkan mereka semua. Misalnya, bekerja sampai larut malam dan pagi hari ketika semua orang belum bangun tidur ia sudah bangun menyiapkan makanan dan seterusnya.
Ny Alfina Tabuni mengatakan, walaupun makanan di dalam rumah sama sekali kosong, tetapi demi menyenangkan anggota keluarga pihak pria, perempuan harus berusaha mendapatkan makanan. Karena itu ia berusaha bekerja di ladang menanam umbi-umbian sebanyak mungkin untuk kebutuhan hidup anak, suami, dan anggota keluarga pihak pria. "Bangun pagi siapkan makanan sambil menggendong anak, sementara suami belum bangun tidur. Begitu bangun ia langsung sarapan kemudian berangkat ke hutan berburu. Saya bersama anak, usai memasak untuk suami, kemudian mencuci di sungai, kemudian pergi ke kebun. Anak tetap digendong di bagian belakang dengan kain noken," katanya. "Kami perempuan itu kerja tidak pernah habis-habisnya. Tetapi, hidup kami tetap miskin seperti ini. Kami kerja hanya untuk makan hari ini, besok pergi cari lagi di hutan atau dikebun," kata Ny Tabuni.
Menurut Ketua Lembaga Penelitian Universitas Cenderawasih Dr J Mansoben, di Jayapura, mas kawin bagi sebagian besar suku di Irian Jaya (Irja) adalah ternak babi. Di Oksibil, Jayawijaya, misalnya satu ternak babi dinilai antara Rp 3 juta-Rp 5 juta tergantung besar kecilnya hewan tersebut.
Satu perempuan rata-rata mendapat mas kawin antara tiga-lima ekor babi untuk masyarakat biasa. Anak kepala suku antara 5-10 ekor. Mendampingi babi biasanya diberikan juga kerang, kapak batu, busur dan panah, gigi anjing, tulang burung kasuari, dan kuskus. Mas kawin tersebut harus ditanggung pihak keluarga pria secara bergotong royong.
Sekretaris Lembaga Adat Irian Jaya Max Sibin, menambahkan, babi menjadi mas kawin karena sebagai binatang yang dapat dikonsumsi satu kelompok besar masyarakat, dan bernilai sosial tinggi. Ketangkasan menangkap babi di hutan juga menunjukkan ketangkasan pria mendapatkan gadis.
Mansoben yang lulusan Universitas Leiden menjelas-kan, babi menjadi mas kawin karena babi adalah binatang yang sangat dekat dengan masyarakat sejak nenek moyang, bernilai sosial karena dagingnya dapat dibagi-bagi kepada semua anggota keluarga, dan menjadi simbol status sosial seseorang. Makin banyak babi yang dipelihara, status sosial orang itu makin tinggi di dalam masyarakat. Sebaliknya, memiliki banyak babi bakal mendapatkan istri lebih dari satu. Mas kawin berupa babi dan pendampingnya harus ada dalam adat meminang perempuan. Jika tidak ada mas kawin, status sosial keluarga runtuh sama sekali. Perempuan dinilai tidak berarti, perempuan murahan, dan orangtua tidak memiliki adat dalam masyarakat.
PEMILIHAN jodoh dilakukan orangtua. Faktor eksogami dan faktor hubungan saudara sepupu pihak saudara pria dari garis ibu kuat dalam pemilihan jodoh. Perkawinan antara saudara sepupu dari pihak saudara pria dari garis ayah dilarang adat. Lamaran yang disetujui, disertai penetapan mas kawin. Besarnya mas kawin tergantung status sosial keluarga wanita. Jika ia anak dari ondoafi, kepala suku, mas kawin sangat tinggi, antara 5-10 ekor ternak babi dengan berat antara 100 kg-150 kg. Seekor babi dihargai Rp 5 juta-Rp 10 juta. Masyarakat biasa, biasanya menyerahkan babi antara tiga-lima ekor, tergantung negosiasi antara ketua adat kedua pihak.
Betapa sulitnya mendapatkan uang sebesar itu bagi masyarakat di pedalaman. Beruntung kalau pria bersangkutan selama masa remaja telah memelihara babi dalam jumlah besar. Jika tidak, ia harus menanggung beban utang sangat besar, sampai pada anak cucu.
Jika kedua pasang suami istri tidak mampu membayar mas kawin mereka tetap mempunyai utang sampai kepada anak dan cucu. Pemberian mas kawin dapat berupa pemberian babi kepada paman dan saudara pria istri. Mas kawin yang diberikan pihak keluarga pria harus sesuai kesepakatan awal. Biasanya tuntutan besarnya mas kawin sesuai besarnya jumlah anggota suku (keluarga) dari pihak wanita. Mereka semua akan mendapat bagian dari mas kawin tersebut. Keluarga inti yakni bapak, ibu, dan saudara pria berhak mendapatkan ternak babi sedangkan di luar keluarga inti hanya mendapatkan manik-manik, tulang kasuari, dan tulang kuskus.
Mansoben membenarkan beberapa tahun lalu pada suku Muyu dan Marit di pedalaman Merauke, keterlibatan keluarga pihak pria dalam mengadakan mas kawin juga memberi kesempatan kepada semua kaum pria di dalam suku itu mengambil bagian untuk menikahi perempuan. Hubungan seks yang dilakukan pihak keluarga pria tersebut sebagai tanda bahwa anak yang dilahirkan adalah turunan dari suku tersebut, menjadi milik suku dan diterima semua anggota suku.
Perempuan tidak boleh menolak karena telah dibayar mahal dan melibatkan semua anggota suku kaum pria. Tetapi, tradisi ini perlahan-lahan mulai punah oleh tekanan gereja dan pemerintah. Oleh karena sang istri dibayar dengan mas kawin tinggi oleh pihak keluarga pria, maka ia juga harus menyenangkan mereka semua. Misalnya, bekerja sampai larut malam dan pagi hari ketika semua orang belum bangun tidur ia sudah bangun menyiapkan makanan dan seterusnya.
Ny Alfina Tabuni mengatakan, walaupun makanan di dalam rumah sama sekali kosong, tetapi demi menyenangkan anggota keluarga pihak pria, perempuan harus berusaha mendapatkan makanan. Karena itu ia berusaha bekerja di ladang menanam umbi-umbian sebanyak mungkin untuk kebutuhan hidup anak, suami, dan anggota keluarga pihak pria. "Bangun pagi siapkan makanan sambil menggendong anak, sementara suami belum bangun tidur. Begitu bangun ia langsung sarapan kemudian berangkat ke hutan berburu. Saya bersama anak, usai memasak untuk suami, kemudian mencuci di sungai, kemudian pergi ke kebun. Anak tetap digendong di bagian belakang dengan kain noken," katanya. "Kami perempuan itu kerja tidak pernah habis-habisnya. Tetapi, hidup kami tetap miskin seperti ini. Kami kerja hanya untuk makan hari ini, besok pergi cari lagi di hutan atau dikebun," kata Ny Tabuni.
Oleh karena itu, sudah menjadi milik orang lain, keluarga perempuan dan orangtua perempuan merasa anak perempuan mereka sudah dibeli dan menjadi hak milik keluarga pria. Mereka tidak pernah ikut campur ketika anak perempuannya dipukul, dianiaya, dan diperlakukan tidak adil. (kor)