Published On:Tuesday, 6 September 2016
Posted by Unknown
Walau Tiri Aku Anakmu
Walau Tiri Aku Anakmu |
Oleh: Vitalis Goo
Aku tahu. Aku bukanlah anak kandungmu. Aku hanyalah anak kandung dari ibuku, yang kau jadikan sebagai istrimu. Tapi aku menyayangimu. Cintaku kepadamu sama seperti cintaku kepada ayah kandungku sendiri.
Aku tahu. Aku bukanlah anak kandungmu. Aku hanyalah anak kandung dari ibuku, yang kau jadikan sebagai istrimu. Tapi aku menyayangimu. Cintaku kepadamu sama seperti cintaku kepada ayah kandungku sendiri.
Menurut cerita ibu, ayah kandungku telah meninggal dunia puluhan tahun lalu. Aku baru tahu kalau aku hanyalah seorang anak tiri setelah usiaku memasuki tahun yang ke-31. Aku juga baru sadar bahwa yang selama ini orang yang aku anggap sebagai ayah kandungku sebenarnya adalah ayah tiriku.
Selama ini tak seorang pun yang pernah berkata bahwa aku hanyalah seorang anak tiri. Rupanya tak seorang pun yang berani mengutarakan hal itu. Ibu kandungku pun berani mengatakannya setelah usiaku beranjak dewasa. Itu pun diberitahunya secara diam-diam seminggu yang lalu.
Beberapa hari belakangan ini, aku duduk dalam diam di kamar tidur, seperti hari ini. Aku duduk mengenang kembali kekejaman-kekejaman yang pernah dilakukan ayah tiriku terhadap diriku. Dari semua kekejaman yang pernah aku alami, aku memaafkan semuanya kini, di tempat ini dengan tulus. Tapi satu hal yang tak bisa aku maafkan hingga kini dan untuk selamanya. Malam itu ibu sempat bercerita kalau ayah kandungku telah dibunuh oleh ayah tiriku hanya untuk memperebutkan kecantikan ibuku, yang tiada taranya di dunia ini. Aku sendiri pun mengagumi kecantikan ibu kandungku hinggga kini walau usianya berranjak senja. Ia masih terlihat cantik dan awet muda.
"Tapi kenapa ayahku dikorbankan hanya karena kecantikan ibuku?" tangisku. Memang ayah tiriku bersifat bengis dan egois. Dia telah melenyapkan nyawa ayah kandungku hanya untuk merebut kecantikan ibuku. Bukan untuk merebut cinta dan kasih sayang dari ibuku. Buktinya, selama aku hidup bersama ayah tiriku, ibuku selalu dipukulnya hingga babak-belur. Tubuhnya dicabik-cabik dan terbaring tak berdaya. Terbaring bersimbah darah. Ibuku selalu tegar kembali walau kejadian yang mengerikan itu terus terulang kembali. Begitu pula aku. Ayah tiriku juga selalu memukulku hingga babak-belur jika aku tak mengindahkan perintahnya, apalagi melawannya. Aku selalu menurutinya, entah perintah yang baik ataupun yang buruk. Jika tidak, bisa saja aku dibunuhnya.
Mengenang semua itu, aku ingin membalas dendam. Melenyapkan ayah tiriku dari muka bumi ini, sama seperti ia telah melenyapkan ayah kandungku. Tapi apa boleh buat, menurut adat dan ajaran agamaku terlanjur melarangku untuk membunuh. Jangankan melenyapkan nyawa orang, memukul hingga mengeluarkan darah saja dilarang. Ah...kenapa ada larangan seperti ini, padahal aku ingin membalas dendam? Tapi, walau bagaimana pun, aku harus mematuhi ajaran itu. Aku berharap, mudah-mudahan saja ayah tiriku berubah. Dan tentu saja, ia mesti bertobat atas salah dan dosa yang telah diperbuatnya. Paling tidak, ia harus meminta maaf kepada ibuku, aku dan terlebih lagi kepada Tuhan yang telah menciptakannya. Jika demikian, aku akan memaafkannya dengan segenap hatiku. Jika tidak, dendaman itu akan kusimpan dalam hatiku. Dan akan kuceritakan pada anak-anakku bahwa ayah kandungku telah dibunuh oleh ayah tiriku. Aku juga akan bercerita bahwa aku dan ibuku diperlakukan tak manusiawi.
"John!" panggil ibuku sembari mengetuk pintu.
"Ya..." sahutku. Aku lalu berdiri dan bergegas hendak membukakan pintu kamarku.
Ibu menatapku dalam-dalam sesaat setelah aku membuka pintu. "Mukamu pucat, kenapa?"
"Mungkin karna kurang istirahat," kataku.
"Sudah seminggu kamu mengurung diri di dalam kamar. Ada masalah apa? Biasanya kamu tidak seperti ini."
"Saya hanya berharap, bapa bisa berubah."
"Dia sudah mati dibunuh tadi pagi."
Aku duduk menyesali apa yang telah aku kenang dan aku pikirkan sepanjang hari ini. Ayah tiriku tewas di medan perang. Seminggu lalu ia telah berangkat bersama teman-temannya. Mereka tergabung dalam sebuah pasukan khusus untuk membasmih teroris yang merajalelah di negeri ini.
Dendaman dalam hatiku pudarlah sudah. Malah air mataku berderai membasahi wajahku, sebab sudah lama aku menganggapnya sebagai ayah kandungku sendiri. Aku merasakan kesedihan yang amat mendalam atas kematiannya. Mungkin inilah takdirnya, ia telah membunuh ayah kandungku, maka ia pula dibunuh oleh orang lain. Apa yang telah ditanamnya, telah dituainya kembali setelah puluhan tahun kemudian.