Headlines
Published On:Thursday, 14 July 2016
Posted by Unknown

Rintihan Kelabu

Rintihan Kelabu
Jejak kaki itu telah mengering walau pria setengah baya itu berjalan beberapa menit lalu di atas jalan setapak berlumpur. Barangkali mentari pagi itu begitu cepat mengeringkan jejak-jejak basah. Ia telah telah mendaki sebuah gunung hanya untuk belanja kebutuhan. Ia telah terbiasa pijakkan kakinya pada akar-akar pepohonan yang seakan memalangi jalan setapak yang membela punggung gunung.

Embun-embun pagi pada rerumputan dan dedaunan telah sirna. “Ah! Kapan negeri ini akan maju?” gumam pria setengah baya itu. Keringatnya berkucuran membasahkan tubuhnya. Ya, ia harus berjalan kaki menempuh puluhan kilometer ke kota.

Sejauh perjalanannya, ia menyedihkan nasib kampung halamannya yang hingga kini masih dilupakan pemerintah. Mungkin karena kampungnya terletak dibalik sebuah gunung, yang jauh dari aroma perkotaan. Disana, nampak aroma kotanya dari sebuah gedung sekolah dasar yang kayu-kayunya sudah lapuk sejak lama.

Di gedung tua itulah pria setengah baya itu mengabdikan dirinya untuk mengajar puluhan muridnya. Hanya ia seorang diri mengajar di gedung tua itu berbekal buku-buku pelajaran yang sudah using tak terpakai lagi. ‘Pak Guru Frans!’ begitulah sapa murid-muridnya kepada pria setengah baya itu.

Selama Pak Guru Frans menjadi seorang guru selama 25 tahun, dinas pendidikan tak pernah berkunjung sekolah itu. Tak ada kunjungan sekali pun. Inilah yang sering membuat pria setengah baya itu patah semangat. Apalagi fasilitas-fasilitas sekolah yang tidak memadai di sekolah itu.

Selain kondisi sekolah yang memprihatinkan itu, di kampung itu nampak aroma kotanya karena ada 2 buah gereja dan beberapa rumah warga beratap daun seng. Yang lainnya masih beratap daun pandang dan ilalang. Tak ada kendaraan disana sekalipun hanya sebuah sepeda.

Pria setengah baya itu sering menghayati nasib beberapa kampung terpencil di balik gunung. Mereka benar-benar terlupakan. Jangankan permberdayaan masyarakat kampung, pembangunan prasarana (jalan) saja belum tembus hingga ke pelosok-pelosok kampung yang terpencil. Ia sering meneteskan air matanya ketika mengenang malangnya nasib warga kampung.

Beberapa bulan lalu, memang pemerintah berinisiatif untuk membangun jalan, tetapi masyarakat sempat menolaknya. Mereka menolak karena pemerintah tak memahami keluhan masyarakat. Dan rencana pemerintah itu pupus.

Seandainya saat itu pemerintah duduk bersama masyarakat, pasti saja persoalan ini telah dipecahkan, pikir pria setengah baya itu. Dan tentu saja jalan setapak ini berubah menjadi jalan raya.

Tak hanya pria setengah baya itu, tetapi masyarakat dari berbagai pelosok kampung juga mengalami nasib yang sama. Hingga kini mereka masih berjalan kaki.

“Kalau jalan sudah tembus, tidak mungkin jalan kaki seperti ini,” gumam pria setengah baya itu lagi ketika ia melewati setapak jalan berlumpur di tengah padang rumput yang meluas.  “Mungkin pemerintah akan buka mata setelah ada jalan raya.” Ia berbicara seakan ada orang lain di sampingnya atau sedang berjalan kaki bersamanya.

Barangkali ia berbicara pada alam di sekitarnya. Tapi apakah alam turut mendengar rintihannya? Tentu mereka mendengarnya. Tetapi mereka hanyalah saksi bisu. Rintihannya hanyalah rintihan kelabu. Rintihan yang takkan pernah tersampaikan kepada mereka yang berwenang untuk menjawab kerinduan dibalik rintihan itu. Walaupun disampaikan, pihak yang berwenang seakan menutup kedua gendeng telinga mereka – membiarkan kondisi itu terus berlalu begitu-begitu saja.

Hampir tiga jam kemudian, pria setengah baya itu tiba di kota. Disinilah masyarakat dari berbagai kampung berkumpul dengan tujuannya masing-masing. Ada yang datang sekedar berjumpa dengan kenalan dan sanak saudaranya. Ada pula yang datang untuk belanja barang dagangan ataupun menjual hasil tani mereka.

“Selamat pagi pa Frans!” sapa seorang teman gurunya yang bertugas di sebuah sekolah dasar yang tak jauh dari jantung kota. “Baru sampe…” lanjutnya penuh tanya.
“Pagi juga! Kalian untung karena dekat kota,” Frans menghapus keringat yang berkucur deras di keningnya dengan telapak tangan kirinya. Ia lalu tersenyum dan menyalami temannya itu.

“Memang benar,” sepakat temannya itu. “Seharusnya dari dulu pemerintah buat jalan untuk memudahkan akses transportasi,” lanjutnya.
“Itu masalah,” Frans mengembuskan napasnya. Pria setengah baya itu lalu melanjutkan perkataannya. “Pemerintah tidak buat jalan hanya karena masyarakat meminta sejumlah uang. Ini memang salah masyarakat, tetapi pemerintah paling tidak memberi pemahaman kepada masyarakat bahwa jalan itu bukan kepentingan pemerintah, tapi kepentingan umum.”

“Benar. Tapi pemerintah juga harus mendengar keluhan masyarakat. Sesuai budaya disini, sebelum masyarakat berkebun harus ada kurban. Jadi, masyarakat juga tidak perlu mementingkan uang, tapi harus menyembelih seekor atau beberapa ekor babi sebelum jalan itu dibuat. Kalau masyarakat dan pemerintah duduk bersama, pasti ada kesepakatan bersama. Paling tidak pemerintah memberi sejumlah uang untuk beli babi sebagai kurban. Kalau demikian, jalan pasti sudah dibuat hingga ke pelosok-pelosok kampung.” Frans hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia menyetujui pendapat temannya itu.

Hari semakin siang. Frans melihat jam tangannya bermerek Seiko. Waktu menujukkan pukul 12.15. Suasana kota tampak ramai dikunjungi masyarakat dari kota, pinggiran kota maupun dari berbagai kampung di pelosok.

Sesaat kemudian, mereka berpisah. Setelah belanja keperluannya, Frans kembali lagi ke kampung di balik gunung. Kampung yang terlupakan dari yang dilupakan.
(Vitalis Goo)


nanomag

Saya adalah Peziarah Kehidupan yang berkelana di Ilalang Kebebasan, demi mencari kehidupan yang menghidupkan untuk mengusik Duka Nestapa di Negeri Hitamku.

.

bagikan kontent ini!

Diposting Oleh : Unknown - Kolom ,

Komentar Anda :

TERPOPULER

"18 TAHUN ALIANSI MAHASISWA PAPUA [AMP]"

Mengabdi Pada Gerakan Pembebasan Nasional Papua 27 Juli 1998 – 27 Juli 2016.

Saya, ALFRIDUS DUMUPA selaku admin blog UGAI PIYAUTO mengucapkan:
"Selamat Hari Ulang Tahun AMP Yang Ke - 18 ".

×