This is the Bahasa Indonesia translation of Reform or
Revolution by Rosa Luxemburg, published by Gelompang Pasang Publishing House.
Bagian I
1 – Metode Oportunis
Jika benar bahwa teori hanyalah gambaran dari fenomena-fenomena dunia luar
dalam kesadaran manusia, maka harus ditambahkan -berkaitan dengan sistem Eduard
Bernstein- bahwa teori terkadang merupakan gambaran-gambaran yang
diputar-balikkan. Pikirkanlah tentang sebuah teori yang berusaha mewujudkan
sosialisme dengan cara reformasi sosial di tengah kemandegan total gerakan
reformasi di Jerman. Pikirkanlah sebuah teori tentang kontrol serikat buruh
terhadap produksi di tengah kenyataan kekalahan buruh logam di Inggris. Bahaslah
teori untuk memenangkan mayoritas di Parlemen, setelah revisi konstitusi Saxony,
dan dalam pandangan upaya-upaya terbaru yang menentang hak universal untuk
memilih. Bagaimanapun juga, poin sangat penting dari sistem Bernstein bukan
terletak pada konsepsinya tentang tugas-tugas praktis sosial-demokrasi. Poin itu
terletak pada sikap Bernstein tentang kurun perkembangan obyektif masyarakat
kapitalis, yang pada gilirannya terkait erat dengan konsepsinya tentang
tugas-tugas praktis sosial-demokrasi.
Menurut Bernstein, kemunduran umum kapitalisme nampaknya menjadi kian
mustahil karena, di satu sisi, kapitalisme menunjukkan suatu kapasitas adaptasi
yang makin tinggi dan, di sisi lain, produksi kapitalis menjadi makin dan makin
bervariasi.
Kapasitas kapitalisme untuk beradaptasi itu, kata Bernstein, termanifestasi
pertama-tama dalam sirnanya krisis-krisis umum yang disebabkan oleh
berkembangnya sistem kredit, organisasi-organisasi majikan, sarana komunikasi
yang lebih luas, dan jasa informasi. Kedua, kapasitas kapitalisme untuk
beradaptasi terbukti dalam keuletan kelas menengah yang berasal dari
diferensiasi yang meningkat dalam cabang-cabang produksi, dan naiknya lapisan
luas proletariat ke level kelas menengah. Dan hal ini lebih lanjut dibuktikan,
menurut argumen Bernstein, dengan adanya perbaikan situasi ekonomi dan politik
sebagai hasil dari aktivitas serikat buruh proletariat.
Dari sikap teoritis ini, kemudian ditarik kesimpulan umum tentang kerja
praktis sosial-demokrasi seperti berikut. Gerakan Sosial-demokrasi hendaknya
jangan mengarahkan aktivitasnya sehari-hari pada penaklukan kekuasaan politik,
melainkan menuju perbaikan kondisi kelas pekerja di dalam tatanan yang kini ada.
Gerakan Sosial-demokrasi jangan berharap untuk membangun sosialisme sebagai
hasil dari krisis sosial dan politik, tetapi hendaknya membangun sosialisme
melalui perluasan kontrol sosial secara progresif dan penerapan prinsip
kerjasama secara bertahap.
Bernstein sendiri tidak melihat adanya hal baru dalam teori-teorinya.
Sebaliknya, dia yakin bahwa teori-teorinya itu sesuai dengan
pernyataan-pernyataan tertentu dari Marx dan Engels. Namun demikian, sulit bagi
kita untuk menyangkal bahwa teori-teori Bernstein itu bertentangan secara formal
dengan konsepsi-konsepsi sosialisme ilmiah.
Jika revisionisme Bernstein sekedar hendak menegaskan bahwa perjalanan
perkembangan kapitalis lebih lambat daripada yang diperkirakan sebelumnya, maka
ia hanya akan menyajikan sebuah argumen untuk menangguhkan penaklukan kekuasaan
oleh proletariat, hal mana setiap orang sampai saat ini telah sepakat.
Konsekuensinya hanyalah perlambatan langkah perjuangan.
Namun, bukan itu yang terjadi. Yang dipersoalkan Bernstein bukanlah tingkat
kecepatan perkembangan masyarakat kapitalis, melainkan perjalanan perkembangan
itu sendiri, yang konsekuensinya berarti kemungkinan hakiki untuk sebuah
perubahan menuju sosialisme.
Teori sosialis sampai saat ini menyatakan bahwa titik berangkat bagi suatu
transformasi menuju sosialisme akan berupa sebuah krisis umum dan katastropis
(merupakan bencana besar). Dalam pandangan ini, kita harus membedakan dua hal:
ide fundamental dan bentuk luarnya.
Ide fundamentalnya mengandung penegasan bahwa kapitalisme, sebagai akibat
dari kontradiksi-kontradiksi di dalam dirinya, bergerak ke arah satu titik
ketika ia tidak akan seimbang, ketika kapitalisme akan menjadi sungguh-sungguh
tak mungkin. Ada alasan-alasan tepat untuk memahami titik waktu dalam bentuk
sebuah krisis komersial umum yang katastropis. Akan tetapi, itu bersifat
sekunder ketika ide fundamentalnya dibahas.
Basis sosialisme ilmiah bertumpu pada -sebagaimana yang lazim dikenal- tiga
hasil utama dari perkembangan kapitalis. Pertama, pada tumbuhnya anarki dalam
ekonomi kapitalis, yang tak terelakkan lagi menuju pada kehancurannya. Kedua,
pada sosialisasi proses produksi secara progresif yang menciptakan benih-benih
tatanan sosial masa depan. Dan ketiga, pada organisasi dan kesadaran kelas
proletar yang meningkat, yang menimbulkan faktor aktif dalam revolusi yang akan
datang.
Bernstein meninggalkan poin pertama dari tiga faktor pendukung fundamental
sosialisme ilmiah. Dia mengatakan bahwa perkembangan kapitalis tidak menuju pada
sebuah keruntuhan ekonomi secara umum.
Bernstein bukan hanya menolak suatu bentuk tertentu dari keruntuhan itu. Dia
menolak kemungkinan hakiki dari keruntuhan tersebut. Dalam tulisannya dia
mengatakan: “Seseorang bisa saja mengklaim bahwa keruntuhan masyarakat yang
sekarang berarti sesuatu yang lain dari sekedar krisis komersial umum, lebih
buruk dari semua krisis lainnya, yakni keruntuhan total sistem kapitalis yang
terjadi sebagai akibat kontradiksi-kontradiksinya sendiri.” Dan terhadap
pernyataan ini, Bernstein menjawab: “Dengan semakin berkembangnya masyarakat,
sebuah keruntuhan total dan nyaris umum sistem produksi yang kini ada menjadi
makin dan makin mustahil, karena perkembangan kapitalis meningkatkan, di satu
sisi, kapasitas adaptasinya, dan -di sisi lain- diferensiasi industri.” (Neue
Zeit, 1897-1898, edisi 18, hal. 555).
Tetapi kemudian muncul pertanyaan: kalau begitu, mengapa dan bagaimana kita
bisa mencapai tujuan akhir kita? Menurut sosialisme ilmiah, kebutuhan sejarah
terutama termanifestasi dalam tumbuhnya anarki kapitalisme yang menggerakkan
sistem ini menuju sebuah jalan buntu. Namun, apabila seseorang sepakat dengan
Bernstein bahwa perkembangan kapitalis tidak bergerak dalam arah yang menuju
pada kehancurannya sendiri, maka sosialisme pun secara obyektif tak lagi
diperlukan. Disinilah tetap berlaku dua arus utama lain dari penjelasan ilmiah
tentang sosialisme, yang juga dikatakan sebagai konsekuensi dari kapitalisme itu
sendiri: sosialisasi proses produksi dan bangkitnya kesadaran proletariat. Dua
hal inilah yang ada di pikiran Bernstein ketika ia mengatakan: “Peniadaan
teori tentang keruntuhan sama sekali tidak menghalangi doktrin sosialis tentang
persuasi. Karena, jika diteliti secara mendalam, apa faktor-faktor yang kita
perhitungkan, yang menyebabkan peniadaan atau modifikasi krisis-krisis
terdahulu? Tak lain, pada kenyataannya, adalah syarat-syarat -atau bahkan
sebagian merupakan benih-benih dari- sosialisasi produksi dan pertukaran.”
(Ibid, hal. 554).
Sedikit sekali refleksi yang diperlukan untuk memahami bahwa disinipun kita
menghadapi sebuah kesimpulan yang keliru. Dimana letak arti penting dari semua
fenomena yang oleh Bernstein dikatakan sebagai sarana adaptasi kapitalis -
kartel, sistem kredit, perkembangan alat komunikasi, perbaikan kondisi kelas
pekerja, dan lain-lain? Jelas, pada asumsi bahwa kartel, sistem kredit, dan
lain-lain itu meniadakan atau setidaknya mengurangi kontradiksi-kontradiksi
dalam ekonomi kapitalis, dan menghentikan perkembangan atau penajaman
kontradiksi-kontradiksi itu. Dengan demikian, peniadaan krisis hanya bisa
berarti peniadaan pertentangan antara produksi dan pertukaran pada basis
kapitalis. Perbaikan kondisi kelas pekerja, atau penetrasi fraksi-fraksi kelas
tertentu ke dalam lapisan-lapisan menengah, hanya bisa berarti pengurangan
pertentangan antara modal dan kerja. Tetapi, bila faktor-faktor yang disebutkan
itu meniadakan kontradiksi-kontradiksi kapitalis, sehingga menjaga sistem ini
dari kehancuran; apabila faktor-faktor tersebut memungkinkan kapitalisme untuk
mempertahankan diri -dan itulah yang disebut Bernstein sebagai “sarana
adaptasi”- bagaimana mungkin kartel, sistem kredit, serikat buruh, dan
lain-lain itu sekaligus juga merupakan “syarat-syarat -dan bahkan, sebagian
merupakan benih-benih”- sosialisme? Jelaslah hanya dalam hal bahwa
faktor-faktor itu mengekspresikan secara paling jelas watak sosial dari
produksi.
Akan tetapi, kalau disajikan dalam bentuk kapitalisnya, maka faktor-faktor
tadii menganggap sebagai sesuatu yang berlebihan -dan berkebalikan dalam ukuran
yang sama- transformasi dari produksi yang telah tersosialisasikan ini menjadi
produksi sosialis. Itulah sebabnya mengapa faktor-faktor yang disebutkan
Bernstein itu hanya bisa menjadi benih atau syarat bagi suatu tatanan sosialis
dalam makna teoritis, bukan dalam makna historis. Faktor-faktor tersebut adalah
fenomena yang -dari sudut pandang konsepsi kita tentang sosialisme- kita pahami
sebagai berkaitan dengan sosialisme, namun pada kenyataannya bukan hanya tidak
mengarah pada sebuah revolusi sosialis, melainkan sebaliknya, menganggapnya
berlebihan.
Tetap ada satu kekuatan yang memungkinkan realisasi sosialisme, yakni
kesadaran-kelas proletariat. Namun inipun, dalam hal tertentu, bukanlah
semata-mata refleksi intelektual tentang kontradiksi-kontradiksi yang berkembang
dalam kapitalisme serta keruntuhannya yang mendekat. Kesadaran-kelas proletariat
itu kini tak lebih sekedar sebuah konsep ideal yang kekuatan persuasinya
terletak hanya pada kesempurnaan yang dianggap berasal darinya.
Dalam konsep Bernstein itu, kita mendapati penjelasan singkat tentang program
sosialis dengan cara “logika murni”. Yakni, kita dipaksa menggunakan bahasa
yang sederhana, sebuah penjelasan idealis tentang sosialisme. Kebutuhan obyektif
akan sosialisme, penjelasan tentang sosialisme sebagai hasil dari perkembangan
material masyarakat, kemudian gugur ke tanah.
Dengan demikian, teori revisionis menempatkan dirinya sendiri dalam sebuah
dilema. Apakah transformasi sosialis merupakan -sebagaimana yang diakui sampai
sekarang- konsekuensi dari kontradiksi-kontradiksi internal kapitalisme, yang
pada suatu titik tertentu tak terelakkan lagi akan mengakibatkan kehancurannya,
(yang dengan begitu berarti “sarana adaptasi” menjadi tidak efektif, dan
teori keruntuhan itulah yang benar); ataukah “sarana adaptasi” akan
betul-betul menghentikan keruntuhan sistem kapitalis, dan dengan demikian
berarti memungkinkan kapitalisme untuk mempertahankan diri dengan meniadakan
kontradiksi-kontradiksinya sendiri. Kalau seperti itu halnya, maka sosialisme
bukan lagi sebuah kebutuhan sejarah. Sosialisme kemudian menjadi apapun yang
ingin anda sebut sebagai sosialisme, tetapi bukan lagi hasil dari perkembangan
material masyarakat.
Dilema itu menyebabkan munculnya dilema lain. Apakah revisionisme itu benar
dalam posisinya mengenai kurun perkembangan kapitalis, dan karenanya
transformasi sosialis masyarakat hanyalah sebuah utopia; ataukah sosialisme itu
bukan sebuah utopia, dan teori tentang “sarana adaptasi” itu keliru.
Itu adalah persoalan dalam sebuah kulit kacang.
2 – Adaptasi Kapitalisme
Menurut Bernstein, sistem kredit, sarana komunikasi yang disempurnakan
dan persekutuan-persekutuan baru kapitalis, adalah faktor-faktor penting yang
memajukan adaptasi ekonomi kapitalis.
Kredit memiliki beragam aplikasi dalam kapitalisme. Dua fungsinya yang paling
penting adalah untuk memperluas produksi, dan untuk memfasilitasi pertukaran.
Ketika kecenderungan-dalam (inner tendency) produksi kapitalis untuk
meluas secara tak terhingga membentur dimensi-dimensi terbatas dari kepemilikan
pribadi, maka kredit muncul sebagai suatu sarana untuk mengatasi batas-batas ini
dengan cara kapitalis yang luarbiasa. Melalui kepemilikan saham, kredit
menggabungkan besarnya modal dari sejumlah besar modal-modal individu. Hal ini
memungkinkan masing-masing kapitalis untuk menggunakan uang para kapitalis
lainnya – dalam bentuk kredit industri. Sebagai kredit komersial, ia mempercepat
pertukaran komoditas, sehingga juga mempercepat kembalinya modal ke dalam
produksi, dan dengan begitu berarti membantu keseluruhan siklus produksi. Cara
bagaimana kedua fungsi utama kredit ini mempengaruhi terbentuknya krisis juga
cukup jelas. Jika benar bahwa krisis timbul sebagai akibat dari kontradiksi yang
ada di antara kapasitas perluasan, kecenderungan produksi untuk meningkat serta
kapasitas konsumsi pasar yang terbatas, maka kredit tepatnya justru merupakan
-dalam pandangan seperti dinyatakan di atas- sarana spesifik yang menyebabkan
kontradiksi ini meledak sesering mungkin. Sebagai permulaannya, kredit secara
tidak sebanding meningkatkan kapasitas perluasan produksi, sehingga menimbulkan
suatu kekuatan motif-dalam (inner motive) yang secara konstan mendesak
produksi untuk melampaui batas-batas pasar. Akan tetapi, kredit menggempur dari
dua sisi. Setelah (sebagai faktor dalam proses produksi) memprovokasi terjadinya
produksi berlebihan, kredit (sebagai faktor dalam pertukaran) juga menghancurkan
-selama masa krisis- kekuatan-kekuatan sangat produktif yang ia ciptakan
sendiri.
Pada gejala pertama krisis, kredit memudar. Kredit meninggalkan pertukaran
ketika sesungguhnya ia masih sangat dibutuhkan, sehingga kemudian kredit nampak
menjadi tidak efektif dan tak berguna. Dan ketika pertukaran masih berlanjut,
kredit mengurangi kapasitas konsumsi pasar sampai ke batas minimal.
Selain menyebabkan dua akibat utama itu, kredit juga mempengaruhi
terbentuknya krisis dengan cara-cara berikut. Kredit memunculkan sarana teknis
yang memungkinkan tersedianya modal bagi seorang pengusaha, padahal modal itu
adalah kepunyaan pemilik lain. Kredit sekaligus merangsang penggunaan
kepemilikan orang lain secara berani dan tanpa peduli benar atau salah. Ini
berarti bahwa kredit memicu terjadinya spekulasi. Kredit tidak hanya memperparah
krisis dalam kapasitasnya sebagai sarana pertukaran yang tersembunyi, melainkan
juga membantu membawa dan memperluas krisis dengan mentransformasikan semua
pertukaran ke dalam suatu mekanisme yang sangat rumit dan artifisial, yang
-karena hanya memiliki tingkat minimal uang logam sebagai basis riil-nya- mudah
sekali diobrak-abrik pada peluang paling kecil sekalipun.
Kini kita melihat bahwa kredit bukannya menjadi instrumen untuk meniadakan
atau mengurangi krisis, melainkan sebaliknya, adalah suatu instrumen yang luar
biasa kuat bagi terbentuknya krisis. Ia tak bisa menjadi sesuatu selain itu.
Kredit menghapuskan kakunya hubungan-hubungan kapitalis yang masih ada. Ke
mana-mana ia mengintrodusir elastisitas sebesar mungkin. Kredit menyebabkan
semua kekuatan kapitalis menjadi bisa diperluas, relatif dan sensitif secara
mutual sampai ke tingkat yang paling tinggi. Dengan cara ini, kredit
memfasilitasi dan memperparah krisis yang -tak lebih, tak kurang- adalah
tabrakan periodik dari kekuatan-kekuatan yang saling bertentangan dalam ekonomi
kapitalis.
Hal ini mengarahkan kita pada sebuah pertanyaan lain. Mengapa kredit umumnya
memiliki penampilan sebagai “sarana adaptasi” kapitalisme? Tak menjadi
persoalan, apapun bentuk atau relasi di mana “adaptasi“ ini
direpresentasikan oleh orang-orang tertentu, namun jelas ia hanya bisa berisikan
kekuasaan untuk meniadakan satu dari beberapa relasi yang bertentangan dalam
ekonomi kapitalis, yakni kekuasaan untuk menekan atau melemahkan salah satu dari
kontradiksi-kontradiksi ini, dan memungkinkan adanya kebebasan bergerak -pada
satu titik atau lainnya- bagi kekuatan-kekuatan produktif yang, jika tidak
dibebaskan, akan terbelenggu. Kenyataannya, memang kreditlah yang mempertajam
kontradiksi-kontradiksi ini sampai ke tingkat yang paling tinggi. Kredit
mempertajam pertentangan antara corak produksi dan corak pertukaran dengan
merentangkan produksi sampai pada batasnya, dan sekaligus melumpuhkan pertukaran
pada dalih yang paling kecil. Kredit mempertajam pertentangan antara corak
produksi dan corak apropriasi (pemakaian tanpa ijin) dengan memisahkan produksi
dari kepemilikan, yakni dengan mentransformasikan modal yang dipakai dalam
produksi menjadi modal “sosial”, dan sekaligus mentransformasikan sebagian
keuntungan -dalam bentuk bunga atas modal- menjadi suatu hak kepemilikan yang
sederhana.
Kredit mempertajam pertentangan yang ada antara relasi-relasi
kepemilikan dan relasi-relasi produksi dengan memasukkan tenaga-tenaga produktif
yang sangat besar ke dalam sejumlah kecil tangan, dan mengambil alih sejumlah
besar dari para kapitalis kecil. Akhirnya, kredit mempertajam pertentangan yang
ada antara watak sosial produksi dan kepemilikan kapitalis swasta dengan
menganggap perlu intervensi negara ke dalam produksi.
Singkatnya, kredit mereproduksi semua pertentangan fundamental dalam dunia
kapitalis. Ia memperkuat pertentangan-pertentangan tersebut. Kredit mempercepat
berkembangnya pertentangan itu, sehingga mendesak dunia kapitalis untuk bergerak
maju menuju kehancurannya sendiri. Tindakan utama adaptasi kapitalis, sejauh
berkaitan dengan kredit, seharusnya betul-betul terwujud dalam penghancuran dan
peniadaan kredit. Kenyataannya, kredit jauh dari bisa menjadi sarana adaptasi
kapitalis. Sebaliknya, kredit merupakan sarana kehancuran dari signifikansi
revolusioner yang paling ekstrem. Apakah watak revolusioner dari kredit ini
sebetulnya belum memberi inspirasi bagi rancangan-rancangan reformasi “sosialis”?
Demikianlah, kredit telah memiliki beberapa tokoh pendukung yang termahsyur,
yang beberapa di antaranya (seperti, Isaac Pereira di Perancis) adalah
-sebagaimana disebut oleh Marx- separoh nabi, separoh bajingan.
Yang sama rapuhnya adalah “sarana adaptasi” yang kedua, yakni:
organisasi-organisasi para majikan. Menurut Bernstein, organisasi-organisasi
seperti itu akan mengakhiri anarki produksi dan menghapuskan krisis melalui
pengaturan produksinya. Pengaruh berlipat-ganda dari perkembangan kartel dan trust
(gabungan perusahaan) belum dipertimbangkan dengan sangat teliti sampai
sekarang. Namun keduanya memprediksikan sebuah permasalahan yang hanya bisa
dipecahkan dengan bantuan teori marxis.
Satu hal yang pasti. Kita bisa berbicara tentang pembendungan anarki
kapitalis melalui biro persekutuan-persekutuan kapitalis hanya dengan patokan
bahwa kartel, trust dan lain-lain lebih-kurang telah menjadi bentuk
dominan dari produksi. Tetapi kemungkinan seperti itu menjadi terabaikan dengan
adanya sifat hakiki dari kartel-kartel. Tujuan ekonomi dan hasil akhir dari
persekutuan-persekutuan itu adalah sebagai berikut. Melalui peniadaan persaingan
dalam suatu cabang produksi tertentu, distribusi sebagian besar keuntungan yang
direalisasikan di pasar dipengaruhi sedemikian rupa, sehingga terdapat
peningkatan saham yang masuk ke cabang industri ini. Organisasi dalam bidang
seperti itu dapat menaikkan tingkat keuntungan pada satu cabang industri dengan
mengorbankan cabang industri lainnya. Itulah tepatnya mengapa hal tersebut tidak
bisa digeneralisir, karena ketika ia diperluas ke semua cabang industri yang
penting, maka kecenderungan ini akan meniadakan pengaruhnya sendiri.
Lebih jauh lagi, dalam batas-batas penerapan praktisnya, hasil dari
persekutuan-persekutuan tersebut justru adalah kebalikan dari peniadaan anarki
industri. Kartel-kartel biasanya berhasil dalam mendapatkan suatu peningkatan
keuntungan di pasar dalam negeri, dengan cara memproduksi untuk pasar luar
negeri dengan tingkat keuntungan yang lebih rendah, yang dengan begitu berarti
menggunakan porsi tambahan dari modal yang tidak bisa mereka gunakan untuk
kebutuhan-kebutuhan dalam negeri. Maksudnya ialah bahwa mereka menjual ke luar
negeri dengan harga yang lebih murah daripada harga dalam negeri. Akibatnya
adalah menajamnya persaingan di luar negeri – justru sangat berlawanan dengan
apa yang ingin didapati oleh orang-orang tertentu. Hal ini ditunjukkan secara
sangat jelas oleh sejarah industri gula dunia.
Secara umum, persekutuan-persekutuan yang diperlakukan sebagai suatu
manifestasi dari corak produksi kapitalis hanya bisa dipandang sebagai suatu
fase tertentu dari perkembangan kapitalis. Kartel secara fundamental tak lain
adalah suatu cara yang digunakan oleh corak produksi kapitalis untuk tujuan
menahan kejatuhan fatal tingkat keuntungan dalam cabang-cabang produksi
tertentu. Metode apa yang digunakan oleh kartel untuk tujuan ini? Yaitu dengan
mempertahankan agar sebagian dari modal yang terakumulasi tidak aktif. Maksudnya
ialah bahwa mereka menggunakan metode yang sama, yang dalam bentuk lainnya
digunakan di saat krisis. Obat dan sakitnya menyerupai satu sama lain
laksana dua tetes air.
Sesungguhnya, obat itu bisa dianggap tak begitu buruk
hanya sampai suatu titik tertentu. Apabila saluran-saluran pembuangan itu mulai
menutup, dan pasar dunia telah diperluas sampai pada batasnya, serta menjadi
kelelahan dengan adanya persaingan di antara negeri-negeri kapitalis -dan cepat
atau lambat pasti tiba- maka sebagian dari modal yang terpaksa menganggur
(menjadi tak berguna) itu akan mencapai dimensi-dimensi sedemikian rupa,
sehingga obat tersebut akan bertransformasi menjadi suatu penyakit. Dan modal,
yang telah cukup banyak “tersosialisasi” melalui regulasi, akan cenderung
berbalik kembali kepada bentuk modal individu. Berhadapan dengan
kesulitan-kesulitan yang meningkat untuk mencari pasar, maka masing-masing porsi
individu dari modal akan memilih untuk mengambil peluang ini sendirian. Ketika
itu, organisasi-organisasi pengatur yang besar akan meletus seperti
gelembung-gelembung busa sabun, dan membuka jalan bagi persaingan yang menajam.
Oleh karena itu, dalam cara yang umum, kartel, seperti juga kredit, muncul
sebagai suatu fase yang pasti dari perkembangan kapitalis, yang dalam analisis
terakhirnya memperparah anarki dunia kapitalis dan mengekspresikan serta
mematangkan kontradiksi-kontradiksi internalnya. Kartel-kartel mempertajam
pertentangan yang ada antara corak produksi dan pertukaran dengan mempertajam
perjuangan antara produsen dan konsumen, seperti khususnya kasus Amerika
Serikat. Lebih jauh lagi, kartel-kartel mempertajam pertentangan yang ada antara
corak produksi dan corak apropriasi dengan mempertentangkan -melalui model yang
paling brutal- kepada kelas pekerja, kekuatan superior modal yang terorganisir,
yang dengan begitu berarti meningkatkan antagonime antara modal dan kerja.
Akhirnya, kombinasi-kombinasi kapitalis mempertajam kontradiksi yang ada
antara watak internasional dari ekonomi dunia kapitalis dengan watak nasional
negara – sejauh kombinasi-kombinasi itu selalu disertai dengan perang tarif
secara umum, yang mematangkan perbedaan-perbedaan di antara negara-negara
kapitalis. Untuk hal ini, kita harus menambahkan adanya pengaruh revolusioner
secara tegas oleh kartel-kartel dalam hal konsentrasi produksi, kemajuan teknis,
dan lain-lain.
Dengan kata lain, jika dievaluasi dari sudut dampak akhir terhadap ekonomi
kapitalis, maka kartel dan kredit gagal sebagai “sarana adaptasi”. Kartel
dan trust gagal mengurangi kontradiksi-kontradiksi kapitalisme.
Sebaliknya, kartel dan kredit itu muncul menjadi suatu instrumen anarki yang
lebih besar. Mereka justru mendorong terjadinya perkembangan lebih lanjut dari
kontradiksi-kontradiksi internal kapitalisme. Kartel dan trust
mempercepat datangnya kejatuhan umum kapitalisme.
Namun apabila sistem kredit, kartel dan semacamnya tidak meniadakan anarki
kapitalisme, maka mengapa kita belum mengalami krisis perdagangan yang besar
selama dua dekade, sejak 1873? Apakah ini bukan suatu tanda bahwa -bertentangan
dengan analisis Marx – ternyata corak produksi kapitalis telah mengadaptasikan
diri, setidaknya dengan suatu cara yang umum, terhadap kebutuhan-kebutuhan
masyarakat? Begitulah pada tahun 1898 Bernstein menolak keras teori Marx tentang
krisis, padahal sebuah krisis besar pecah pada tahun 1900. Dan tujuh tahun
kemudian, sebuah krisis baru yang mulai muncul di Amerika Serikat pun memukul
pasar dunia. Fakta membuktikan bahwa teori “adaptasi” itu keliru. Fakta itu
juga sekaligus menunjukkan bahwa orang-orang yang mengabaikan teori Marx tentang
krisis -hanya karena tidak ada krisis yang terjadi dalam suatu kurun waktu
tertentu- kebingungan antara esensi dari teori ini dengan salah satu aspek
eksteriornya, yakni siklus sepuluh tahunan. Uraian tentang siklus industri
kapitalis moderen sebagai suatu periode sepuluh tahunan bagi Marx dan Engels di
tahun 1860 dan 1870 hanyalah suatu pernyataan sederhana tentang fakta-fakta.
Pernyataan tersebut tidak didasarkan pada suatu hukum alam, melainkan pada
serangkaian situasi historis tertentu yang berhubungan dengan pesatnya
persebaran aktivitas kapitalisme muda.
Dahulu pernah terjadi krisis pada tahun 1825 akibat penanaman modal yang luas
dalam pembangunan jalan raya, kanal, dan kilang gas yang terjadi selama dekade
terdahulu, khususnya di Inggris di mana krisis itu pecah. Krisis berikutnya pada
1836-1839 secara serupa adalah akibat investasi yang sangat besar dalam
pembangunan sarana transportasi. Krisis tahun 1847 diprovokasi oleh demam
pembangunan jalan kereta api di Inggris (sejak 1844 sampai 1847, selama tiga
tahun Parlemen Inggris konsesi untuk jalan kereta api sampai senilai 15 milyar
dollar AS). Pada masing-masing dari tiga kasus yang disebutkan tadi, sebuah
krisis muncul setelah basis-basis baru bagi perkembangan kapitalis terbangun.
Pada tahun 1857, akibat yang sama ditimbulkan oleh pembukaan secara tiba-tiba
pasar-pasar baru bagi industri Eropa di Amerika dan Australia setelah
ditemukannya tambang emas dan perluasan pembangunan jalan kereta api, terutama
di Perancis, di mana contoh Inggris ketika itu sangat ditiru. (Di Perancis
sendiri, jalan-jalan kereta api baru sampai senilai 1,25 juta franc dibangun
dari 1852 sampai 1856). Dan akhirnya, kita mengalami krisis besar pada tahun
1873 – sebuah konsekuensi langsung dari booming dahsyat industri besar di
Jerman dan Austria, yang diikuti dengan kejadian-kejadian politik tahun 1866 dan
1871.
Jadi, sampai sekarang, perluasan tiba-tiba ranah ekonomi kapitalis -dan bukan
penciutannya- setiap kali merupakan penyebab terjadinya krisis perdagangan.
Bahwa krisis internasional berulang sendiri setiap sepuluh tahun adalah murni
suatu fakta eksterior, sebuah persoalan peluang. Rumusan marxis untuk krisis
seperti yang disajikan oleh Engels dalam Anti-Duehring, dan oleh Marx
dalam jilid pertama serta jilid ketiga Kapital, berlaku bagi semua krisis
hanya dalam hal bahwa rumusan tersebut menyingkap mekanisme internasionalnya
serta sebab-sebab pokoknya yang umum.
Krisis bisa berulang sendiri setiap lima atau sepuluh tahun, ataupun bahkan
setiap delapan atau duapuluh tahun. Tetapi apa yang paling membuktikan
kekeliruan teori Bernstein ialah bahwa justru di negeri-negeri yang mengalami
perkembangan terbesar dalam “sarana adaptasi” yang terkenal -kredit, sarana
komunikasi yang disempurnakan, dan trust- itulah, krisis
terbaru (1907-1908) terjadi secara paling ganas.
Keyakinan bahwa produksi kapitalis mampu “mengadaptasikan diri” terhadap
pertukaran mengasumsikan satu dari dua hal: apakah pasar dunia bisa menyebar
secara tak terbatas, atau sebaliknya, perkembangan tenaga produktif begitu
terbelenggu, sehingga tidak bisa melewati batas-batas pasar. Hipotesis pertama
menimbulkan suatu kemustahilan material. Sedangkan hipotesis kedua dianggap
tidak mungkin dengan adanya kemajuan teknis yang konstan, yang setiap hari
menciptakan tenaga-tenaga produktif baru di semua cabang.
Masih ada satu fenomena lain yang, menurut Bernstein, bertentangan dengan
perjalanan perkembangan kapitalis sebagaimana ditunjukkan di atas. Dalam barisan
mantap perusahaan-perusahaan berskala menengah, Bernstein melihat adanya tanda
perkembangan industri besar yang tidak bergerak dalam arah revolusioner, dan
tidaklah seefektif -dilihat dari sudut konsentrasi industri- seperti yang
diperkirakan oleh “teori” keruntuhan. Namun demikian, di sini Bernstein
adalah korban dari kekurang-pahamannya sendiri; karena memandang lenyapnya
perusahaan berskala menengah sebagai akibat pasti dari perkembangan industri
besar, berarti -sangat menyedihkan- salah memahami sifat dari proses ini.
Menurut teori marxis, dalam kurun umum perkembangan kapitalis, para kapitalis
kecil memainkan peran sebagai pelopor perubahan teknis. Mereka memiliki peran
itu dalam makna ganda. Mereka memulai metode-metode produksi baru dalam
cabang-cabang industri yang telah sangat mapan; mereka adalah instrumen dalam
penciptaan cabang-cabang produksi baru yang belum dieksploitasi oleh kapitalis
besar.
Adalah keliru bila kita membayangkan sejarah kemapanan-kemapanan kapitalis
menengah bergerak dalam garis lurus ke arah melenyapnya mereka secara progresif.
Sebaliknya, kurun perkembangan ini murni dialektis dan bergerak secara konstan
di antara kontradiksi-kontradiksi. Lapisan-lapisan kapitalis menengah mendapati
dirinya -sama seperti pekerja- berada di bawah pengaruh dua kecenderungan yang
bertentangan, yang satu ascendant (berpengaruh/berkuasa), yang lainnya descendant
(menurun/melemah). Dalam hal ini, kecenderungan descendant adalah terus
naiknya skala produksi yang secara periodik membanjiri dimensi-dimensi paket
modal berukuran rata-rata, dan melepaskannya secara berulang dari arena
persaingan dunia. Kecenderungan ascendant pertama-tama merupakan
depresiasi periodik dari modal yang ada, yang untuk suatu waktu tertentu
menurunkan kembali skala produksi sebanding dengan nilai dari jumlah minimum
yang diperlukan modal. Selain itu, hal ini direpresentasikan oleh penetrasi
produksi kapitalis ke dalam ruang-ruang lingkup baru. Perjuangan perusahaan
berskala kecil melawan modal besar tidak bisa dianggap suatu pertempuran yang
bergerak secara reguler, di mana pasukan dari pihak yang lebih lemah terus
memudar secara langsung dan kuantitatif. Perjuangan itu seharusnya lebih
dipandang sebagai berondongan periodik perusahaan-perusahaan kecil yang dengan
pesat tumbuh kembali, hanya akan diberondong habis sekali lagi oleh industri
besar. Kedua kecenderungan itu bermain bola dengan lapisan-lapisan kapitalis
menengah. Kecenderungan yang menurun pada akhirnya pasti akan menang.
Padahal, justru kebalikannyalah yang benar mengenai perkembangan kelas
pekerja. Kemenangan kecenderungan yang menurun tidak harus menunjukkan kepada
dirinya sendiri menyusutnya bilangan perusahaan-perusahaan berskala menengah
secara mutlak. Ia haruslah menunjukkan kepada dirinya sendiri, pertama-tama,
dalam peningkatan progresif jumlah minimum modal yang diperlukan untuk
pemfungsian perusahaan-perusahaan dalam cabang-cabang produksi lama. Kedua,
dalam penyusutan konstan selang waktu, yang selama itu para kapitalis kecil
melestarikan peluang untuk mengeksploitasi cabang-cabang produksi baru. Sejauh
berkenaan dengan kapitalis kecil, maka akibatnya adalah masa tinggalnya yang
secara progresif lebih pendek dalam industri baru, dan suatu perubahan yang
secara progresif lebih pesat dalam hal metode-metode produksi sebagai suatu
bidang investasi. Untuk strata kapitalis rata-rata, jika dihitung secara
keseluruhan, terdapat suatu proses asimilasi dan disimilasi yang makin dan makin
pesat.
Bernstein sangat memahami hal ini. Dia sendiri berkomentar tentang hal
tersebut. Tetapi yang nampaknya dia lupakan, ialah bahwa hal ini memang
merupakan hukum gerak dari rata-rata perusahaan kapitalis. Jika seseorang
mengakui bahwa para kapitalis kecil adalah pelopor kemajuan teknis, dan apabila
benar bahwa kemajuan teknis merupakan urat nadi ekonomi kapitalis, maka, bahwa
para kapitalis kecil merupakan bagian integral dari perkembangan kapitalis,
adalah sesuatu yang manifes. Dan para kapitalis kecil itu akan hilang hanya
dengan adanya perkembangan kapitalis. Melenyapnya perusahaan berskala menengah
secara progresif -dalam pengertian mutlak yang dipandang oleh Bernstein-
bukanlah berarti, sebagaimana yang dia kira, perjalanan revolusioner dari
perkembangan kapitalis, melainkan justru sebaliknya, adalah penghentian,
perlambatan perkembangan. “Tingkat keuntungan, yakni kenaikan modal secara
relatif,” kata Marx, “adalah penting pertama-tama bagi para penanam modal
baru, yang mengelompok sendiri secara independen. Dan segera setelah pembentukan
modal jatuh secara eksklusif ke dalam sejumlah kapitalis besar, maka api penyala
produksi itu menjadi padam, menjadi sirna.”
3 – Realisasi Sosialisme melalui Reformasi Sosial
Bernstein menolak “teori keruntuhan” sebagai sebuah jalan historis
menuju sosialisme. Lantas apa jalan menuju masyarakat sosialis yang diajukan
oleh “teorinya tentang adaptasi kapitalisme"? Bernstein menjawab
pertanyaan ini hanya dengan kiasan. Namun demikian, Konrad Schmidt berupaya
untuk berkutat dalam hal-hal rinci ini menurut cara berpikir Bernstein. Menurut
Konrad, “perjuangan serikat buruh demi jam kerja dan upah, dan perjuangan
politik untuk reformasi, akan menyebabkan terjadinya kontrol yang secara
progresif lebih luas terhadap kondisi-kondisi produksi,” dan “karena hak-hak
proprietor (pemilik) kapitalis akan dikurangi melalui legislasi [hal-hal
yang berkaitan dengan hukum dan perundang-undangan – penerj.], maka pada
waktunya nanti perannya akan terkurangi hingga hanya menjadi seorang
administrator.” “Para kapitalis akan melihat bahwa kepemilikannya akan makin
dan makin kehilangan nilai bagi dirinya sendiri,” sampai akhirnya “arah dan
administrasi eksploitasi akan direnggut dari dirinya secara keseluruhan,”
kemudian terbangunlah “eksploitasi kolektif”.
Oleh karena itu, serikat-serikat buruh, reformasi sosial dan -tambah
Bernstein- demokratisasi politik negara, adalah sarana untuk mewujudkan
sosialisme secara progresif.
Akan tetapi, kenyataannya ialah bahwa fungsi utama dari serikat buruh (dan
ini dengan sangat baik dijelaskan oleh Bernstein sendiri dalam Neue Zeit
pada tahun 1891) diwujudkan dengan menyediakan bagi buruh suatu cara untuk
menyadari upah yang rendah dari kapitalis, yakni penjualan tenaga kerja mereka
dengan harga pasar masa kini. Serikat buruh memungkinkan proletariat untuk
menggunakan konjungtur [serentetan kejadian, terutama yang berhubungan dengan
kondisi kritis – penerj.] pasar setiap saat. Namun, konjungtur ini – (1)
permintaan akan tenaga kerja yang ditentukan oleh kondisi produksi, (2) pasokan
tenaga kerja yang diciptakan oleh proletarisasi lapisan menengah di masyarakat
serta reproduksi alami dari kelas-kelas pekerja, dan (3) tingkat sementara
produktivitas kerja- tetap berada di luar ruang lingkup pengaruh serikat buruh.
Serikat buruh tidak bisa menekan hukum tentang upah. Dalam situasi yang paling
mendukung, hal paling maksimal yang bisa dilakukan oleh serikat buruh hanyalah
mendesakkan kepada eksploitasi kapitalis, batas “normal” pada saat itu.
Bagaimanapun juga, serikat buruh tidak memiliki kekuatan untuk menghapuskan
eksploitasi itu sendiri, bahkan secara perlahanpun tidak.
Memang benar, Schmidt memandang gerakan serikat buruh sekarang ini berada
dalam “tahap awal yang lemah”. Dia berharap bahwa “di masa depan”, “gerakan
serikat buruh akan menjalankan pengaruh yang meningkat secara progresif terhadap
pengaturan produksi”. Namun dengan pengaturan produksi, kita hanya bisa
mengerti dua hal: intervensi dalam ranah teknis dan menetapkan skala produksi
itu sendiri. Bagaimana sifat dari pengaruh yang dijalankan oleh serikat buruh
dalam dua bagian ini? Jelas bahwa dalam teknik produksi, kepentingan kapitalis
berkesesuaian -sampai titik tertentu- dengan kemajuan dan perkembangan ekonomi
kapitalis. Kepentingan kapitalis itu sendirilah yang mendorongnya untuk
melakukan perbaikan-perbaikan teknis. Akan tetapi, buruh yang terisolasi
mendapati dirinya dalam posisi yang jelas berbeda. Setiap transformasi teknis
bertentangan dengan kepentingan buruh. Transformasi teknis memperburuk situasi
buruh yang tak berdaya dengan menurunkan nilai tenaga kerjanya, dan membuat
kerja buruh menjadi lebih serius, lebih monoton, dan lebih sulit.
Sejauh serikat buruh bisa melakukan intervensi ke dalam bagian teknis dari
produksi, maka mereka hanya bisa menentang inovasi teknis. Namun dalam hal ini,
serikat buruh tidaklah bertindak demi kepentingan seluruh kelas pekerja dan
emansipasinya, yang lebih berkesesuaian dengan kemajuan teknis, sehingga sesuai
dengan kepentingan kapitalis yang tertutup. Di sini, serikat buruh bertindak
dalam arah yang reaksioner. Dan pada kenyataannya, kita memang mendapati
upaya-upaya pada sebagian buruh untuk melakukan intervensi ke dalam bagian
teknis dari produksi, bukan di masa mendatang seperti yang diharapkan oleh
Schmidt, melainkan di masa lalu dari gerakan serikat buruh. Upaya-upaya seperti
itu dicirikan oleh fase lama dari trade unionism [serikat buruhisme – penerj.]
Inggris (sampai tahun 1860) ketika organisasi-organisasi Inggris masih terikat
pada sisa-sisa “korporasi” Abad Pertengahan, dan menemukan inspirasi dalam
prinsip usang “upah harian yang adil untuk kerja harian yang adil,”
sebagaimana dinyatakan oleh Webb dalam karyanya Sejarah Trade
Unionism.
Di sisi lain, upaya serikat buruh untuk menetapkan skala produksi dan harga
komoditas merupakan suatu fenomena yang baru muncul. Baru-baru ini saja kita
menyaksikan upaya-upaya seperti itu – dan kembali ini terjadi di Inggris. Dalam
sifat dan kecenderungan-kecenderungannya, upaya-upaya ini mewakili hal-hal yang
disebutkan di atas. Lalu, apa makna dari partisipasi aktif serikat buruh dalam
menetapkan skala dan biaya produksi? Maknanya ialah sebuah kartel yang terdiri
atas para pekerja dan para pengusaha dalam suatu sikap yang sama menghadapi
konsumen, dan terutama menghadapi pengusaha-pengusaha saingannya.
Efek dari hal
ini sama sekali tidak berbeda dengan efek dari asosiasi-asosiasi majikan yang
biasanya. Pada dasarnya, dalam hal ini kita tidak lagi mendapati perjuangan
antara modal dan kerja, melainkan solidaritas antara modal dan kerja melawan
keseluruhan konsumen. Jika dipandang dari nilai sosialnya, serikat buruh
terlihat sebagai sebuah gerak reaksioner yang tidak bisa menjadi sebuah tahap
dalam perjuangan untuk emansipasi proletariat, karena ia mengkonotasikan watak
yang sangat bertentangan dengan perjuangan kelas. Kalau dilihat dari sudut
penerapan praktisnya, maka didapati bahwa serikat buruh merupakan suatu utopia
yang -sebagaimana ditunjukkan oleh penelitian yang berlangsung cepat- tidak bisa
diperluas ke cabang-cabang industri besar yang berproduksi untuk pasar dunia.
Jadi, lingkup gerak serikat buruh secara esensial terbatas pada perjuangan
untuk kenaikan upah dan pengurangan jam kerja, yakni terbatas pada upaya-upaya
pengaturan oleh eksploitasi kapitalis, seiring dengan kenyataan bahwa
upaya-upaya tersebut memang diperlukan oleh situasi sementara dari pasar dunia.
Namun serikat buruh sama sekali tidak bisa mempengaruhi proses produksi itu
sendiri. Terlebih lagi, perkembangan serikat buruh bergerak -bertentangan dengan
apa yang dinyatakan oleh Konrad Schmidt- dalam arah keterlepasan total pasar
tenaga kerja dari hubungan apapun yang sangat dekat dengan bagian lain dari
pasar itu.
Hal tersebut ditunjukkan oleh fakta bahwa, bahkan upaya-upaya untuk
menghubungkan kontrak-kontrak kerja dengan situasi umum produksi melalui sebuah
sistem penggeseran (naik-turun) skala upah, telah ketinggalan zaman seiring
perkembangan sejarah. Serikat-serikat buruh Inggris kini bergerak makin dan
makin menjauh dari upaya-upaya seperti itu.
Bahkan dalam batas-batas efektif dari aktivitasnya, gerakan serikat buruh
tidak bisa menyebar dengan cara yang tak terbatas, berbeda dengan apa yang
di-klaim oleh teori adaptasi. Sebaliknya, apabila kita meneliti faktor-faktor
besar dari perkembangan sosial, kita melihat bahwa kita tidak sedang bergerak
menuju suatu zaman yang ditandai dengan perkembangan kemenangan serikat buruh,
melainkan lebih menuju ke suatu masa ketika kesulitan-kesulitan serikat buruh
akan meningkat. Suatu saat ketika perkembangan industri telah mencapai titik
tertingginya yang paling mungkin, dan kapitalisme telah memasuki fase menurunnya
pada pasar dunia, maka perjuangan serikat buruh akan menjadi dua kali lipat
lebih sulit. Pertama, konjungtur obyektif pasar akan jadi kurang mendukung bagi
para penjual tenaga kerja, karena permintaan tenaga kerja akan meningkat dengan
tingkat yang lebih lambat, dan pasokan tenaga kerja akan lebih pesat daripada
saat sekarang. Kedua, para kapitalis sendiri -untuk menutup kerugian-kerugian
yang diderita di pasar dunia- akan melakukan upaya yang lebih keras daripada
masa sekarang guna mengurangi bagian dari keseluruhan produk yang mengalir ke
buruh (dalam bentuk upah). Pengurangan upah itu -sebagaimana dijelaskan oleh
Marx- adalah salah satu cara utama untuk menghambat jatuhnya tingkat keuntungan.
Situasi di Inggris telah memberikan kepada kita suatu gambaran tentang permulaan
tahap kedua dari perkembangan serikat buruh. Aksi serikat buruh berkurang arti
pentingnya sampai hanya berupa tindakan mempertahankan hasil-hasil yang telah
dicapai, bahkan itu pun kini menjadi makin dan makin sulit. Situasi seperti itu
adalah kecenderungan umum dari hal-hal yang terjadi di masyarakat kita.
Pengimbang bagi kecenderungan ini seharusnya adalah perkembangan sisi politik
dari perjuangan kelas.
Konrad Schmidt melakukan kesalahan yang sama tentang perspektif sejarah
ketika dia membahas reformasi sosial. Dia mengharapkan bahwa reformasi sosial
-seperti organisasi-organisasi serikat buruh- akan “mendikte para kapitalis
dengan syarat-syarat, yang hanya dengan itu mereka akan bisa mempekerjakan
tenaga kerja.” Melihat reformasi dari sudut pandang ini, Bernstein menyebut
legislasi tentang kerja sebagai sekeping “kontrol sosial”, dan yang
demikian itu berarti sekeping sosialisme. Secara serupa, Konrad Schmidt selalu
menggunakan istilah “kontrol sosial” ketika dia mengacu pada hukum-hukum
perlindungan tenaga kerja. Sehingga ketika dengan senang hati ia mengubah negara
menjadi masyarakat, ia pun menambahkan: “Maksudnya adalah kelas pekerja yang
bangkit.” Akibat dari trik substitusi ini, Undang-Undang tentang Kerja
-bersifat apa adanya- yang diundangkan oleh Dewan Federal Jerman, diubah menjadi
langkah-langkah sosialis bersifat peralihan yang dianggap diundangkan oleh
proletariat Jerman.
Mistifikasinya terlihat jelas. Kita tahu bahwa negara yang ada sekarang ini
bukanlah “masyarakat” yang mewakili “kelas pekerja yang bangkit”. Negara
itu sendiri adalah representasi dari masyarakat kapitalis. Ia adalah sebuah
negara kapitalis. Karena itu, langkah-langkah reformasi bukanlah suatu penerapan
“kontrol sosial”, yaitu kontrol dari masyarakat yang bekerja dengan bebas
dalam proses kerjanya sendiri. Langkah-langkah reformasi adalah bentuk-bentuk
kontrol yang diterapkan oleh organisasi kelas dari modal terhadap produksi
modal. Ya, Bernstein dan Konrad Schmidt sekarang ini hanya melihat “permulaan
yang lemah” dari kontrol ini. Mereka berharap untuk melihat suatu suksesi
panjang reformasi-reformasi di masa mendatang, yang kesemuanya mendukung kelas
pekerja. Akan tetapi, dalam hal ini mereka melakukan kesalahan yang serupa
dengan keyakinan mereka akan perkembangan gerakan serikat buruh yang tak
terbatas.
Syarat pokok bagi teori pencapaian sosialisme secara perlahan melalui
reformasi-reformasi sosial adalah perkembangan obyektif tertentu dari
kepemilikan kapitalis dan perkembangan obyektif tertentu dari negara. Konrad
Schmidt mengatakan bahwa proprietor kapitalis cenderung untuk kehilangan
hak-hak istimewanya seiring dengan perkembangan sejarah, dan akan terkurangi
perannya hanya menjadi sekedar administrator. Dia mengira bahwa pengambil-alihan
alat produksi tidak mungkin bisa dilaksanakan sebagai suatu tindakan historis
tunggal. Karena itu, dia terpaksa menggunakan teori pengambil-alihan secara
bertahap. Dengan pemikiran ini, Konrad membagi hak atas kepemilikan menjadi (1)
hak “kedaulatan” (kepemilikan) -yang dia lekatkan pada sesuatu yang disebut
“masyarakat”, dan yang dia inginkan untuk meluas- dan (2) lawannya, yaitu
hanya hak guna yang dipegang oleh kapitalis, namun yang dianggap akan terkurangi
di tangan para kapitalis, hingga hanya menjadi semata-mata administrasi atas
perusahaan-perusahaan mereka.
Interpretasi ini bisa jadi hanya merupakan permainan kata-kata, dan dalam hal
ini berarti teori tentang pengambil-alihan secara perlahan tidak memiliki basis
yang riil, atau ia merupakan gambaran sejati dari perkembangan yudisial, di mana
kita akan melihat bahwa teori pengambil-alihan secara perlahan itu sama sekali
keliru.
Pembagian hak atas kepemilikan menjadi beberapa komponen hak, yakni sebuah
konsep yang memberi legitimasi bagi Konrad Schmidt agar bisa menyusun teorinya
tentang “pengambil-alihan secara bertahap”, menunjukkan ciri masyarakat
feodal yang didirikan berdasarkan ekonomi alami. Dalam feodalisme, keseluruhan
produk dibagi di antara kelas-kelas sosial di masa itu berdasarkan
hubungan-hubungan pribadi yang ada antara tuan tanah dengan hamba ataupun
penyewanya. Penguraian kepemilikan menjadi beberapa hak parsial mencerminkan
cara distribusi kekayaan sosial pada periode itu. Dengan berjalannya proses
menuju produksi komoditas dan diputuskannya semua ikatan pribadi di antara para
peserta dalam proses produksi, maka hubungan antara manusia dan benda (yakni
kepemilikan pribadi) secara resiprokal menjadi lebih kuat. Karena pembagian itu
tidak lagi dilakukan berdasarkan hubungan-hubungan pribadi, melainkan melalui
pertukaran, maka hak-hak berbeda atas suatu bagian dalam kekayaan sosial tidak
lagi dihitung sebagai bagian-bagian dari hak-hak properti yang memiliki
kepentingan yang sama. Hak-hak yang berbeda itu dihitung berdasarkan nilai yang
dibawa oleh masing-masing hak itu di pasar.
Perubahan pertama yang diintrodusir ke dalam hubungan-hubungan yuridis dengan
adanya kemajuan produksi komoditas pada komune-komune perkotaan Abad Pertengahan
adalah perkembangan dari kepemilikan pribadi yang absolut. Kepemilikan pribadi
yang absolut ini muncul di antara hubungan-hubungan yuridis feodal. Perkembangan
ini telah bergerak maju dengan langkah pesat dalam produksi kapitalis. Makin
proses produksi tersosialisasi, maka proses distribusi (pembagian kekayaan)
semakin bertumpu pada pertukaran. Dan makin kepemilikan pribadi menjadi
tak bisa dilanggar dan tertutup, maka kepemilikan kapitalis menjadi semakin
tertransformasikan dari hak atas hasil kerja seseorang itu sendiri menjadi hak
untuk menggunakan (tanpa ijin) kerja dari seseorang yang lain. Selama kapitalis
itu sendiri yang mengelola pabriknya, maka distribusi masih -sampai titik
tertentu- terikat pada partisipasi pribadinya dalam proses produksi. Namun
seiring dengan manajemen pribadi pada bagian kapitalis menjadi berlebihan -yang
ini merupakan kasus dalam masyarakat-masyarakat pemegang saham di masa sekarang-
maka properti modal, sejauh berkenaan dengan haknya atas bagian dalam distribusi
(pembagian kekayaan), menjadi terpisah dari hubungan pribadi apapun dengan
produksi. Ia kini muncul dalam bentuknya yang paling murni. Hak kapitalis atas
properti mencapai perkembangannya yang paling sempurna dalam modal yang dipegang
dalam bentuk saham-saham dan kredit industri.
Demikianlah skema historis Konrad Schmidt, yang menelusuri transformasi
kapitalis “dari seorang proprietor menjadi administrator semata”,
ternyata memberi gambaran keliru tentang perkembangan sejarah yang riil.
Sebaliknya, dalam realitas sejarah, kapitalis cenderung berubah dari proprietor
dan administrator menjadi proprietor semata. Dalam hal ini, apa yang
terjadi pada Konrad Schmidt, telah pula terjadi pada Goethe:
Apa yang nyata, ia lihat sebagaimana yang ada dalam mimpi.
Apa yang tak lagi nyata, baginya menjadi nyata.
Karena skema sejarah Schmidt secara ekonomi berjalan mundur dari suatu
masyarakat pemegang saham menuju bengkel pengrajin, maka secara yuridis dia
berkehendak untuk memimpin dunia kapitalis mundur kembali kepada rangka feodal
lama Abad Pertengahan.
Dari sudut pandang ini pula, “kontrol sosial” dalam realitas ternyata
muncul dalam aspek yang berbeda dengan apa yang dilihat oleh Konrad Schmidt. Apa
yang sekarang ini berfungsi sebagai “kontrol sosial” -legislasi tentang
kerja, kontrol organisasi-organisasi industri melalui kepemilikan saham, dan
lain-lain- sama sekali tidak ada hubungannya dengan konsepnya tentang “kepemilikan
yang maha tinggi”. Jauh dari -sebagaimana diyakini oleh Schmidt- asumsi
terjadinya pengurangan kepemilikan kapitalis, sebaliknya “kontrol sosial”
itu tak lain adalah perlindungan atas kepemilikan kapitalis. Atau, kalau
diungkapkan dari sudut pandang ekonomi, “kontrol sosial“ itu bukanlah suatu
ancaman terhadap eksploitasi kapitalis, melainkan hanyalah pengaturan
eksploitasi. Jika Bernstein bertanya apakah ada sedikit-banyak sosialisme dalam
suatu Undang-Undang perlindungan tenaga kerja, maka kita bisa meyakinkan dia
bahwa sebaik-baiknya Undang-Undang perlindungan tenaga kerja, tak ada lagi “sosialisme”
selain sekedar sebuah ordonansi kotapraja yang mengatur soal pembersihan jalan
ataupun hidup/matinya lampu jalan.
4 – Kapitalisme dan Negara
Syarat kedua dari realisasi sosialisme secara perlahan,
menurut Bernstein, adalah evolusi negara dalam masyarakat. Telah menjadi sesuatu
yang lumrah untuk mengatakan bahwa negara yang ada sekarang ini adalah negara
kelas. Hal ini juga, seperti segala sesuatu yang mengacu pada masyarakat
kapitalis, hendaknya tidak dipahami dengan cara yang absolut dan kaku, melainkan
secara dialektis.
Negara menjadi kapitalis karena adanya kemenangan politik
borjuasi. Perkembangan kapitalis mengubah secara esensial watak negara,
memperluas lingkup tindakan negara, secara konstan memaksakan fungsi-fungsi baru
pada negara (khususnya fungsi-fungsi yang mempengaruhi kehidupan ekonomi),
membuat intervensi dan kontrol negara dalam masyarakat menjadi makin dan makin
diperlukan. Dalam hal ini, perkembangan kapitalis sedikit demi sedikit
menyiapkan penggabungan (fusi) negara dengan masyarakat di masa depan. Maksudnya
ialah bahwa perkembangan kapitalis menyiapkan kembalinya negara kepada
masyarakat. Mengikuti garis pikiran ini, seseorang bisa berbicara tentang
evolusi negara kapitalis menjadi masyarakat, dan ini tak ragu lagi adalah apa
yang ada dalam pikiran Marx ketika ia mengacu pada legislasi tentang kerja
sebagai intervensi secara sadar yang pertama dari “masyarakat” dalam proses
sosial yang vital. Sebuah frasa yang kepadanya Bernstein sangat bergantung.
Akan tetapi, di sisi lain, perkembangan kapitalis yang sama
mewujudkan transformasi lain dalam hal watak negara. Negara yang ada sekarang
pertama-tama adalah sebuah organisasi dari kelas yang berkuasa/memerintah. Ini
mengasumsikan fungsi-fungsi yang mendukung perkembangan sosial, khususnya karena
-dan dalam ukuran bahwa- kepentingan-kepentingan ini dan
perkembangan-perkembangan sosial sesuai -dalam model yang umum- dengan
kepentingan-kepentingan dari kelas yang dominan. Legislasi tentang kerja
diundangkan berdasarkan kepentingan mendesak kelas kapitalis, selaras dengan
kepentingan masyarakat secara umum. Tetapi harmoni ini hanya bertahan sampai
suatu titik tertentu dari perkembangan kapitalis. Ketika perkembangan kapitalis
telah mencapai suatu tingkat tertentu, maka kepentingan borjuasi sebagai sebuah
kelas, dan kebutuhan akan kemajuan ekonomi, mulai berbenturan, bahkan dalam
makna kapitalis. Kita percaya bahwa fase ini telah dimulai. Ia mewujudkan diri
dalam dua fenomena yang sangat penting dari kehidupan sosial kontemporer: di
satu sisi, kebijakan tentang proteksi tarif dan di sisi lain, militerisme. Kedua
fenomena ini telah memainkan peran yang sangat dibutuhkan dan -dalam makna itu-
bersifat revolusioner sepanjang sejarah kapitalisme. Tanpa adanya proteksi
tarif, perkembangan industri besar akan menjadi mustahil di beberapa negeri.
Namun sekarang situasinya berbeda.
Sekarang ini, proteksi tidak begitu berperan dalam
mengembangkan industri muda untuk secara artifisial mempertahankan bentuk-bentuk
produksi tertentu yang sudah tua.
Dari sudut perkembangan kapitalis, yakni dari titik pandang
dunia ekonomi, hanyalah persoalan kecil apakah Jerman mengekspor lebih banyak
barang dagangan ke Inggris, ataukah Inggris mengekspor lebih banyak barang
dagangan ke Jerman. Dari sudut pandang perkembangan ini, bisa dikatakan bahwa
sang blackamoor telah melakukan pekerjaannya, dan kini waktunya bagi dia
untuk berjalan dengan caranya sendiri. Dengan adanya kondisi tertentu berupa
ketergantungan resiprokal, yang itu didapati oleh berbagai cabang industri, maka
suatu tarif proteksionis pada komoditas apapun akan mengakibatkan naiknya biaya
produksi komoditas-komoditas lainnya di dalam negeri itu. Karena itu, ia
merintangi perkembangan industri. Tetapi tidaklah demikian halnya dari sudut
pandang kepentingan kelas kapitalis. Walaupun industri tidak memerlukan proteksi
tarif untuk perkembangannya, namun bisnis memerlukan tarif untuk melindungi
pasarnya. Ini menandakan bahwa di masa sekarang, tarif tidak lagi berfungsi
sebagai sarana untuk melindungi suatu bagian kapitalis yang sedang berkembang
terhadap bagian-bagian lain yang sudah lebih maju. Tarif kini adalah senjata
yang digunakan oleh satu kelompok kapitalis nasional untuk menghadapi kelompok
lainnya. Lebih jauh, tarif kini bukan lagi merupakan instrumen proteksi bagi
industri dalam geraknya untuk menciptakan dan menguasai pasar dalam negeri.
Tarif sekarang ini adalah sarana yang sangat dibutuhkan untuk kartelisasi
industri, yakni sarana yang digunakan dalam perjuangan para produsen kapitalis
untuk menghadapi masyarakat konsumen dalam agregat itu. Apa yang dengan cara
empatik menjelaskan karakter spesifik dari kebijakan-kebijakan tentang pajak
impor kontemporer adalah fakta bahwa sekarang ini bukan industri, melainkan
pertanian lah yang memainkan peran utama dalam penentuan tarif. Kebijakan
tentang proteksi pajak impor telah menjadi suatu alat untuk mengkonversikan dan
mengekspresikan kepentingan-kepentingan feodal dalam bentuk kapitalis.
Perubahan yang sama telah terjadi dalam militerisme. Apabila
kita mempertimbangakan sejarah seperti apa adanya dulu, bukan apa yang bisa jadi
atau seharusnya bisa jadi, maka kita harus mengakui bahwa perang telah menjadi
bagian istimewa yang sangat dibutuhkan dalam perkembangan kapitalis. Amerika
Serikat, Jerman, Italia, negara-negara Balkan, Polandia, semuanya berhutang budi
kepada perang untuk perkembangan kapitalisnya, baik perang itu berakhir dengan
kemenangan ataupun dengan kekalahan. Selama ada negeri-negeri yang ditandai
dengan pembagian politik atau isolasi ekonomi internal yang harus dihancurkan,
maka militerisme memainkan sebuah peran revolusioner jika dilihat dari sudut
pandang kapitalisme. Namun sekarang ini situasinya berbeda. Jika politik dunia
telah menjadi tahap yang mengancam munculnya konflik-konflik, maka ia bukan lagi
merupakan persoalan terbukanya negeri-negeri baru bagi kapitalisme. Ia adalah
persoalan yang telah ada dalam pertikaian-pertikaian Eropa, yang kemudian
dikirimkan ke negeri-negeri lain, lalu meledak di sana. Lawan-lawan bersenjata
yang kini kita lihat di Eropa dan benua-benua lainnya tidak membariskan diri
sebagai negeri-negeri kapitalis di satu sisi, dan sebagai negeri-negeri
terbelakang di sisi lain. Mereka adalah negara-negara yang dipaksa berperang,
khususnya sebagai akibat perkembangan kapitalisnya yang maju secara serupa.
Dalam pandangan ini, sebuah ledakan pasti akan fatal bagi perkembangan itu,
dalam hal bahwa ia pasti memprovokasi kekacauan yang sangat mendalam dan
transformasi kehidupan ekonomi di semua negeri.
Namun demikian, persoalan ini muncul secara sama sekali
berbeda jika dilihat dari pandangan kelas kapitalis. Bagi kelas kapitalis,
militerisme telah menjadi sangat dibutuhkan. Pertama, sebagai suatu sarana
perjuangan untuk membela kepentingan “nasional” dalam persaingan
melawan kelompok-kelompok “nasional” lainnya. Kedua, sebagai suatu
metode penempatan untuk modal finansial dan industri. Ketiga, sebagai suatu
instrumen dominasi kelas terhadap populasi pekerja di dalam negeri. Di dalam
dirinya sendiri, kepentingan-kepentingan ini tidak memiliki kesamaan dengan
perkembangan corak produksi kapitalis. Apa yang paling menunjukkan karakter
khusus dari militerisme sekarang ini adalah fakta bahwa militerisme berkembang
secara umum di semua negeri sebagai suatu akibat -boleh dikatakan- dari kekuatan
motif internalnya sendiri yang mekanis. Sebuah fenomena yang sama sekali belum
dikenal beberapa dekade yang lalu. Kita mengenali hal ini dalam karakter fatal
dari ledakan di ambang pintu yang tak terhindarkan, meskipun terdapat keraguan
total mengenai tujuan-tujuan dan motif-motif konflik. Perkembangan militerisme
telah berubah dari motor kapitalis, menjadi suatu penyakit kapitalis.
Dalam perbenturan antara perkembangan kapitalis dan
kepentingan kelas yang dominan, negara mengambil posisi di pihak kelas yang
dominan. Kebijakan negara, seperti juga kebijakan borjuasi, menjadi berkonflik
dengan perkembangan sosial. Dengan begitu, negara makin dan makin kehilangan
karakternya sebagai representasi dari keseluruhan masyarakat, dan dengan tingkat
yang sama pula bertransformasi menjadi murni sebuah negara kelas. Atau lebih
tepatnya, dua kualitas ini semakin membedakan diri dari satu sama lain, dan
mendapati dirinya pada hubungan yang bertentangan dalam watak hakiki negara.
Kontradiksi ini secara progresif menjadi bertambah tajam. Ini karena di satu
sisi, kita mengalami pertumbuhan fungsi-fungsi dari suatu kepentingan umum pada
bagian negara, intervensinya dalam kehidupan sosial, “kontrol"nya
terhadap masyarakat. Namun, di sisi lain, karakter kelasnya mengharuskan negara
untuk makin dan makin menggerakkan poros aktivitas dan alat kekerasannya
ke dalam ranah-ranah yang berguna hanya bagi karakter kelas borjuasi, sedangkan
bagi masyarakat secara keseluruhan hanyalah mendatangkan arti penting yang
negatif, sebagaimana dalam hal militerisme serta kebijakan-kebijakan tarif dan
kolonial. Terlebih lagi, “kontrol sosial” yang dipraktekkan oleh
negara ini sekaligus menerobos dengan -dan didominasi oleh- karakter kelasnya
(lihatlah bagaimana legalisasi tentang kerja diterapkan di semua negeri).
Perluasan demokrasi, yang dilihat Bernstein sebagai suatu
sarana untuk mewujudkan sosialisme secara bertahap, tidaklah bertentangan,
justru sebaliknya secara sempurna berkesesuaian dengan transformasi yang
diwujudkan dalam watak negara.
Konrad Schmidt menyatakan bahwa kemenangan suatu mayoritas
sosial-demokratik di parlemen akan secara langsung menyebabkan terjadinya
"sosialisasi” masyarakat. Kini, bentuk-bentuk demokratis dari
kehidupan politik tak ragu lagi merupakan fenomena yang mengekspresikan secara
jelas evolusi negara dalam masyarakat. Bentuk-bentuk demokratis ini pada batas
itu memang menimbulkan suatu gerak menuju suatu transformasi sosialis. Tetapi
konflik di dalam negara kapitalis seperti diuraikan di atas, termanifestasi
sendiri bahkan secara lebih empatik dalam parlementarisme moderen. Sesungguhnya,
sesuai dengan dengan bentuknya, parlementarisme berfungsi untuk mengekspresikan
-di dalam organisasi negara-kepentingan-kepentingan dari seluruh masyarakat.
Namun apa yang diekspresikan oleh parlementarisme di sini adalah masyarakat
kapitalis, yaitu suatu masyarakat di mana kepentingan-kepentingan kapitalis
lebih berkuasa. Dalam masyarakat seperti ini, lembaga-lembaga perwakilan yang
demokratis dalam bentuknya, ternyata dalam isinya adalah instrumen dari
kepentingan kelas yang berkuasa. Hal ini termanifestasi sendiri dengan model
yang nyata dalam fakta bahwa segera setelah demokrasi menunjukkan kecenderungan
untuk menegasikan karakter kelasnya dan mulai tertransformasikan menjadi
instrumen dari kepentingan riil populasi, maka bentuk-bentuk demokratis itupun
dikorbankan oleh borjuasi dan oleh wakil-wakil negaranya. Itulah mengapa ide
tentang penaklukan oleh suatu mayoritas reformis parlementer merupakan
perhitungan yang -sepenuhnya dalam semangat liberalisme borjuis- berasyik-asyik
sendiri hanya memikirkan satu sisi, yakni sisi formal demokrasi, namun tidak
mempertimbangkan sisi lainnya, yakni kandungan sesungguhnya dari demokrasi.
Seluruhnya, parlementarisme bukanlah suatu elemen sosialis langsung yang
membuahi seluruh masyarakat kapitalis secara perlahan. Sebaliknya,
parlementarisme adalah bentuk spesifik dari negara kelas borjuis yang membantu
mematangkan dan mengembangkan pertentangan-pertentangan yang kini ada dalam
kapitalisme.
Dari sudut sejarah perkembangan obyektif negara, keyakinan
Bernstein dan Konrad Schmidt bahwa “kontrol sosial” yang meningkat
menghasilkan pengantar langsung menuju sosialisme, tertransformasikan menjadi
suatu rumusan yang mendapati dirinya sendiri semakin berkontradiksi dengan
realitas dari hari ke hari.
Teori introduksi sosialisme secara perlahan mengajukan
reformasi progresif terhadap kepemilikan kapitalis dan negara kapitalis dalam
arahan sosialisme. Namun, sebagai konsekuensi dari hukum-hukum obyektif
masyarakat yang kini ada, satu dan lainnya berkembang dalam arah yang persis
berlawanan. Proses produksi semakin tersosialisasi, dan intervensi negara, yakni
kontrol negara terhadap proses produksi, menjadi semakin luas.
Tetapi pada saat
yang sama, properti pribadi makin dan makin menjadi bentuk dari eksploitasi
kapitalis secara terbuka terhadap kerja orang lain, dan kontrol negara diterobos
dengan adanya kepentingan-kepentingan eksklusif dari kelas yang berkuasa. Negara
(organisasi politik dari kapitalisme) dan hubungan-hubungan kepemilikan
(organisasi yuridis dari kapitalisme) menjadi semakin bersifat kapitalis, dan
bukan sosialis, menghadapkan pada teori introduksi sosialisme secara progresif,
dua kesulitan yang tak bisa ditanggulangi.
Skema Fourier tentang mengubah air -melalui sebuah sistem phalansteries-
di seluruh laut menjadi limun yang sedap tentunya merupakan ide yang fantastis.
Tetapi Bernstein, dengan mengajukan gagasan untuk mengubah lautan kepahitan
kapitalis menjadi lautan manisnya sosialis dengan secara progresif menuangkan
limun reformis sosial ke dalam lautan itu, sesungguhnya menyajikan sebuah ide
yang sekedar menjadi makin hambar, namun tak lagi fantastis.
Relasi-relasi produksi di masyarakat kapitalis makin dan
makin mendekati relasi-relasi produksi masyarakat sosialis. Tetapi di sisi lain,
hubungan-hubungan politik dan yuridisnya menegakkan tembok kokoh di antara
masyarakat kapitalis dan masyarakat sosialis. Tembok ini belum hancur, namun
sebaliknya diperkuat dan dikonsolidasikan oleh perkembangan reformasi sosial dan
jalannya demokrasi. Hanya pukulan palu revolusi, yakni penaklukan kekuasaan
politik oleh proletariat lah yang bisa menghancur-leburkan tembok itu.
5 – Konsekuensi Reformisme Sosial dan Watak Umum Revisionisme
Di bab pertama kami bermaksud menunjukkan bahwa teori
Bernstein mencabut program gerakan sosialis lepas dari basis materialnya, dan
berusaha meletakkan program gerakan sosialis di atas suatu basis yang idealis.
Bagaimana teori ini berjalan ketika diterjemahkan ke dalam praktek?
Berdasarkan perbandingan pertama, praktek partai sebagai
akibat dari teori Bernstein tidaklah nampak berbeda dengan praktek yang dianut
oleh sosial-demokrasi sampai sekarang. Dahulu, aktivitas Partai Sosial-Demokrasi
terdiri atas kerja serikat buruh, agitasi untuk memperjuangkan
reformasi-reformasi sosial dan demokratisasi lembaga-lembaga politik yang ada.
Perbedaannya bukanlah pada apa, melainkan pada bagaimana.
Sekarang ini, perjuangan serikat buruh dan praktek
parlementer dianggap sebagai sarana pembinaan dan pendidikan proletariat dalam
persiapan untuk tugas merebut kekuasaan. Dari sudut pandang revisionis,
penaklukan kekuasaan ini adalah mustahil sekaligus sia-sia. Dan karenanya,
aktivitas serikat buruh dan parlementer hendak dilaksanakan oleh partai hanya
demi mencapai hasil-hasilnya yang mendesak, yakni untuk tujuan memperbaiki
kondisi buruh yang kini ada, mengurangi eksploitasi kapitalis secara perlahan,
dan perluasan kontrol sosial.
Dengan demikian, apabila kita tidak mempertimbangkan
perbaikan sementara kondisi buruh yang mendesak -sebuah tujuan yang sama baik
bagi program partai kita, maupun bagi revisionisme- maka perbedaan antara dua
pandangan ini secara singkat adalah sebagai berikut. Menurut konsepsi partai
yang kini ada, aktivitas serikat buruh dan parlementer itu penting bagi gerakan
sosialis, karena aktivitas seperti itu bisa menyiapkan proletariat, yakni
menciptakan faktor subyektif dari transformasi sosialis, demi tugas untuk
mewujudkan sosialisme. Tetapi menurut Bernstein, aktivitas serikat buruh dan
parlementer secara perlahan akan mengurangi eksploitasi kapitalis itu sendiri.
Aktivitas tersebut akan melepaskan karakter kapitalis dari masyarakat kapitalis.
Aktivitas tersebut akan secara obyektif mewujudkan perubahan sosial yang
diinginkan.
Apabila diteliti secara seksama, kita akan melihat bahwa
kedua konsepsi itu secara diametris bertentangan. Memandang situasi itu dari
sudut pandang partai kita sekarang ini, kita katakan bahwa sebagai hasil dari
perjuangan-perjuangan serikat buruh dan parlementer, proletariat menjadi yakin
akan mustahilnya pencapaian suatu perubahan sosial yang fundamental melalui
aktivitas seperti itu, sehingga sampai pada pemahaman bahwa penaklukan kekuasaan
adalah tak terhindarkan. Bagaimanapun juga, teori Bernstein dimulai dengan
menyatakan bahwa penaklukan seperti itu mustahil. Teori Bernstein menarik
kesimpulan dengan menegaskan bahwa sosialisme hanya bisa diintrodusir sebagai
hasil dari perjuangan serikat buruh dan aktivitas parlementer. Karena,
sebagaimana dilihat oleh Bernstein, aksi serikat buruh dan parlementer memiliki
suatu karakter sosialis, karena ia menjalankan pengaruh sosialisasi secara
progresif terhadap ekonomi kapitalis.
Kita telah coba menunjukkan bahwa pengaruh semacam itu murni
bersifat imajiner. Hubungan-hubungan antara properti kapitalis dan negara
kapitalis berkembang dalam arah yang sama sekali berlawanan, sehingga aktivitas
praktis sehari-hari dari Sosial-Demokrasi sekarang ini kehilangan -dalam
analisis terakhir- semua hubungannya dengan kerja untuk mencapai sosialisme.
Dari sudut pandang sebuah gerakan untuk mencapai sosialisme, perjuangan serikat
buruh dan praktek parlementer kita amatlah penting sejauh keduanya membuat
pemahaman serta kesadaran proletariat menjadi sosialistik, dan membantu dalam
mengorganisir proletariat sebagai sebuah kelas. Namun ketika perjuangan serikat
buruh dan praktek parlementer dianggap sebagai instrumen untuk melakukan
sosialisasi secara langsung terhadap ekonomi kapitalis, maka keduanya tidak
hanya kehilangan efektivitasnya yang lazim, melainkan juga tak lagi menjadi
sarana untuk menyiapkan kelas pekerja bagi penaklukan kekuasaan. Eduard
Bernstein dan Konrad Schmidt sama sekali salah mengerti ketika keduanya
menghibur diri dengan keyakinan bahwa, meskipun program partai direduksi hanya
menjadi kerja untuk mencapai reformasi-reformasi sosial dan kerja serikat buruh
seperti biasa, namun tujuan akhir gerakan buruh tidaklah menjadi percuma, karena
setiap langkah majunya bergerak melampaui tujuan jangka pendek tertentu, dan
tujuan sosialis terimplikasi sebagai suatu kecenderungan dari kemajuan yang
dikehendaki.
Tentu saja hal itu benar berkenaan dengan Sosial-Demokrasi
Jerman. Hal tersebut benar, bilamana sebuah upaya yang tegas dan sadar untuk
penaklukan kekuasaan politik menyuburkan perjuangan serikat buruh dan kerja
untuk mencapai reformasi-reformasi sosial. Tetapi apabila upaya ini dipisahkan
dari gerakan itu sendiri, dan reformasi-reformasi sosial dengan begitu dijadikan
semata-mata sebagai tujuan, maka aktivitas tersebut bukan hanya tidak mengarah
pada tujuan akhir sosialisme, melainkan bahkan bergerak dalam arah yang persis
bertentangan.
Konrad Schmidt terjerumus pada ide bahwa jika suatu gerakan
yang ternyata bersifat mekanis telah dimulai, maka ia tidak bisa berhenti
sendiri, karena “selera seseorang justru tumbuh ketika makan,” dan kelas
pekerja disangka tidak akan berpuas diri dengan reformasi-reformasi sampai
transformasi akhir sosialis terwujud.
Memang kondisi yang disebutkan terakhir tadi cukup riil.
Efektivitasnya dijamin oleh amat tidak memadainya reformasi kapitalis. Akan
tetapi, kesimpulan yang ditarik dari hal itu hanya bisa menjadi benar jika
memang memungkinkan untuk membangun sebuah rantai reformasi yang terus memanjang
dan tak terputus, yang beranjak dari kapitalisme masa kini menuju sosialisme.
Ini tentu saja hanya fantasi belaka. Sesuai dengan sifat segala sesuatu
sebagaimana adanya, rantai akan putus dengan cepat, dan jalur yang bisa diambil
oleh gerakan mulai saat itu, yang diharapkan untuk maju, adalah banyak dan
bervariasi.
Apa akibat yang segera akan terjadi jika partai kita harus
mengubah prosedur umumnya untuk disesuaikan dengan sudut pandang yang ingin
menekankan perhatian pada hasil-hasil praktis dari perjuangan kita? Segera
setelah “hasil-hasil jangka pendek” menjadi tujuan utama aktivitas kita,
maka hal nyata yang tak terdamaikan dengan sudut pandang yang baru akan memiliki
makna jikalau ia mengajukan konsep untuk memenangkan kekuasaan, akan didapati
makin dan makin sulit. Konsekuensi langsung dari hal ini akan berupa adopsi oleh
partai terhadap “kebijakan kompensasi”, yakni suatu kebijakan perdagangan
politis, dan sebuah sikap yang kurang percaya diri, perdamaian diplomatis.
Tetapi sikap ini tidak bisa berlanjut untuk waktu yang lama, karena reformasi
sosial hanya bisa menawarkan janji kosong. Konsekuensi logis dari program
seperti itu pastilah berupa kekecewaan.
Tidaklah benar bahwa sosialisme bisa muncul secara otomatis
dari perjuangan sehari-hari kelas pekerja. Sosialisme akan menjadi konsekuensi
dari (1) kontradiksi-kontradiksi yang tumbuh di dalam ekonomi kapitalis, dan (2)
pemahaman oleh kelas pekerja tentang tak terhindarkannya penghapusan
kontradiksi-kontradiksi ini melalui transformasi sosial. Apabila -dengan
cara revisionisme- syarat pertama disanggah dan syarat kedua ditolak, maka
gerakan buruh akan mendapati diri tereduksi menjadi semata-mata gerakan yang
kooperatif dan reformis. Ini berarti kita bergerak dalam garis lurus menuju
pengabaian total sudut pandang kelas.
Konsekuensi ini juga menjadi nyata apabila kita meneliti
karakter umum revisionisme. Jelas bahwa revisionisme tidak ingin mengakui bahwa
sudut pandangnya adalah sikap apologis kapitalis. Revisionisme tidak bergabung
dengan ekonom-ekonom borjuis dalam menolak eksistensi kontradiksi-kontradiksi
dalam kapitalisme. Namun, di sisi lain, apa yang memang merupakan titik
fundamental revisionisme, dan membedakannya dengan sikap yang diambil oleh
sosial-demokrasi sampai sekarang, ialah bahwa revisionisme tidak mendasarkan
teorinya pada keyakinan bahwa kontradiksi-kontradiksi kapitalisme akan
terhapuskan sebagai akibat perkembangan internal logis dari sistem ekonomi yang
ada sekarang.
Kita bisa mengatakan bahwa teori revisionisme menempati
sebuah ruang di antara dua hal ekstrem. Revisionisme tak ingin melihat matangnya
kontradiksi-kontradiksi kapitalisme. Ia tidak mengajukan konsep untuk
menghapuskan kontradiksi-kontradiksi ini melalui suatu transformasi
revolusioner. Revisionisme ingin memperkecil, meredakan kontradiksi-kontradiksi
kapitalis. Dengan demikian, pertentangan yang ada antara produksi dan pertukaran
hendak diredakan dengan dihentikannya krisis dan dibentuknya persekutuan
kapitalis. Pertentangan antara modal dan kerja hendak didamaikan dengan
memperbaiki kondisi buruh dan dengan pelestarian kelas-kelas menengah. Dan
kontradiksi antara negara kelas dan masyarakat hendak dihilangkan dengan cara
kontrol negara yang meningkat serta kemajuan demokrasi.
Benar bahwa prosedur sosial-demokrasi yang ada sekarang ini
tidak mengandung muatan untuk menunggu agar antagonisme-antagonisme kapitalisme
berkembang dan kemudian sekedar berlanjut pada tugas untuk menghapuskan
antagonisme-antagonisme tersebut. Sebaliknya, esensi dari prosedur revolusioner
ialah akan dipandu oleh perkembangan ini ketika perkembangan itu telah bisa
dipastikan, dan menarik kesimpulan dari arahan ini tentang
konsekuensi-konsekuensi apa yang diperlukan bagi perjuangan politik. Jadi,
sosial-demokrasi telah melawan perang tarif dan militerisme tanpa menunggu
karakter reaksioner kedua hal itu menjadi jelas. Prosedur Bernstein tidak
dipandu oleh suatu pertimbangan tentang perkembangan kapitalisme, oleh prospek
tentang menajamnya kontradiksi-kontradiksi kapitalis. Prosedur Bernstein dipandu
oleh prospek tentang meredanya kontradiksi-kontradiksi ini. Dia menunjukkan hal
ini ketika berbicara tentang “adaptasi” ekonomi kapitalis.
Lalu, kapan konsepsi itu bisa menjadi benar? Jika benar bahwa
kapitalisme akan terus berkembang dalam arah yang ditempuhnya sekarang ini, maka
kontradiksi-kontradiksinya pasti akan menajam serta semakin parah, dan bukan
melenyap. Kemungkinan berkurangnya kontradiksi-kontradiksi tersebut
mengasumsikan bahwa corak produksi kapitalis itu sendiri akan menghentikan gerak
majunya. Singkatnya, syarat umum bagi teori Bernstein adalah berhentinya
perkembangan kapitalis.
Namun demikian, teori Bernstein menunjukkan kesalahannya
sendiri secara duakali lipat.
Pertama, teori itu memanifestasikan karakter utopisnya dalam
sikapnya tentang pembangunan sosialisme. Karena sudah jelas, bahwa perkembangan
kapitalis yang tak sempurna tidak bisa menuju pada suatu transformasi sosialis.
Kedua, teori Bernstein mengungkap karakter reaksionernya
ketika ia mengacu pada perkembangan pesat kapitalis yang terjadi di masa
sekarang. Dengan mengasumsikan perkembangan kapitalisme yang sesungguhnya,
bagaimana kita bisa menjelaskan -atau lebih tepatnya menyatakan- posisi
Bernstein?
Pada bab pertama kita telah menunjukkan tidak konkretnya
basis kondisi-kondisi ekonomi, yang berlandaskan itu Bernstein membangun
analisisnya mengenai hubungan sosial yang ada. Kita telah melihat bahwa, baik
sistem kredit maupun kartel, tidak bisa dikatakan sebagai “sarana
adaptasi” ekonomi kapitalis. Kita telah melihat bahwa, bahkan
berhenti-sementaranya krisis, ataupun bertahan hidupnya kelas menengah, tidak
bisa dianggap sebagai gejala-gejala adaptasi kapitalis. Tetapi, meskipun kita
akan gagal menjelaskan sifat keliru dari semua hal rinci dalam teori Bernstein,
namun kita tak berdaya kecuali dihentikan sejenak oleh satu gambaran yang sama
dari semua hal rinci tersebut. Teori Bernstein tidak menangkap
manifestasi-manifestasi dari kehidupan ekonomi kontemporer ini sebagaimana
manifestasi tersebut muncul dalam hubungan organiknya dengan keseluruhan
perkembangan kapitalis, dengan keseluruhan mekanisme ekonomi kapitalisme. Teori
Bernstein menarik hal-hal rinci itu keluar dari konteks ekonominya yang hidup.
Teori ini memperlakukan hal-hal rinci tersebut sebagai disjecta membra
(bagian-bagian yang terpisah) dari sebuah mesin mati.
Lihatlah, misalnya, konsepsi Bernstein tentang efek adaptif
dari kredit. Jika kita mengenali kredit sebagai suatu tahap alami yang lebih
tinggi dari proses pertukaran, dan karenanya juga merupakan tahap alami yang
lebih tinggi dari kontradiksi-kontradiksi yang inheren dalam pertukaran
kapitalis, maka kita tidak bisa sekaligus melihatnya sebagai sarana mekanis
adaptasi yang berada di luar proses pertukaran. Demikian pula, adalah mustahil
untuk menganggap uang, barang dagangan dan modal sebagai “sarana adaptasi”
kapitalisme.
Bagaimanapun juga, kredit, seperti juga uang,
komoditas-komoditas dan modal, adalah suatu link organik dari ekonomi
kapitalis pada suatu tahap perkembangannya yang tertentu. Seperti uang,
komoditas dan modal, kredit merupakan alat yang sangat dibutuhkan dalam
mekanisme ekonomi kapitalis, dan sekaligus merupakan instrumen penghancur,
karena ia mempertajam kontradiksi-kontradiksi internal kapitalisme.
Hal yang sama juga berlaku pada kartel dan sarana-sarana
komunikasi baru yang disempurnakan.
Pandangan mekanis yang sama disajikan oleh Bernstein dalam
upaya untuk menjelaskan tentang harapan berhentinya krisis sebagai suatu gejala
“adaptasi” ekonomi kapitalis. Bagi Bernstein, krisis hanyalah kekacauan mekanisme
ekonomi. Dengan berhentinya kekacauan itu, dia pikir, mekanisme akan bisa
berfungsi dengan baik. Namun faktanya ialah bahwa krisis bukanlah “kekacauan”
dalam makna kata yang biasanya. Krisis adalah “kekacauan-kekacauan”, yang
tanpa itu ekonomi kapitalis tidak bisa berkembang sama sekali. Karena apabila
krisis memunculkan satu-satunya metode yang mungkin dalam kapitalisme -dan
karena itu, merupakan metode yang normal- untuk menyelesaikan secara periodik
konflik yang ada antara perluasan produksi yang tak terbatas dan batas-batas
sempit pasar dunia, maka krisis adalah manifestasi organik yang tidak bisa
dipisahkan dari ekonomi kapitalis.
Dalam kemajuan produksi kapitalis yang “tak terhalangi”
tersembunyi suatu ancaman yang lebih besar daripada krisis. Ia adalah ancaman
jatuhnya tingkat keuntungan secara konstan yang diakibatkan bukan hanya oleh
kontradiksi antara produksi dan pertukaran, melainkan juga oleh pertumbuhan
produktivitas kerja itu sendiri. Jatuhnya tingkat keuntungan memiliki
kecenderungan sangat berbahaya, yakni menyebabkan tidak-mungkinnya bisnis apapun
bagi modal kecil dan menengah. Dengan begitu, jatuhnya tingkat keuntungan
membatasi pembentukan baru dan -karenanya- juga perluasan penempatan modal.
Dan memang krisislah yang memunculkan konsekeuensi lain itu
dari proses yang sama. Sebagai akibat dari depresiasi modalnya yang periodik,
krisis membawa kejatuhan dalam harga alat produksi, kelumpuhan suatu bagian dari
modal aktif, dan pada waktunya juga macetnya peningkatan keuntungan. Dengan
demikian, krisis menciptakan kemungkinan-kemungkinan kemajuan produksi yang
diperbaharui. Karena itu, krisis muncul sebagai instrumen untuk menyalakan
kembali api perkembangan kapitalis. Berhentinya krisis -bukan berhenti yang
sementara, melainkan melenyapnya secara total di pasar dunia- tidak akan
menyebabkan perkembangan lebih lanjut ekonomi kapitalis. Ia akan menghancurkan
kapitalisme.
Selaras dengan pandangan mekanis dari teorinya tentang
adaptasi, Bernstein melupakan kebutuhan akan krisis, maupun kebutuhan akan
penempatan-penempatan baru modal-modal kecil dan menengah. Dan itulah mengapa
kemunculan kembali modal kecil secara konstan, bagi Bernstein nampak menjadi
tanda berhentinya perkembangan kapitalis, meskipun pada kenyataannya itu adalah
suatu gejala dari perkembangan kapitalis yang normal.
Penting untuk dicatat bahwa terdapat suatu sudut pandang dari
mana semua fenomena yang telah disebutkan di atas dipandang secara tepat
sebagaimana fenomena-fenomana itu telah disajikan oleh teori “adaptasi”. Ia
adalah sudut pandang tentang kapitalis yang terisolasi (tunggal) yang
mencerminkan dalam pikirannya fakta-fakta ekonomi di sekelilingnya, hanya karena
fakta-fakta itu muncul ketika dibiaskan oleh hukum-hukum persaingan. Kapitalis
yang terisolasi melihat masing-masing bagian organik dari keseluruhan ekonomi
kita sebagai suatu entitas independen. Dia melihat krisis itu hanya sebagaimana
yang berlaku pada dirinya, seorang kapitalis tunggal. Karena itu, dia menganggap
fakta-fakta ini merupakan “kekacauan” sederhana dari “sarana adaptasi”
sederhana. Bagi kapitalis yang terisolasi, benar bahwa krisis memang merupakan
kekacauan sederhana; berhentinya krisis memungkinkan kapitalis itu untuk
memiliki eksistensi yang lebih lama. Sejauh berkenaan dengan kapitalis semacam
ini, kredit hanyalah suatu sarana untuk “mengadaptasikan” kekuatan-kekuatan
produktifnya yang tak memadai terhadap kebutuhan-kebutuhan pasar. Dan nampak
bagi dia bahwa kartel yang mana dia menjadi seorang anggotanya, benar-benar
menghapuskan anarki industri.
Revisionisme tak lain adalah sebuah generalisasi teoritis
yang disusun dari sudut pandang kapitalis yang terisolasi. Secara teoritis,
sudut pandang ini masuk ke bagian yang mana, kalau bukan ke dalam ekonomi
borjuis?
Segala kesalahan aliran pemikiran ini persis terletak pada
konsepsi yang keliru memahami fenomena persaingan sebagai sesuatu yang dilihat
dari sudut pandang kapitalis tunggal, lalu diterapkan pada fenomena keseluruhan
ekonomi kapitalis. Tepat sebagaimana Bernstein menganggap kredit sebagai suatu
sarana “adaptasi” terhadap kebutuhan-kebutuhan pertukaran, maka ekonomi
vulgar pun berusaha menemukan penawar racun untuk melawan penyakit-penyakit
kapitalisme dalam fenomena-fenomena kapitalisme. Seperti Bernstein, ekonomi
vulgar juga yakin bahwa adalah mungkin untuk mengatur ekonomi kapitalis. Dan
seperti cara Bernstein pula, ekonomi vulgar pada waktunya sampai pada keinginan
untuk meredakan kontradiksi-kontradiksi kapitalisme, yakni pada keyakinan akan
kemungkinan untuk menambal luka-luka kapitalisme. Ekonomi vulgar berujung dengan
menjanjikan sebuah program reaksi. Ekonomi vulgar berujung pada suatu utopia.
Karena itu, teori revisionisme dapat didefinisikan dengan
cara berikut ini. Ia adalah sebuah teori tentang keadaan tak-bergerak dalam
gerakan sosialis, yang dibangun -dengan bantuan ekonomi vulgar- di atas landasan
sebuah teori tentang berhentinya perkembangan kapitalis.
6 – Perkembangan Ekonomi dan Sosialisme
Kemenangan terbesar gerakan proletarian yang sedang berkembang adalah
ditemukannya landasan yang mendukung bagi perwujudan sosialisme pada kondisi
ekonomi masyarakat kapitalis. Berkat penemuan ini, sosialisme berubah dari
impian “ideal” oleh umat manusia selama ribuan tahun, menjadi sesuatu yang
merupakan kebutuhan sejarah.
Bernstein menolak adanya syarat-syarat ekonomi bagi sosialisme pada
masyarakat masa sekarang. Dalam hal ini, penalarannya telah mengalami suatu
evolusi yang menarik. Pertama-tama, di Neue Zeit Bernstein membantah
pesatnya proses konsentrasi yang terjadi dalam industri. Dia mendasarkan
sikapnya atas sebuah perbandingan statistik tentang pekerjaan di Jerman tahun
1882 dan 1895. Untuk menggunakan angka-angka ini bagi tujuannya, Bernstein
terpaksa harus bergerak dalam suatu model yang sama sekali bersifat ringkasan
dan mekanis. Dalam hal yang paling mendukung sekalipun, Bernstein bahkan tidak
bisa -dengan menunjukkan kegigihan perusahaan-perusahaan berskala menengah-
sedikitpun melemahkan analisis marxian, karena analisis marxian tidak menganggap
suatu tingkat konsentrasi industri yang pasti (yakni penundaan tertentu terhadap
realisasi sosialisme) ataupun, sebagaimana telah kita tunjukkan, melenyapnya
modal-modal kecil secara mutlak yang biasanya digambarkan sebagai melenyapnya
borjuasi kecil, sebagai sebuah syarat untuk mewujudkan sosialisme.
Dalam kurun perkembangan terakhir ide-idenya, Bernstein melengkapi kita
-dalam bukunya- dengan sebuah kumpulan bukti-bukti baru: statistik mengenai
masyarakat-masyarakat pemegang saham. Statistik ini digunakan untuk membuktikan
bahwa jumlah para pemegang saham meningkat secara konstan, dan akibatnya kelas
kapitalis tidak bertambah kecil, melainkan tumbuh semakin besar. Mengagetkan
bahwa Bernstein hanya memiliki sedikit sekali pengetahuan tentang materinya. Dan
menakjubkan, betapa buruknya cara ia menggunakan data yang ada untuk
kepentingannya sendiri.
Jika dia ingin menyanggah hukum marxian tentang perkembangan industri dengan
mengacu pada masyarakat-masyarakat pemegang saham, maka seharusnya dia mengambil
angka-angka yang sama sekali berbeda. Siapapun yang faham tentang sejarah
masyarakat pemegang saham di Jerman mengetahui bahwa modal pondasi rata-rata
masyarakat tersebut telah menurun nyaris secara konstan. Jadi, walaupun sebelum
tahun 1871 kapital pondasi rata-rata mereka mencapai angka 10,8 juta mark, namun
pada 1871 jumlahnya hanya sebesar 4,01 juta mark; 3,8 juta mark pada 1873;
kurang dari satu juta sejak 1882 sampai 1887; 0,52 juta pada 1891; dan hanya
0,62 juta mark pada 1892. Setelah tahun ini, angka-angka berkisar di antara 1
juta mark, kemudian mencapai 1,78 juta pada 1895 dan 1,19 juta selama kurun
paruh pertama tahun 1897. (Van de Borght: Handwoerterbuch der
Staatsswissenschaften, 1.)
Itu adalah angka-angka yang mengagetkan. Dengan menggunakan angka-angka
tersebut, Bernstein berharap untuk menunjukkan adanya suatu kecenderungan
kontra-marxian bagi retransformasi bisnis-bisnis besar menjadi bisnis-bisnis
kecil. Jawaban jelas terhadap upayanya itu adalah sebagai berikut. Jika anda
hendak membuktikan apapun dengan sarana statistik anda, maka pertama-tama anda
harus menunjukkan bahwa statistik itu mengacu pada cabang-cabang industri yang
sama. Anda harus menunjukkan bahwa bisnis-bisnis kecil betul-betul menggantikan
yang besar; bukan sebaliknya, bahwa bisnis-bisnis besar itu hanya muncul jika
yang berlaku sebelumnya adalah bisnis-bisnis kecil atau bahkan industri
kerajinan. Maka, bagaimanapun juga, anda tidak bisa merujuknya sebagai fakta
yang benar. Proses perjalanan masyarakat-masyarakat pemegang saham yang luas
menjadi bisnis-bisnis berskala menengah dan kecil, bisa dijelaskan hanya dengan
mengacu pada fakta bahwa sistem masyarakat pemegang saham tersebut terus
menerobos cabang-cabang produksi baru. Sebelumnya, hanya sejumlah kecil bisnis
besar yang terorganisir sebagai masyarakat-masyarakat pemegang saham. Secara
perlahan, organisasi pemegang saham telah memenangkan bisnis berskala menengah,
dan bahkan bisnis berskala kecil. Sekarang ini, kita bisa mengamati adanya
masyarakat-masyarakat pemegang saham dengan modal di bawah 1.000 mark.
Lantas, apa signifikansi ekonomi dari perluasan sistem masyarakat pemegang
saham? Secara ekonomis, penyebaran masyarakat pemegang saham berarti sosialisasi
produksi yang kian meningkat dalam bentuk kapitalis – sosialisasi bukan hanya
produksi berskala besar, melainkan juga produksi berskala menengah dan kecil.
Karena itu, perluasan pemegang saham tidaklah bertentangan dengan teori marxis;
sebaliknya, justru menegaskan teori marxis secara empatik.
Apa sebenarnya makna dari fenomena ekonomi tentang masyarakat pemegang saham?
Fenomena ini merepresentasikan, di satu sisi, penyatuan sejumlah keuntungan
kecil menjadi suatu modal besar produksi. Di sisi lain, fenomena ini menunjukkan
pemisahan produksi dari kepemilikan kapitalis. Yakni, ia menunjukkan bahwa
sebuah kemenangan ganda dimenangkan terhadap corak produksi kapitalis – namun
masih berdasarkan basis kapitalis.
Lantas, apa makna statistik yang disebutkan oleh Bernstein, yang menyatakan
bahwa sejumlah pemegang saham, yang lebih besar daripada sebelumnya, kini
berpartisipasi dalam bisnis-bisnis kapitalis? Memang statistik ini terus
berusaha menunjukkan hal-hal sebagai berikut: di masa sekarang, sebuah bisnis
kapitalis tidak bisa diidentikkan -sebagaimana sebelumnya- dengan seorang
proprietor tunggal dari modal, melainkan dengan sejumlah kapitalis.
Konsekuensinya, gagasan ekonomi tentang “kapitalis” tidak lagi menandakan
seorang individu yang terisolasi. Kapitalis industri sekarang ini adalah sesosok
pribadi kolektif yang terdiri dari ratusan dan bahkan ribuan individu. Kategori
yang dimiliki kapitalis sendiri kini menjadi suatu kategori sosial. Ia telah
menjadi “tersosialisasi“ – dalam kerangka masyarakat kapitalis.
Dalam hal itu, bagaimana kita akan menjelaskan keyakinan Bernstein bahwa
fenomena masyarakat pemegang saham menunjukkan persebaran, dan bukannya
konsentrasi modal? Mengapa dia melihat adanya perluasan kepemilikan kapitalis,
padahal Marx justru melihat peniadaannya?
Itu adalah suatu kesalahan ekonomi yang sederhana. Dengan “kapitalis”,
Bernsten tidak memaknainya sebagai suatu kategori produksi, melainkan hak atas
kepemilikan. Baginya, “kapitalis” bukanlah sebuah satuan ekonomi, melainkan
satuan fiskal. Dan “modal” bagi Bernstein bukanlah suatu faktor produksi,
melainkan hanya kuantitas tertentu dari uang. Itulah mengapa dalam trust
benang jahit Inggris-nya, dia tidak melihat adanya penggabungan 12.300 orang
dengan uang menjadi sebuat unit kapitalis tunggal, melainkan 12.300 kapitalis
yang berbeda. Itulah mengapa insinyur Schulze, yang mas kawin istrinya
memberinya sejumlah besar bagian kepemilikan saham Mueller, adalah juga seorang
kapitalis bagi Bernstein. Itulah mengapa bagi Bernstein, seluruh dunia nampak
dipenuhi oleh para kapitalis.
Dalam hal ini juga, basis teoritis dari kesalahan ekonomi Bernstein adalah
“popularisasi”nya tentang sosialisme. Karena inilah yang dia lakukan. Dengan
mentransportasikan konsep kapitalisme dari relasi-relasi produktifnya menjadi
relasi-relasi kepemilikan, dan dengan hanya membicarakan individu-individu,
bukannya para pengusaha, maka dia memindahkan persoalan sosialisme dari ranah
produksi ke ranah relasi-relasi kekayaan – yakni dari hubungan antara modal dan
kerja, menjadi hubungan antara yang miskin dan yang kaya.
Dengan cara ini, dengan sukaria kita digiring dari Marx dan Engels, kepada
penulis Pengabar Injil Sang Nelayan Miskin. Bagaimanapun juga, tentu ada
perbedaannya. Weitling, dengan naluri proletarian yang penuh keyakinan, melihat
-pada pertentangan antara yang miskin dan yang kaya- adanya pertentangan kelas
dalam bentuknya yang paling primitif, dan ingin menjadikan
pertentangan-pertentangan ini sebagai pendongkrak gerakan untuk mewujudkan
sosialisme. Di sisi lain, Bernstein menempatkan realisasi sosialisme di dalam
kemungkinan untuk membuat yang miskin menjadi kaya. Yaitu, dia menempatkannya
pada peredaan pertentangan kelas, dan berarti menempatkannya pada borjuasi
kecil.
Benar bahwa Bernstein memang tidak membatasi diri hanya pada statistik
tentang pendapatan. Dia juga menyediakan statistik tentang bisnis ekonomi,
terutama di negeri-negeri berikut: Jerman, Perancis, Inggris, Swiss, Austria dan
Amerika Serikat. Akan tetapi, statistik-statistik ini bukanlah angka-angka
komparatif dari periode-periode berbeda di masing-masing negeri, melainkan dari
masing-masing periode di negeri-negeri yang berbeda. Karena itu, kita tidak
disodori -dengan kekecualian, yakni Jerman di mana dia mengulangi kekontrasan
lama antara 1895 dan 1882- sebuah perbandingan statistik dari bisnis-bisnis di
suatu negeri tertentu pada masa-masa yang berbeda, melainkan angka-angka absolut
untuk negeri-negeri yang berbeda: Inggris pada 1891, Perancis pada 1894, Amerika
Serikat pada 1890, dan sebagainya.
Bernstein mencapai kesimpulan berikut ini: “Meskipun benar bahwa
eksploitasi besar telah menjadi yang utama dalam industri sekarang ini, namun ia
hanya merepresentasikan- termasuk bisnis-bisnis yang bergantung pada eksploitasi
besar, bahkan di sebuah negeri yang telah maju seperti Prussia- separuh dari
penduduknya yang terlibat dalam produksi.” Ini juga berlaku untuk Jerman,
Inggris, Belgia, dan lain-lain.
Apa yang sebetulnya ia buktikan di sini? Dia tidaklah membuktikan eksistensi
kecenderungan -atau memang kecenderungan- perkembangan ekonomi seperti
itu, melainkan hanya hubungan absolut dari kekuatan-kekuatan bentuk bisnis yang
berbeda. Atau dengan kata lain, hubungan-hubungan absolut dari berbagai kelas di
masyarakat kita.
Lantas, jika seseorang ingin membuktikan -dengan cara ini- mustahilnya
realisasi sosialisme, maka penalaran orang itu haruslah bersandar pada teori
yang sesuai dengan hitungan kekuatan-kekuatan material dari elemen-elemen dalam
perjuangan, yakni oleh faktor kekerasan. Dengan kata lain, Bernstein yang selalu
bergemuruh menentang blanquisme justru terjerumus ke dalam kesalahan blanquis
yang paling kasar. Namun demikian, ada perbedaannya. Bagi kaum blanquis, yang
mewakili suatu kecenderungan sosialis dan revolusioner, kemungkinan bagi
realisasi ekonomi sosialisme nampak cukup alami. Berdasarkan kemungkinan ini,
mereka membangun peluang untuk sebuah revolusi dengan kekerasan – meskipun hanya
dilakukan oleh suatu minoritas kecil. Sebaliknya, karena tidak memadainya secara
jumlah suatu mayoritas sosialis, maka Bernstein pun menarik kesimpulan tentang
mustahilnya realisasi ekonomi sosialisme. Bagaimanapun juga, sosial-demokrasi tidak
berharap untuk mencapai tujuannya, baik sebagai hasil dari kemenangan kekerasan
suatu minoritas, ataupun melalui keunggulan jumlah suatu mayoritas.
Sosial-demokrasi memandang bahwa sosialisme muncul sebagai akibat dari kebutuhan
ekonomi -dan pemahaman akan kebutuhan itu- yang menuju pada penggulingan
kapitalisme oleh massa pekerja. Dan kebutuhan ini manifes sendiri, khususnya
dalam anarki kapitalisme.
Bagaimana sikap Bernstein mengenai persoalan yang menentukan, yakni tentang
anarki dalam ekonomi kapitalis? Dia hanya menolak krisis-krisis umum yang besar.
Dia tidak menyangkal krisis parsial dan krisis nasional. Dengan kata lain, dia
menolak untuk melihat sejumlah besar anarki kapitalisme; dia hanya melihat
sebagian kecilnya. Dia adalah -menggunakan ilustrasi Marx- seperti perawan dungu
yang memiliki seorang anak “yang masih sangat kecil.” Tetapi, malangnya
ialah bahwa dalam persoalan-persoalan seperti anarki ekonomi, sedikit dan banyak
adalah sama buruknya. Jika Bernstein mengakui eksistensi sebagian kecil dari
anarki ini, maka kita bisa menunjukkan kepadanya bahwa, dengan mekanisme ekonomi
pasar, yang sebagian kecil dari anarki ini akan diperluas sampai pada
proporsi-proporsi yang belum pernah terjadi sebelumnya, sampai berujung pada
keruntuhan. Akan tetapi, apabila Bernstein -sembari mempertahankan sistem
produksi komoditas- berharap untuk secara perlahan mentransformasikan konsepnya
tentang sebagian kecil dari anarki ini menjadi tatanan dan harmoni, maka kembali
ia terjerumus ke dalam salah satu dari kesalahan-kesalahan fundamental
ekonomi-politik borjuis, yang berdasarkan itu corak pertukaran tidak terikat
pada corak produksi.
Bukan pada tempatnya di sini untuk menunjukkan secara panjang-lebar tentang
kebingungan Bernstein yang mengagetkan mengenai prinsip-prinsip paling elementer
dari ekonomi-politik. Tetapi ada satu poin -hal mana kita diarahkan oleh
persoalan-persoalan fundamental mengenai anarki kapitalis- yang harus segera
diklarifikasi.
Bernstein menyatakan bahwa hukum Marx tentang nilai-lebih hanyalah suatu
abstraksi sederhana. Dalam ekonomi-politik, pernyataan semacam ini jelas adalah
suatu penghinaan. Namun, apabila nilai-lebih memang hanya merupakan suatu
abstraksi sederhana, apabila ia hanya khayalan pikiran saja, maka setiap
warganegara yang normal, yang telah melakukan tugas militer dan membayar pajak
tepat waktu, tentunya memiliki hak yang sama dengan Karl Marx untuk membuat
model absurditasnya sendiri, untuk membuat hukumnya sendiri tentang nilai-lebih.
“Marx memiliki hak yang sama untuk mengabaikan kualitas komoditas hingga tak
lebih sekedar penjelmaan dari kuantitas kerja manusia, sebagaimana hak yang
dimiliki ekonom-ekonom dari mazhab Boehm-Jevons untuk membuat suatu abstraksi
tentang semua kualitas komoditas di luar kegunaannya.”
Yaitu, bahwa bagi Bernstein, konsep Marx tentang kerja sosial dan konsep
Menger tentang kegunaan abstrak adalah cukup serupa – murni adalah
abstraksi-abstraksi. Bernstein lupa bahwa abstraksi Marx itu bukanlah sebuah
karangan. Ia adalah suatu pengungkapan (discovery). Abstraksi itu tidak
eksis di kepala Marx, melainkan dalam ekonomi pasar. Ia tidak memiliki
eksistensi imajiner, melainkan eksistensi sosial yang nyata; begitu nyata
sehingga bisa dipotong, ditempa, ditimbang dan diletakkan dalam bentuk uang.
Kerja manusia yang abstrak, yang diungkap oleh Marx, dalam bentuknya yang telah
maju tak lain adalah uang. Itulah memang yang merupakan salah satu dari
temuan-temuan besar Marx. Sedangkan bagi semua ekonom-politik borjuis, sejak
masa pertama kaum mercantilist sampai tahap terakhir Romawi dan Yunani
Kuno, esensi uang tetap merupakan sebuah teka-teki mistis.
Konsep mazhab Boehm-Jevons tentang kegunaan abstrak, pada kenyataannya adalah
suatu kesombongan pemikiran. Atau bila dinyatakan secara lebih tepat, konsep itu
merupakan representasi dari kehampaan intelektual, sebuah absurditas privat,
yang mana baik kapitalisme, ataupun masyarakat apapun, tak bisa dipersalahkan
atas lahirnya konsep tersebut, selain dari ekonomi borjuis yang vulgar itu
sendiri. Dengan mendekap erat gagasannya itu, Bernstein, Boehm dan Jevons serta
seluruh kelompoknya yang subyektif itu bisa terus-menerus kebingungan selama
duapuluh tahun atau lebih mengenai misteri uang, tanpa sampai pada suatu
kesimpulan yang berbeda dengan yang dicapai oleh tukang sepatu, yakni bahwa uang
juga adalah sesuatu “yang berguna”.
Bernstein telah kehilangan semua pemahaman tentang hukum nilai-lebih Marx.
Siapapun yang memiliki sedikit saja pemahaman tentang ekonomi marxian bisa
melihat bahwa tanpa adanya hukum nilai-lebih, doktrin Marx tak bisa dipahami.
Atau lebih konkretnya, bagi siapapun yang tidak memahami sifat komoditas dan
pertukarannya, keseluruhan ekonomi kapitalisme dengan semua rentetannya,
pastilah tetap merupakan sebuah teka-teki.
Apa yang merupakan kunci, yang memungkinkan Marx membuka pintu rahasia dari
fenomena kapitalis, dan memecahkan -seolah sambil bermain-
permasalahan-permasalahan yang bahkan tidak pernah dicurigai oleh
pemikiran-pemikiran terbesar dalam ekonomi borjuis klasik? Sesuatu itu adalah
konsepsi Marx tentang ekonomi kapitalis sebagai sebuah fenomena historis, bukan
hanya dalam makna hal-hal yang dengan paling baik diakui oleh para ekonom klasik
-yakni ketika ia berkenaan dengan masa lalu kapitalisme yang bersifat feodal-
melainkan juga sejauh ia berkenaan dengan masa depan sosialis dunia. Rahasia
teori Marx tentang nilai, analisisnya tentang permasalahan uang, teorinya
tentang modal, teorinya mengenai tingkat keuntungan, dan konsekuensinya juga
tentang keseluruhan sistem ekonomi yang kini ada, didapati pada karakter
peralihan dari ekonomi kapitalis, tak terhindarkannya keruntuhan ekonomi
kapitalis yang menuju -dan ini hanyalah suatu aspek lain dari fenomena yang
sama- kepada sosialisme. Itu semata-mata karena Marx melihat kapitalisme dari
sudut pandang sosialis, yakni dari sudut pandang historis, maka dia menjadi
mampu menguraikan seluk-beluk ekonomi kapitalis. Dan memang karena Marx
mengambil sudut pandang sosialis sebagai batu pijakan bagi analisisnya tentang
masyarakat borjuis, maka dia berada dalam posisi untuk memberikan basis ilmiah
bagi gerakan sosialis.
Inilah ukuran bagi kita untuk mengevaluasi ucapan-ucapan Bernstein. Dia
mengeluhkan “dualisme” yang ditemukan di sana-sini dalam karya monumental
Marx, Kapital. “Karya tersebut diharapkan menjadi suatu kajian ilmiah,
dan sekaligus membuktikan sebuah tesis yang telah secara lengkap dielaborasi
lama sebelum penyuntingan buku itu. Buku itu didasarkan atas suatu skema yang
telah mengandung hasil yang ingin diarahkan oleh Marx. Kembalinya ke Manifesto
Komunis (yakni tujuan sosialis! – R.L.) membuktikan adanya sisa-sisa
utopianisme dalam doktrin Marx.”
Akan tetapi, apa itu “dualisme” Marx, kalau bukan dualisme antara masa
depan sosialis dan masa kini kapitalis? Ia adalah dualisme antara kapitalisme
dan kerja, dualisme antara borjuasi dan proletariat. Ia adalah refleksi ilmiah
tentang dualisme yang ada dalam masyarakat borjuis, dualisme pertentangan kelas
yang menggeliat di dalam tatanan sosial kapitalisme.
Pemahaman Bernstein tentang dualisme teoritis dalam pemikiran Marx ini
sebagai “bertahan hidupnya utopianisme” sungguh-sungguh adalah pengakuan
yang naif bahwa dirinya menolak adanya pertentangan kelas dalam kapitalisme. Itu
adalah pengakuannya, bahwa sosialisme baginya hanya sekedar “bertahan hidupnya
utopianisme”. Apa yang merupakan “monisme” Bernstein -kesatuan
Bernstein- selain dari kesatuan abadi rejim kapitalis, kesatuan dari mantan
sosialis yang telah menanggalkan tujuannya, dan memutuskan untuk menemukan dalam
masyarakat borjuis, satu dan selamanya, tujuan dari perkembangan manusia?
Bernstein tidak melihat dalam struktur kapitalisme adanya perkembangan yang
menuju pada sosialisme. Namun, untuk melestarikan program sosialisnya,
setidaknya dalam bentuknya, dia terpaksa mencari perlindungan dalam suatu
konstruksi idealis yang ditempatkan di luar semua perkembangan ekonomi. Dia
terpaksa mentransformasikan sosialisme itu sendiri dari suatu fase sejarah yang
pasti dalam perkembangan sosial, menjadi suatu “prinsip” yang abstrak.
Itulah mengapa “prinsip koperasi” -sedikit tuangan sosialisme, yang
dengan itu Bernstein berharap bisa mewarnai ekonomi kapitalis- muncul sebagai
suatu konsesi yang dilakukan bukan demi masa depan masyarakat sosialis,
melainkan demi masa lalu sosialis Bernstein sendiri.
7 – Koperasi, Serikat, Demokrasi
Sosialisme Bernstein menawarkan kepada buruh prospek tentang pembagian
kekayaan masyarakat. Kaum miskin akan menjadi kaya. Bagaimana sosialisme seperti
ini akan diwujudkan? Artikelnya di Neue Zeit, dengan judul ”Permasalahan-permasalahan
Sosialisme”, hanya mengandung kiasan yang samar-samar terhadap pertanyaan ini.
Namun demikian, informasi yang memadai bisa ditemukan dalam bukunya.
Sosialisme Bernstein hendak diwujudkan dengan bantuan dua instrumen ini:
serikat buruh (atau, seperti dicirikan sendiri oleh Bernstein: demokrasi
ekonomi) dan koperasi. Instrumen pertama akan menekan keuntungan industri;
sedangkan instrumen kedua akan menghapuskan keuntungan komersial.
Koperasi, khususnya koperasi di bidang industri, menimbulkan suatu bentuk
perkawinan silang di seputar kapitalisme. Koperasi-koperasi itu bisa digambarkan
sebagai unit-unit kecil dari produksi yang tersosialisasi dalam pertukaran
kapitalis.
Akan tetapi, dalam ekonomi kapitalis, pertukaran mendominasi produksi (yakni,
produksi sangat tergantung pada kemungkinan-kemungkinan pasar). Akibat dari
persaingan, dominasi sepenuhnya terhadap proses produksi oleh
kepentingan-kepentingan modal -yakni eksploitasi yang tak berbelas kasihan-
menjadi suatu syarat bagi keberlangsungan hidup setiap bisnis. Dominasi modal
terhadap proses produksi mengekspresikan diri dengan cara-cara berikut. Kerja
diintensifkan. Hari kerja diperpanjang atau diperpendek, sesuai dengan situasi
pasar.
Dan, karena terikat pada persyaratan-persyaratan pasar, maka buruh bisa
dipekerjakan, atau dilempar ke jalanan. Dengan kata lain, penggunaan didasarkan
atas semua metode yang memungkinkan sebuah bisnis untuk berdiri melawan para
pesaingnya di pasar. Dengan demikian, para buruh yang membentuk sebuah koperasi
di bidang produksi dihadapkan pada kebutuhan untuk mengatur diri mereka sendiri,
yang bertentangan dengan absolutisme yang teramat sangat. Mereka diharuskan
mengadopsi untuk diri mereka sendiri peran pengusaha kapitalis. Sebuah
kontradiksi yang menjelaskan lazimnya kegagalan koperasi produksi, yang bisa
menjadi bisnis kapitalis murni, ataupun -jika kepentingan buruh terus menonjol-
akan berakhir dengan bubar sendiri.
Bernstein sendiri telah membuat catatan tentang fakta-fakta ini. Namun jelas,
bahwa dia sendiri belum memahaminya, karena -bersama dengan Nyonya Potter-Webb-
dia menjelaskan kegagalan koperasi produksi di Inggris yang disebabkan oleh
kurangnya “disiplin” mereka. Tetapi, apa yang begitu datar dan dangkal
disebut “disiplin” di sini tak lain adalah rejim absolutis alami dari
kapitalisme, yang gamblangnya, buruh tidak mungkin berhasil menggunakannya
melawan diri mereka sendiri.
Koperasi-koperasi produsen bisa bertahan hidup dalam ekonomi kapitalis hanya
jika mereka berusaha menghapuskan -dengan jalan memutar- kontradiksi-kontradiksi
kapitalis antara corak produksi dan corak pertukaran. Dan koperasi-koperasi
tersebut hanya bisa melakukan ini dengan melepaskan diri secara artifisial dari
pengaruh hukum-hukum persaingan bebas. Kemudian, mereka akan berhasil melepaskan
diri dari hukum persaingan bebas hanya jika terlebih dahulu menjamin bagi
dirinya sendiri suatu lingkaran konstan konsumen-konsumen, yakni ketika koperasi
tersebut bisa menjamin adanya pasar yang konstan bagi dirinya sendiri.
Maka koperasi konsumenlah yang bisa menawarkan layanan ini kepada saudaranya
di bidang produksi. Di sinilah -dan bukan pada pembedaan Oppenheimer antara
koperasi yang memproduksi dan koperasi yang menjual- terletak rahasia yang
dicari oleh Bernstein: penjelasan bagi kegagalan yang tak berubah dari koperasi
produsen yang berfungsi secara independen, dan keberlangsungan hidupnya ketika
koperasi-koperasi tersebut didukung oleh organisasi-organisasi konsumen.
Jika benar bahwa kemungkinan-kemungkinan eksistensi koperasi produsen dalam
kapitalisme berkait erat dengan kemungkinan-kemungkinan eksistensi koperasi
konsumen, maka lingkup koperasi produksi terbatas -paling banter- pada pasar
lokal yang kecil serta pada proses manufaktur barang-barang yang melayani
kebutuhan mendesak, khususnya produk-produk makanan. Koperasi konsumen -dan
dengan begitu, berarti juga koperasi produsen- dikeluarkan dari cabang-cabang
produksi modal yang paling penting (tekstil, pertambangan, industri logam dan
minyak, konstruksi mesin, serta pembuatan lokomotif dan kapal). Untuk alasan ini
sendiri (yakni dengan sementara melupakan karakter blasterannya), koperasi di
bidang produksi tidak bisa secara serius dianggap sebagai instrumen dari suatu
transformasi sosial umum. Pendirian koperasi-koperasi berskala luas
mengasumsikan, pertama-tama, peniadaan pasar dunia, dipecahkannya ekonomi
dunia sekarang ini menjadi lingkup-lingkup lokal yang kecil dari produksi dan
pertukaran. Kapitalisme di masa kita sekarang, yang telah sangat maju dan
tersebar luas, diharapkan untuk mundur kembali ke ekonomi perdagangan (merchant)
Abad Pertengahan.
Dalam kerangka masyarakat masa kini, koperasi produsen terbatas hanya pada
peran pelengkap bagi koperasi konsumen. Karena itu, koperasi konsumen nampaknya
harus menjadi permulaan dari perubahan sosial yang diusulkan. Namun cara
reformasi masyarakat yang diharapkan dengan sarana koperasi ini tak lagi ofensif
terhadap produksi kapitalis. Yakni, koperasi tak lagi merupakan serangan
terhadap basis-basis utama dari ekonomi kapitalis. Sebagai gantinya, koperasi
menjadi suatu bentuk perjuangan melawan modal komersial, khususnya modal
komersial yang berskala kecil dan menengah. Ia menjadi sebuah serangan yang
ditujukan kepada ranting dari pohon kapitalis.
Menurut Bernstein, serikat buruh pun merupakan sarana untuk menyerang
kapitalisme di bidang produksi. Kita telah menunjukkan bahwa serikat buruh tidak
bisa memberikan kepada buruh, pengaruh yang menentukan terhadap produksi.
Serikat buruh tidak bisa menentukan, baik dimensi-dimensi produksi, maupun
kemajuan teknis produksi.
Sejauh itulah yang bisa dikatakan mengenai sisi yang murni ekonomis dari “perjuangan
tingkat upah melawan tingkat keuntungan,” sebagaimana yang dilabelkan oleh
Bernstein terhadap aktivitas perjuangan serikat buruh. Aktivitas itu tidak
terjadi pada birunya langit. Ia terjadi dalam kerangka yang telah didefinisikan
secara cermat dari hukum upah. Hukum upah tidaklah hancur, melainkan diterapkan
oleh aktivitas serikat buruh.
Menurut Bernstein, serikat buruhlah yang memimpin -dalam perjuangan umum bagi
emansipasi kelas pekerja- serangan riil terhadap tingkat keuntungan industri.
Menurut Bernstein pula, serikat buruh memiliki tugas untuk mentransformasikan
tingkat keuntungan industri menjadi “tingkat upah”. Faktanya ialah bahwa
serikat buruh adalah yang paling lemah kemampuannya untuk melakukan serangan
ekonomi terhadap keuntungan. Serikat buruh tak lebih sekedar pertahanan yang
terorganisir dari tenaga kerja menghadapi serangan keuntungan. Serikat buruh
mengekspresikan perlawanan yang ditunjukkan oleh kelas pekerja terhadap
penindasan ekonomi kapitalis.
Di satu sisi, serikat buruh memiliki fungsi untuk mempengaruhi situasi di
pasar tenaga kerja. Tetapi pengaruh ini sekarang secara konstan diatasi oleh
proletarisasi lapisan-lapisan menengah masyarakat, sebuah proses yang secara
kontinyu membawa barang dagangan baru dalam pasar tenaga kerja. Fungsi kedua
dari serikat buruh adalah untuk memperbaiki kondisi buruh. Yakni, mereka
berupaya untuk meningkatkan bagian dari kekayaan sosial yang mengalir ke kelas
pekerja. Namun demikian, bagian ini sekarang terkurangi dengan adanya takdir
proses alami pertumbuhan produktivitas kerja. Seseorang tak perlu menjadi marxis
untuk mengetahui hal ini. Sudah memadai bagi kita bila membaca tulisan
Rodbertus, Penjelasan tentang Persoalan Sosial.
Dengan kata lain, kondisi-kondisi obyektif masyarakat kapitalis
mentransformasikan kedua fungsi ekonomi serikat buruh itu menjadi semacam kerja
sang Sisyphus yang, walaupun begitu, sangat dibutuhkan. Karena, berkat aktivitas
serikat buruhnya, buruh berhasil memperoleh tingkat upah yang berkesesuaian
dengan situasi pasar tenaga kerja. Sebagai akibat dari aktivitas serikat buruh,
hukum kapitalis tentang upah menjadi diterapkan, dan efek kecenderungan-menurun
dari perkembangan ekonomi pun dilumpuhkan, atau lebih tepatnya diredakan.
Bagaimanapun juga, transformasi serikat buruh menjadi sebuah instrumen untuk
pengurangan keuntungan secara progresif, yang sesuai dengan upah, mengasumsikan
syarat-syarat sosial sebagai berikut: pertama, berhentinya proletarisasi strata
menengah masyarakat kita; kedua, berhentinya pertumbuhan produktivitas kerja.
Dalam kedua hal itu, kita mendapati suatu bayangan proses kembali ke
kondisi-kondisi pra-kapitalis.
Koperasi dan serikat buruh sama sekali tidak mampu mentransformasikan corak
produksi kapitalis. Hal ini betul-betul dipahami oleh Bernstein, meskipun dengan
cara yang tumpang-tindih. Karena dia mengacu pada koperasi dan serikat buruh
sebagai sarana untuk mengurangi keuntungan para kapitalis, yang dengan begitu
berarti memperkaya buruh. Dalam hal ini, berarti Bernstein menanggalkan
perjuangan melawan corak produksi kapitalis, dan berupaya untuk mengarahkan
gerakan sosialis kepada perjuangan melawan “distribusi modal”. Kembali dan
kembali, Bernstein merujuk sosialisme sebagai sebuah upaya menuju pada suatu
corak distribusi “yang adil, lebih adil dan tetap lebih adil”. (Vorwaerts,
26 Maret 1899).
Tidak bisa disangkal bahwa penyebab langsung yang mengarahkan massa rakyat
kepada gerakan sosialis memang adalah sifat distribusi kapitalisme yang “tidak
adil”. Ketika sosial-demokrasi berjuang demi sosialisasi keseluruhan ekonomi,
maka ia berarti juga sekaligus mencita-citakan suatu distribusi kekayaan sosial
yang “adil”. Tetapi, karena dibimbing oleh observasi Marx bahwa corak
produksi pada suatu zaman tertentu adalah konsekuensi alami dari corak produksi
zaman itu, maka sosial-demokrasi tidak berjuang melawan distribusi dalam
kerangka produksi kapitalis. Sosial-demokrasi berjuang untuk menghapuskan
produksi kapitalis itu sendiri. Singkatnya, sosial-demokrasi ingin membangun
corak produksi sosialis dengan menghapuskan corak produksi kapitalis.
Sebaliknya, metode Bernstein mengajukan konsep untuk memerangi corak distribusi
kapitalis dengan harapan untuk secara perlahan -melalui cara ini- membangun
corak produksi sosialis.
Dalam hal tersebut, apa basis bagi program Bernstein tentang reformasi
masyarakat? Apakah programnya itu mendapatkan dukungan dalam
kecenderungan-kecenderungan yang pasti dari produksi kapitalis? Tidak. Pertama,
karena Bernstein menolak kecenderungan-kecenderungan semacam itu. Kedua, karena
transformasi sosialis dalam hal produksi, baginya adalah akibat, dan bukan sebab
dari distribusi. Dia tidak bisa menyediakan suatu basis material bagi
programnya, karena dirinya telah merobohkan tujuan-tujuan dan sarana gerakan
untuk sosialisme, dan dengan demikian berarti telah merobohkan pula
syarat-syarat ekonominya. Akibatnya, dia terpaksa membangun sendiri sebuah basis
idealis.
“Mengapa kita harus merepresentasikan sosialisme sebagai konsekuensi dari
keharusan ekonomi?” keluh Bernstein. “Mengapa kita merendahkan pemahaman
manusia, perasaan manusia akan keadilan, serta kehendak manusia?” (Vorwaerts,
26 Maret 1899). Konsep Bernstein tentang distribusi yang paling adil hendak
dicapai dengan kemauan baik dari kehendak bebas manusia; kehendak manusia
berlaku bukan disebabkan oleh kebutuhan ekonomi, -karena kehendak ini hanyalah
suatu instrumen- melainkan disebabkan oleh pemahaman menyeluruh manusia tentang
keadilan, disebabkan oleh ide manusia tentang keadilan.
Kalau begitu, berarti kita cukup berbahagia untuk kembali kepada prinsip
keadilan, kepada kuda perang di masa lalu, di mana para reformis di muka bumi
ini telah terguncang-guncang selama berabad-abad dikarenakan kurangnya alat
transportasi historis yang lebih meyakinkan. Kita kembali kepada Rosinante
yang kurang baik, yang mana Don Quixotes dalam sejarahnya telah berpacu menuju
kepada reformasi besar di muka bumi, selalu pulang ke rumah dengan mata
tertutup.
Dianggap sebagai basis bagi sosialisme, hubungan antara yang kaya dan yang
miskin, prinsip kerjasama sebagai kandungan sosialisme, “distribusi yang
paling adil” sebagai tujuannya, dan ide tentang keadilan sebagai satu-satunya
legitimasi historis – dengan begitu kuatnya, lebih bijak serta lebih berapi-api
Weitling membela sosialisme semacam itu limapuluh tahun yang lalu. Namun, si
jenius tukang jahit ini tidak mengerti tentang sosialisme ilmiah. Jika di masa
sekarang, konsepsi yang telah disobek-sobek hingga hancur berkeping-keping oleh
Marx dan Engels setengah abad yang lalu, ditambal-sulam dan disajikan kepada
proletariat sebagai dunia terakhir dari pengetahuan sosial, maka konsepsi itu
sekedar merupakan seni seorang tukang jahit, namun tak ada yang jenius dari
konsepsi tersebut.
Serikat buruh dan koperasi adalah penopang ekonomi bagi teori revisionisme.
Syarat politik utamanya adalah tumbuhnya demokrasi. Manifestasi-manifestasi
reaksi politik yang ada sekarang ini, bagi Bernstein hanyalah “pemindahan”.
Bernstein menganggap hal tersebut hanya bersifat kebetulan, sementara, dan
menyarankan agar manifestasi-manifestasi itu tidak dipertimbangkan dalam
elaborasi tentang arahan umum gerakan buruh.
Bagi Bernstein, demokrasi merupakan suatu tahap yang tak terelakkan dalam
perkembangan masyarakat. Baginya, sebagaimana juga menurut para teoritisi
Borjuis tentang liberalisme, demokrasi adalah hukum fundamental yang utama dari
perkembangan sejarah yang realisasinya diabdi oleh semua kekuatan dari kehidupan
politik. Bagaimanapun juga, tesis Bernstein itu sama sekali keliru. Disajikan
dalam kekuatan yang absolut ini, tesis tersebut nampak sebagai sebuah
vulgarisasi borjuis-kecil tentang hasil-hasil dari suatu fase perkembangan
borjuis yang amat singkat selama duapuluh lima atau tigapuluh tahun yang lalu.
Kita akan mencapai kesimpulan-kesimpulan yang sama sekali berbeda apabila kita
meneliti dengan sedikit lebih cermat dan sekaligus membahas sejarah politik umum
dari kapitalisme.
Demokrasi telah didapati dalam formasi-formasi sosial yang paling berbeda:
dalam kelompok-kelompok komunis primitif, dalam negara-negara budak di zaman
kuno serta dalam komune-komune Abad Pertengahan. Dan secara serupa, absolutisme
dan monarki konstitusional akan didapati dalam tatanan-tatanan ekonomi yang
paling bervariasi. Ketika kapitalisme dimulai dengan produksi
komoditas-komoditas yang pertamakali, ia mengambil jalan sebuah konstitusi
demokratik dalam komune-komune kotapraja di Abad Pertengahan. Kemudian, ketika
berkembang menjadi manufacturing, kapitalismepun menemukan bentuk
politiknya yang sesuai dalam monarki absolut. Akhirnya, sebagai ekonomi industri
yang maju, kapitalisme memunculkan republik demokratik di Perancis tahun 1793,
monarki absolut Napoleon I, monarki kaum bangsawan dalam periode Restorasi
(1815-1830), monarki konstitusional borjuis di masa Louis-Philippe, kemudian
kembali republik demokratik, lalu kembali monardi di masa Napoleon III, dan
akhirnya -untuk yang ketiga kalinya- kembali sebuah republik. Di Jerman,
satu-satunya institusi demokratik sejati -universal suffrage- bukanlah
suatu pencapaian yang dimenangkan oleh liberalisme borjuis. Universal
suffrage di Jerman ketika itu merupakan suatu instrumen untuk peleburan
negara-negara bagian yang kecil. Hanya dalam makna inilah demokrasi memiliki
arti penting bagi perkembangan borjuasi Jerman, yang kalaupun tidak, maka akan
cukup puas dengan monarki konstitusional yang semi-feodal. Di Rusia, kapitalisme
tumbuh subur dalam waktu lama di bawah rejim absolutisme timur tanpa borjuasi
mampu memanifestasikan keinginan yang paling kecil sekalipun di dunia untuk
mengintrodusir demokrasi. Di Austria, universal suffrage, terutama adalah
garis pengaman yang dilemparkan kepada monarki yang tengah tenggelam dan
membusuk. Di Belgia, pencapaian universal suffrage oleh gerakan buruh,
tak diragukan lagi adalah akibat lemahnya militerisme lokal, dan konsekuensi
dari situasi geografis dan politik khusus di negeri itu. Akan tetapi, kini kita
memiliki “sedikit demokrasi” yang telah dimenangkan bukan oleh borjuasi,
melainkan dari melawan borjuasi.
Kemenangan demokrasi yang tak terputus, yang bagi revisionisme maupun
liberalisme borjuis nampak sebagai suatu hukum fundamental utama dari sejarah
manusia, dan terutama sejarah moderen, melalui penelitian yang lebih cermat
terlihat hanya seperti sesosok hantu. Tidak ada hubungan absolut dan umum yang
bisa dibangun di antara perkembangan kapitalis dan demokrasi. Bentuk politik
dari suatu negeri tertentu selalu adalah hasil dari perpaduan semua faktor
politik yang ada, baik dalam maupun luar negeri. Ia mengakui dalam batasnya,
semua variasi mulai dari monarki absolut sampai republik demokratik.
Karena itu, kita haruslah mengabaikan semua harapan untuk menegakkan
demokrasi sebagai sebuah hukum umum perkembangan sejarah, bahkan dalam kerangka
masyarakat moderen sekalipun. Menilik pada fase masyarakat borjuis sekarang ini,
kita pun bisa mengamati faktor-faktor politik yang bukannya menegaskan realisasi
dari skema Bernstein, melainkan justru menuju pada pengabaian oleh masyarakat
borjuis terhadap pencapaian-pencapaian demokratik yang telah dimenangkan hingga
kini.
Institusi-institusi demokratik -dan ini yang memiliki signifikansi paling
besar- telah sama sekali habis fungsinya sebagai bantuan dalam perkembangan
masyarakat borjuis. Sejauh diperlukan untuk peleburan negara-negara bagian yang
kecil serta pembentukan negara-negara moderen besar (Jerman, Italia), maka
institusi-institusi tersebut tak lagi begitu dibutuhkan pada masa sekarang.
Sementara itu, perkembangan ekonomi telah mengakibatkan suatu cicatrization
organik internal.
Hal yang sama dapat dikatakan mengenai transformasi keseluruhan mesin negara
yang politis dan yang administratif dari mekanisme feodal atau semi-feodal
menjadi mekanisme-mekanisme kapitalis. Meskipun transformasi ini secara historis
tidak bisa dipisahkan dari perkembangan demokrasi, namun sekarang ini ia telah
direalisasikan sampai ke suatu lingkup bahwa “ramuan-ramuan” yang murni
demokratis dari masyarakat -seperti universal suffrage dan bentuk negara
republikan- bisa jadi akan terhapuskan tanpa membuat administrasi, keuangan
negara, ataupun organisasi militer, merasa perlu untuk kembali kepada
bentuk-bentuk yang pernah mereka miliki sebelum Revolusi Maret.
Jika liberalisme seperti demikian itu kini mutlak tak berguna bagi masyarakat
borjuis, maka di sisi lain, ia telah menjadi kesukaran langsung bagi kapitalisme
dari sudut pandang lain. Dua faktor kini sepenuhnya mendominasi kehidupan
politik negara-negara kontemporer: politik dunia dan gerakan buruh.
Masing-masing hanyalah aspek yang berbeda dari fase perkembangan kapitalis
sekarang ini.
Sebagai akibat dari perkembangan ekonomi dunia dan penajaman serta
generalisasi persaingan di pasar dunia, maka militerisme dan kebijakan
armada-armada laut yang besar telah menjadi -sebagai instrumen-instrumen politik
dunia- suatu faktor yang menentukan dalam kehidupan interior dan eksterior dari
negara-negara besar. Jika benar bahwa politik dunia dan militerisme
merepresentasikan suatu kecenderungan yang meningkat dalam fase kapitalisme
sekarang ini, maka demokrasi borjuis secara logis pasti bergerak dalam garis
yang menurun.
Di Jerman, era peralatan-perang besar yang dimulai tahun 1883, dan kebijakan
politik dunia yang ditandai dengan perebuitan Kiao-Cheou, segera ditebus dengan
korban-korban sebagai berikut: membusuknya liberalisme, melempem-nya
Partai Tengah yang beralih dari oposisi ke pemerintahan. Pemilu baru-baru ini
untuk Reichstag pada 1907 yang memamerkan kebijakan kolonial Jerman, sekaligus
juga adalah penguburan historis liberalisme Jerman.
Apabila politik luar negeri memaksa borjuasi masuk ke dalam rangkulan
tangan-tangan reaksi, maka demikian pula politik dalam negeri – syukurlah ada
kebangkitan kelas pekerja. Bernstein menunjukkan bahwa dirinya mengakui hal ini
ketika ia membuat “legenda” sosial-demokratik yang “ingin menelan segala
sesuatu” -dengan kata lain, upaya-upaya sosialis dari kelas pekerja- yang
menyebabkan desersi-nya borjuasi liberal. Dia menasehati proletariat
untuk mengingkari tujuan sosialisnya, sehingga kaum liberal yang ketakutan
setengah mati bisa muncul keluar dari lubang-tikus reaksi. Dengan menjadikan
peniadaan gerakan buruh sosialis sebagai suatu syarat yang esensial bagi
pelestarian demokrasi borjuis, Bernstein membuktikan secara mengejutkan bahwa
demokrasi ini sepenuhnya bertentangan dengan inner tendency dari
perkembangan masyarakat sekarang ini. Sekaligus dia membuktikan bahwa gerakan
sosialis itu sendiri adalah hasil langsung dari kecenderungan ini.
Namun demikian, Bernstein sekaligus pula membuktikan satu hal lainnya. Dengan
menjadikan celaan terhadap tujuan sosialis suatu syarat esensial bagi bangkitnya
kembali demokrasi borjuis, maka ia menunjukkan betapa tidak tepatnya klaim bahwa
demokrasi borjuis adalah sebuah syarat yang sangat dibutuhkan bagi gerakan
sosialis dan kemenangan sosialisme. Penalaran Bernstein kelelahan sendiri dalam
sebuah lingkaran jahat. Kesimpulannya menelan premis-nya sendiri.
Solusinya cukup sederhana. Dalam sudut pandang fakta itu, yakni bahwa
liberalisme borjuis telah melepaskan diri dari ketakutannya akan hantu
bangkitnya gerakan buruh serta tujuan akhirnya, maka kita simpulkan bahwa
gerakan buruh sosialis sekarang ini adalah satu-satunya dukungan bagi sesuatu
yang bukan merupakan tujuan gerakan sosialis – demokrasi. Kita haruslah
menyimpulkan bahwa demokrasi tidak bisa mendapatkan dukungan dari yang selain
itu. Kita haruslah menyimpulkan bahwa gerakan sosialis tidak terkait dengan
demokrasi borjuis, melainkan sebaliknya, justru takdir demokrasi berkait erat
dengan gerakan sosialis. Dari hal ini, kita harus menyimpulkan bahwa demokrasi
tidaklah mendapatkan peluang hidup yang lebih besar apabila kelas pekerja
menanggalkan perjuangan untuk emansipasinya, namun sebaliknya, demokrasi justru
mendapatkan peluang bertahan hidup yang lebih besar seiring gerakan sosialis
menjadi cukup kuat untuk berjuang melawan konsekuensi-konsekuensi reaksioner
dari politik dunia serta pengkhianatan borjuis terhadap demokrasi. Barangsiapa
yang hendak menguatkan demokrasi, maka seharusnya pula dia ingin menguatkan -dan
bukannya melemahkan- gerakan sosialis. Dan barangsiapa yang menanggalkan
perjuangan untuk sosialisme, berarti juga melepaskan baik gerakan buruh, maupun
demokrasi.
8 – Penaklukan Kekuasaan Politik
Kita telah mengetahui bahwa takdir demokrasi terkait erat dengan takdir
gerakan buruh. Namun, apakah perkembangan demokrasi mengasumsikan revolusi
proletarian (yakni, penaklukan kekuasaan politik oleh buruh) sebagai sesuatu
yang berlebihan atau mustahil?
Bernstein menjawab pertanyaan itu dengan mempertimbangkan secara cermat sisi
baik dan sisi buruk dari reformasi sosial dan revolusi sosial. Dia melakukan ini
nyaris dengan cara yang sama seperti menimbang kayu manis dan lada di sebuah
toko koperasi konsumen. Dia memandang kurun legislatif dari perkembangan sejarah
sebagai tindakan “intelijensia”, sedangkan kurun revolusioner perkembangan
sejarah dianggapnya sebagai tindakan “perasaan”. Aktivitas reformis, dia
akui sebagai suatu metode yang lambat untuk kemajuan historis, dan revolusi
sebagai metode kemajuan yang cepat. Pada legislasi, Bernstein melihat adanya
suatu kekuatan metode; pada revolusi, dia melihat adanya kekuatan yang spontan.
Kita telah lama mengetahui bahwa sang reformis borjuasi-kecil ini mendapati
sisi “baik” dan sisi “buruk” dalam segala hal. Dia menggerogoti semua
hal sedikit demi sedikit. Akan tetapi, perjalanan sesungguhnya dari berbagai
peristiwa sedikit sekali dipengaruhi oleh kombinasi seperti itu. Sedikit
tumpukan “sisi baik” dari segala hal yang mungkin, yang telah dikumpulkan
dengan hati-hati, segera runtuh pada rangsangan pertama sejarah. Secara
historis, reformasi legislatif dan metode revolusioner berfungsi sesuai dengan
pengaruh-pengaruh yang jauh lebih mendalam ketimbang sekedar pertimbangan
tentang keunggulan-keunggulan atau kelemahan-kelemahan dari satu metode atau
metode lainnya.
Dalam sejarah masyarakat borjuis, reformasi legislatif berfungsi untuk
menguatkan secara progresif kelas yang sedang bangkit sampai kelas itu cukup
kuat untuk merebut kekuasaan, menghapuskan sistem yuridis yang kini ada, dan
membangun sendiri sistem yuridis yang baru. Bernstein, yang bergemuruh menentang
penaklukan kekuasaan politik dan menganggapnya sebagai sebuah teori kekerasan
blanquis, sayang sekali ternyata mencap sebagai kesalahan ala blanquis, sesuatu
yang selama ini selalu menjadi poros dan tenaga penggerak sejarah manusia. Sejak
pertamakali munculnya masyarakat-masyarakat berkelas yang mengalami perjuangan
kelas sebagai kandungan esensial dari sejarahnya, penaklukan kekuasaan politik
telah menjadi tujuan dari semua kelas yang sedang bangkit. Inilah titik mula dan
akhir dari setiap periode sejarah. Hal ini bisa dilihat dalam perjuangan panjang
petani Latin melawan para pemodal (financier) dan kaum bangsawan Romawi
kuno; dalam perjuangan bangsawan Abad Pertengahan melawan para uskup; dan dalam
perjuangan para pengrajin melawan kaum bangsawan di kota-kota Abad Pertengahan.
Di masa moderen, kita melihatnya dalam perjuangan borjuasi melawan feodalisme.
Reformasi legislatif dan revolusi bukanlah metode-metode yang berbeda
mengenai perkembangan sejarah yang bisa dipilih sesuka hati dari pentas sejarah,
seperti orang memilih sosis panas atau dingin. Reformasi legislatif dan revolusi
adalah faktor-faktor yang berbeda dalam perkembangan masyarakat berkelas.
Keduanya saling mengkondisikan dan melengkapi satu sama lain, dan sekaligus
bersifat eksklusif laksana kutub Utara dan kutub Selatan, borjuasi dan
proletariat.
Setiap konstitusi legal adalah produk dari sebuah revolusi. Dalam sejarah
kelas-kelas, revolusi adalah tindakan kreasi politik, sedangkan legislasi adalah
ekspresi politik dari kehidupan suatu masyarakat yang telah mewujud. Kerja untuk
reformasi tidak mengandung kekuatan tersendiri yang terlepas dari revolusi.
Dalam kurun tiap periode sejarah, kerja untuk reformasi dilaksanakan hanya
berdasarkan arah yang diberikan kepadanya oleh dorongan revolusi terakhir, dan
terus berlanjut selama dorongan itu terus membuat dirinya dirasakan. Atau, lebih
konkretnya, dalam masing-masing periode sejarah, kerja untuk reformasi
dilaksanakan hanya berdasarkan kerangka bentuk sosial yang diciptakan oleh
revolusi terakhir. Di sinilah inti dari permasalahan tersebut.
Adalah berkebalikan dengan sejarah, kalau kita merepresentasikan kerja untuk
reformasi sebagai sebuah revolusi yang dilakukan dalam jangka panjang, dan
revolusi sebagai rangkaian reformasi yang dipadatkan. Transformasi sosial dan
reformasi legislatif tidaklah berbeda menurut lamanya, melainkan menurut
kandungannya. Rahasia dari perkembangan sejarah melalui penggunaan kekuasaan
politik memang terletak pada transformasi dari modifikasi kuantitatif yang
sederhana menjadi sebuah kualitas baru; atau lebih konkretnya, dalam perjalanan
suatu periode sejarah, dari satu bentuk masyarakat tertentu menjadi suatu bentuk
masyarakat lainnya.
Itulah mengapa orang-orang yang menyatakan diri mendukung metode reformasi
legislatif, yakni berada dalam posisi yang berbeda dan bertentangan dengan
penaklukan kekuasaan politik serta revolusi sosial, tidak betul-betul memilih
sebuah jalan yang lebih damai, lebih tenang dan lebih lambat untuk tujuan yang
sama, melainkan untuk sebuah tujuan yang berbeda. Bukannya mengambil sikap yang
berpihak pada pembangunan sebuah masyarakat baru, mereka malah mengambil sikap
yang mendukung modifikasi-modifikasi dangkal terhadap masyarakat lama. Jika kita
menganut konsepsi-konsepsi politik revisionisme, maka kita akan sampai pada
kesimpulan yang sama yang dicapai apabila kita menganut teori-teori ekonomi
revisionisme. Program kita pun menjadi bukan lagi mewujudkan sosialisme,
melainkan reformasi kapitalisme; bukan penghapusan sistem kerja upahan,
melainkan pengurangan eksploitasi, yakni penghapusan penyalahgunaan kapitalisme,
dan bukan penghapusan kapitalisme itu sendiri.
Apakah peran resiprokal dari reformasi legislatif dan revolusi hanya berlaku
bagi perjuangan kelas di masa lalu? Mungkinkah sekarang ini -sebagai akibat dari
perkembangan sistem yuridis borjuis- fungsi masyarakat yang bergerak dari satu
fase sejarah ke fase lainnya merupakan bagian dari reformasi legislatif, dan
penaklukan kekuasaan politik oleh proletariat betul-betul telah menjadi “sebuah
frasa kosong”, seperti yang dinyatakan Bernstein?
Justru kebalikannyalah yang benar. Apa yang membedakan masyarakat borjuis
dengan masyarakat-masyarakat berkelas lainnya – yakni masyarakat kuno dan
tatanan sosial Abad Pertengahan? Tepatnya adalah fakta bahwa dominasi kelas
tidak terletak pada “hak-hak yang diperoleh”, melainkan pada relasi-relasi
ekonomi yang sesungguhnya – fakta bahwa kerja upahan bukanlah suatu relasi
yuridis, melainkan murni relasi ekonomi. Dalam sistem yuridis kita, tidak ada
sebuah rumusan perundangan yang tunggal untuk dominasi kelas di masa sekarang.
Beberapa jejak yang masih tersisa dari rumusan tentang dominasi kelas seperti
itu, adalah (seperti yang berkenaan dengan para hamba) sisa-sisa masyarakat
feodal yang masih bertahan.
Bagaimana perbudakan-upah bisa dihapuskan dengan “cara legislatif”, kalau
perbudakan itu tidak diekspresikan dalam hukum? Bernstein, yang hendak
menghapuskan kapitalisme dengan cara reformasi legislatif, mendapati dirinya
berada dalam situasi yang sama seperti polisi Uspensky Rusia yang mengatakan: “Segera
saja kutangkap penjahat itu dengan mencengkeramnya! Tapi apa yang kudapati? Si
jahanam itu tak punya kerah untuk dicengkeram!“ Dan persis seperti itulah
kesulitan Bernstein.
“Semua masyarakat terdahulu senantiasa berbasiskan pertentangan antara
suatu kelas penindas dan suatu kelas tertindas” (Manifesto Komunis).
Akan tetapi, pada fase-fase terdahulu dari masyarakat moderen, pertentangan ini
diekspresikan dalam relasi-relasi yuridis tertentu yang khas, dan bisa -terutama
karena hal itu- berkesesuaian dengan suatu lingkup tertentu, sebuah tempat bagi
relasi-relasi baru dalam kerangka relasi-relasi yang lama. “Di
tengah-tengah perbudakan, budak menaikkan dirinya ke jajaran anggota komunitas
kota” (Manifesto Komunis). Bagaimana itu mungkin terjadi? Hal
tersebut menjadi mungkin dengan adanya penghapusan secara progresif semua privilese
feodal di daerah-daerah sekitar kota: kerja paksa, hak atas pakaian khusus,
pajak atas harta warisan, klaim tuan tanah atas ternak yang paling bagus,
pungutan pribadi, kawin paksa, hak atas suksesi kepemimpinan dan lain-lain, yang
kesemua itu menimbulkan perbudakan.
Dengan cara yang sama, borjuasi-kecil Abad Pertengahan berhasil menaikkan
dirinya -padahal ia masih berada di bawah kekuasaan absolutisme feodal- ke
jajaran borjuasi (Manifesto Komunis). Dengan cara apa? Yakni, melalui
penghapusan parsial secara formal -atau pemutusan sepenuhnya- ikatan-ikatan
korporatif; melalui transformasi administrasi fiskal dan tentara secara
progresif.
Konsekuensinya, apabila kita membahas persoalan ini dari sudut pandang
abstrak, bukan dari sudut pandang historis, kita bisa membayangkan (dalam
pandangan tentang relasi-relasi kelas terdahulu) berjalannya hukum, menurut
metode reformis, dari masyarakat feodal ke masyarakat borjuis. Namun, apa yang
kita lihat dalam realitanya? Pada kenyataannya, kita melihat bahwa reformasi
perundangan bukan saja tidak menghindari perebutan kekuasaan politik oleh
borjuasi, melainkan -sebaliknya- telah menyiapkan dan mengarahkan perebutan
kekuasaan itu. Sebuah transformasi sosial-politik formal sangat dibutuhkan bagi
penghapusan perbudakan, maupun penghapusan total feodalisme.
Akan tetapi, situasinya sekarang sama sekali berbeda. Sekarang ini hukum
mewajibkan proletariat untuk menyerahkan diri kepada kekuasaan kapitalisme.
Kemiskinan, tidak adanya alat produksi, kini memaksa proletariat untuk
menyerahkan diri kepada kekuasaan kapitalisme. Dan tidak ada hukum di dunia ini
yang bisa memberikan alat produksi kepada proletariat selama hukum itu masih
berada dalam kerangka masyarakat borjuis. Karena bukan hukum, melainkan
perkembangan ekonomilah yang telah mencabut alat produksi dari kepemilikan
produsen.
Dan tidak ada eksploitasi dalam sistem kerja upahan yang didasarkan atas
hukum. Tingkat upah tidak ditetapkan oleh legislasi, melainkan oleh
faktor-faktor ekonomi. Fenomena eksploitasi kapitalis tidak bertumpu pada
kecenderungan hukum, melainkan murni pada fakta ekonomi bahwa tenaga kerja,
dalam eksploitasi ini, memainkan peran sebuah barang dagangan yang memiliki -di
antara sifat-sifat lainnya- kualitas yang bisa disepakati dari nilai produksi,
lebih dari nilai yang ia konsumsi dalam bentuk sarana subsisten buruh.
Singkatnya, relasi-relasi fundamental dari dominasi kelas kapitalis tidak bisa
ditransformasikan dengan cara reformasi legislatif yang berbasiskan masyarakat
kapitalis, karena relasi-relasi ini belum diintrodusir oleh hukum-hukum borjuis,
dan relasi-relasi tersebut juga belum menerima bentuk hukum seperti itu. Jelas
Bernstein tidak menyadari hal ini, karena dia berbicara tentang “reformasi
sosialis”. Di sisi lain, nampaknya Bernstein hendak mengungkapkan pengakuan
implisit tentang hal ini ketika ia menuliskan di halaman 10 dari bukunya: “motif
ekonomi berlaku secara bebas sekarang ini, sedangkan sebelumnya, motif ekonomi
tersebut dibungkus dengan segala macam relasi dominasi, dengan segala macam
ideologi.”
Inilah salah satu dari keistimewaan-keistimewaan tatanan kapitalis, yang mana
di dalamnya semua elemen masyarakat masa depan, dalam perkembangannya,
pertama-tama mengasumsikan suatu bentuk yang bukan mendekati sosialisme,
melainkan sebaliknya, suatu bentuk yang bergerak makin dan makin menjauh dari
sosialisme. Produksi menjalankan suatu karakter sosial yang secara progresif
kian meningkat. Tetapi, dalam bentuk apa karakter sosial dari produksi kapitalis
itu diekspresikan? Ia diekspresikan dalam bentuk perusahaan besar, dalam bentuk
pembagian kepemilikan saham, kartel, hal mana antagonisme-antagonisme kapitalis,
penindasan tenaga kerja, dipertajam sampai ke titik ekstrem.
Dalam soal tentara, perkembangan kapitalis menyebabkan perluasan wajib
militer, sampai pada pengurangan masa pengabdian, sehingga tentunya sampai pada
suatu pendekatan material, yakni sebuah milisi rakyat. Akan tetapi, kesemua ini
terjadi dalam bentuk militerisme moderen, di mana dominasi terhadap rakyat oleh
negara militeris, dan karakter kelas dari negara, termanifestasi sendiri secara
paling jelas.
Di bidang hubungan politik, perkembangan demokrasi menimbulkan -dalam ukuran
bahwa ia menemukan tanah subur untuk tumbuh- partisipasi dari semua strata
popular dalam kehidupan politik dan, konsekuensinya, menimbulkan semacam “negara
rakyat”. Namun, partisipasi ini mengambil bentuk berupa parlementarisme
borjuis, di mana pertentangan kelas dan dominasi kelas tidak dihilangkan,
melainkan sebaliknya, justru ditampilkan secara terbuka. Justru karena
perkembangan kapitalis bergerak melalui kontradiksi-kontradiksi ini, maka perlu
bagi kita untuk mengekstrasi inti masyarakat sosialis dari rangka
kapitalisnya. Justru karena alasan inilah, maka proletariat harus merebut
kekuasaan politik dan menghapuskan sistem kapitalis secara tuntas.
Tentu saja, Bernstein menarik kesimpulan-kesimpulan yang lain. Jika
perkembangan demokrasi mengarah pada penajaman, dan bukan memperkecil
antagonisme kapitalis, maka, "Sosial-demokrasi", jawab
Bernstein kepada kita, "agar tidak membuat tugasnya menjadi lebih sulit,
haruslah berusaha dengan segala cara untuk menghentikan reformasi sosial dan
perluasan institusi-institusi demokratik," (hal. 71). Sesungguhnya, itu
akan menjadi hal yang benar untuk dilakukan jika sosial-demokrasi mendapati
-sesuai seleranya, ala borjuis-kecil-tugas untuk mengambil bagi dirinya sendiri,
semua sisi baik dari sejarah dan menolak sisi buruknya, meski itu sia-sia.
Bagaimanapun juga, dalam hal itu, sosial-demokrasi hendaknya sekaligus juga “berusaha
menghentikan” kapitalisme secara umum, karena tak ragu lagi bahwa kapitalisme
adalah penjahat yang meletakkan semua rintangan ini di tengah jalan menuju
sosialisme. Akan tetapi, kapitalisme, selain melengkapi rintangan-rintangan itu,
juga menyediakan satu-satunya kemungkinan untuk mewujudkan program sosialis. Hal
yang sama bisa pula dikatakan tentang demokrasi.
Kalau demokrasi telah menjadi berlebihan atau menjengkelkan bagi borjuasi,
maka -sebaliknya- ia diperlukan dan mutlak harus ada bagi kelas pekerja.
Demokrasi perlu bagi kelas pekerja, karena ia menciptakan bentuk-bentuk politik
(administrasi yang otonom, hak-hak elektoral, dan lain-lain) yang -bagi
proletariat- akan berfungsi sebagai tumpuan dalam tugasnya untuk
mentransformasikan masyarakat borjuis. Demokrasi sangat dibutuhkan kelas
pekerja, karena hanya melalui pelaksanaan hak-hak demokratiknya dalam perjuangan
untuk demokrasilah, proletariat bisa menjadi sadar akan kepentingan-kepentingan
kelas serta tugas sejarahnya.
Singkatnya, demokrasi sangat dibutuhkan bukan karena ia menyebabkan
penaklukan kekuasaan politik oleh proletariat menjadi sesuatu yang berlebihan,
melainkan karena demokrasi justru membuat penaklukan kekuasaan itu menjadi perlu
dan mungkin untuk dilakukan. Ketika Engels, dalam kata pengantar pada tulisannya
Perjuangan Kelas di Perancis, merevisi gerakan buruh moderen dan mendesak
dilakukannya perjuangan hukum untuk menghadapi rintangan-rintangan, dia tidak
sedang berpikir tentang -ini muncul di setiap baris dalam kata pengantar itu-
persoalan penaklukan kekuasaan politik tertentu, melainkan perjuangan
sehari-hari yang kontemporer. Engels tidak berpikir tentang sikap yang harus
diambil oleh proletariat terhadap negara kapitalis di saat perebutan kekuasaan,
melainkan sikap proletariat ketika berada dalam belenggu negara kapitalis.
Engels ketika itu memberikan arahan kepada proletariat yang tengah tertindas,
bukan kepada proletariat yang sedang mengalami kemenangan.
Di sisi lain, kalimat Marx yang terkenal tentang persoalan agraria di Inggris
(Bernstein sangat bertumpu pada pernyataan ini) yang menyatakan: “Barangkali
kita akan berhasil dengan mudah, dengan cara membeli tanah milik tuan-tuan
tanah,” tidaklah mengacu pada sikap proletariat sebelum, melainkan setelah
kemenangannya. Karena, jelas persoalan tentang membeli properti dari kelas lama
yang dominan baru mungkin untuk dipertimbangkan apabila buruh berada di tampuk
kekuasaan. Kemungkinan yang dipertimbangkan oleh Marx adalah dalam hal
pelaksanaan kediktatoran proletariat secara damai, dan bukan mengganti
kediktatoran itu dengan reformasi sosial. Tak ada keraguan pada Marx dan Engels
tentang perlunya proletariat menaklukkan kekuasaan politik. Maka, biarlah
Bernstein menganggap kandang parlementarisme borjuis sebagai organ, yang dengan
itu kita hendak mewujudkan transformasi sosial sejarah yang paling menakjubkan,
yakni perjalanan dari masyarakat kapitalis menuju sosialisme.
Bernstein mengintrodusir teorinya dengan memperingatkan proletariat tentang
bahayanya pencapaian kekuasaan yang terlalu dini. Yakni, menurut Bernstein,
proletariat harus membiarkan masyarakat borjuis dalam kondisinya yang sekarang,
dan borjuasi dengan sendirinya akan menderita kekalahan yang menakutkan.
Andaikan nanti proletariat mencapai kekuasaan, maka berdasarkan teori Bernstein
itu, proletariat bisa menarik kesimpulan “praktis”, yakni: tidur saja. Teori
Bernstein itu melemahkan proletariat pada saat-saat perjuangan yang paling
menentukan, hingga menjadi tidak aktif, menjadi pengkhianatan pasif dari
sebabnya sendiri.
Program kita hanya akan menjadi secarik kertas tak berharga, jika tak mampu
membekali kita dengan segala kemungkinan pada setiap saat perjuangan, dan jika
tidak membekali kita dengan aplikasinya, bukan dengan non-aplikasinya. Kalau
program kita mengandung rumusan perkembangan sejarah masyarakat dari kapitalisme
menuju sosialisme, maka ia harus juga merumuskan -dalam semua hal fundamentalnya
yang khas- semua fase peralihan dari perkembangan ini. Dan konsekuensinya,
program tersebut hendaknya juga bisa menunjukkan kepada proletariat, apa yang
seharusnya merupakan tindakan yang cocok pada setiap momentum dalam perjalanan
menuju sosialisme. Tak akan ada lagi waktu bagi proletariat ketika ia terpaksa
memilih: mengabaikan programnya, atau diabaikan oleh program itu.
Secara praktis, hal ini termanifestasi dalam kenyataan bahwa tidak mungkin
terjadi keadaan di mana proletariat -yang ditempatkan pada tampuk kekuasaan
berkat adanya kekuatan dari beberapa peristiwa- tidak berada dalam kondisi, atau
secara moral tidak merasa wajib untuk mengambil langkah-langkah tertentu, yakni
langkah-langkah peralihan dalam arah menuju sosialisme. Dibalik keyakinan bahwa
program sosialis bisa gagal sepenuhnya pada satu titik dari kediktatoran
proletariat, tersembunyi keyakinan lain bahwa program sosialis secara umum, dan
pada saat kapanpun, tidak bisa diwujudkan.
Dan bagaimana jika langkah-langkah peralihan itu prematur? Pertanyaan ini
menyembunyikan sejumlah besar ide keliru tentang perjalanan sesungguhnya dari
transformasi sosial.
Pertama, perebutan kekuasaan politik oleh proletariat, yakni oleh sebuah
kelas popular yang besar, tidaklah dihasilkan secara artifisial. Ia
mengasumsikan (dengan kekecualian, misalnya dalam kasus Komune Paris, yakni
ketika proletariat tidak mencapai kekuasaan setelah melakukan suatu perjuangan
sadar untuk mencapai tujuannya, namun jatuh ke tangannya sendiri seperti sesuatu
yang baik, yang diabaikan oleh orang lain) adanya suatu tingkat tertentu
kematangan relasi-relasi ekonomi dan politik. Di sini kita memiliki perbedaan
yang esensial antara kudeta menurut konsepsi Blanqui -yang dijalankan oleh suatu
“minoritas aktif” dan meledak seperti letusan pistol yang selalu tak tepat
pada waktunya- dengan penaklukan kekuasaan politik oleh massa rakyat yang besar
dan sadar, yang hanya bisa terjadi sebagai akibat dari membusuknya masyarakat
borjuis, dan karenanya melahirkan sendiri legitimasi ekonomi dan politik bagi
kemunculannya yang tepat waktu.
Karena itu, kendati kalau dilihat dari sudut efek politik, penaklukan
kekuasaan politik oleh kelas pekerja tidak mungkin “terlalu dini” mewujud
sendiri, namun dari sudut pelestarian kekuasaan (lama / status quo – penerj.),
adalah revolusi yang prematur, yakni pemikiran yang membuat Bernstein selalu
terjaga, mengancam kita laksana pedang Damocles. Dalam menghadapi ancaman ini,
baik doa maupun permohonan, ketakutan ataupun kesengsaraan, tidaklah banyak
membantu. Dan berikut ini ada dua alasan yang sangat sederhana.
Pertama, adalah mustahil untuk membayangkan bahwa suatu transformasi sehebat
apapun seiring perjalanan dari masyarakat kapitalis menuju masyarakat sosialis,
bisa diwujudkan dalam satu Undang-Undang yang membahagiakan. Menganggap itu
sebagai hal yang mungkin, kembali ini berarti meniru corak dari
konsepsi-konsepsi yang jelas bersifat blanquis. Transformasi sosialis
mengasumsikan sebuah perjuangan yang panjang dan keras, yang dalam kurun itu
cukup mungkin bahwa proletariat akan terpukul mundur lebih dari satu kali,
sehingga untuk pertamakalinya -dari sudut pandang hasil akhir perjuangan-
proletariat bisa disebut mencapai tampuk kekuasaan “terlalu dini”.
Kedua, akan mustahil untuk menghindari penaklukan kekuasaan negara “yang
prematur” oleh proletariat, karena memang serangan-serangan “prematur”
dari proletariat ini menimbulkan suatu faktor -dan sesungguhnya adalah faktor
yang sangat penting- yang menciptakan syarat-syarat politik bagi kemenangan
akhir. Dalam kurun krisis politik yang menyertai perebutan kekuasaan, dalam
kurun perjuangan yang panjang dan keras, proletariat akan memperoleh tingkat
kematangan politik yang memungkinkannya untuk pada waktunya mendapatkan sebuah
kemenangan revolusi yang pasti. Jadi, serangan-serangan proletariat yang “prematur”
terhadap kekuasaan negara ini, dalam dirinya sendiri merupakan faktor historis
penting yang membantu memprovokasi dan menentukan titik kemenangan yang pasti.
Dilihat dari sudut pandang ini, ide tentang suatu penaklukan kekuasaan politik
yang “prematur” oleh kelas pekerja, nampak menjadi sebuah absurditas polemis
yang berasal dari konsepsi mekanis tentang perkembangan masyarakat, dan
memposisikan kemenangan perjuangan kelas sebagai sebuah poin yang ditetapkan di
luar -dan lepas dari- perjuangan kelas.
Karena proletariat tidak berada dalam posisi untuk merebut kekuasaan dengan
cara selain “cara yang prematur”; karena proletariat mutlak harus merebut
kekuasaan satu kali atau beberapa kali “lebih dini” sebelum ia bisa
mempertahankan diri dalam kekuasaan selamanya, maka keberatan terhadap
penaklukan kekuasaan yang “prematur”, pada dasarnya tak lain adalah sebuah
oposisi umum terhadap aspirasi proletariat untuk memiliki kekuasaan negara.
Karena banyak jalan menuju Roma, maka begitu pula kita secara logis sampai pada
kesimpulan bahwa usulan revisionis untuk mengabaikan tujuan akhir gerakan
sosialis, sesungguhnya adalah suatu rekomendasi untuk meninggalkan gerakan
sosialis itu sendiri.
Glosarium nama dan istilah
Auer, Ignaz (1846-1907): Seorang sosial-demokrat Bavaria;
sekretaris sosial-demokrasi Jerman sejak tahun 1875; reformis.
Bebel, August (1840-1913): Salah satu pendiri dan
pemimpin Partai Sosial-Demokratik Jerman dan Internasionale Kedua; bersama
Wilhelm Liebknecht ia dihukum penjara selama dua tahun dengan tuduhan
pengkhianatan pada 1872; penulis buku Perempuan dan Sosialisme; tokoh
dari kecenderungan-kecenderungan revisionis.
ernstein, Eduard (1850-1932): Seorang sosial-demokrat
Jerman; sahabat dan pelanjut tradisi tulisan Engels; mengembangkan teori
revisionis sosialisme evolusioner; menjadi pemimpin sayap oportunis ekstrem
sosial-demokrasi.
Blanqui, Louis Auguste (1805-1932): Seorang sosialis
revolusioner Perancis, yang namanya diasosiasikan dengan teori insureksi
(pemberontakan) bersenjata oleh sekelompok kecil orang-orang yang terpilih dan
terlatih, bertentangan dengan konsep marxis tentang insureksi massa;
berpartisipasi dalam Revolusi Perancis tahun 1830; mengorganisir sebuah
insureksi yang gagal pada 1839; dibebaskan berkat adanya Revolusi tahun 1848;
dipenjarakan kembali selama masa kekalahan Revolusi 1848; dipenjarakan menjelang
terbentuknya Komune Paris. Terganggu kesehatannya akibat kehidupan penjara
selama tigapuluh lima tahun, dia kemudian diampuni pada 1879, dan pada tahun itu
juga ia dipilih sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat oleh para buruh di
Bordeaux, namun dinyatakan tak memenuhi syarat oleh pemerintah.
Brentano, Lujo (1844-1931): Ekonom Jerman, salah satu
dari “para profesor sosialis” yang membela “perdamaian kelas”;
berpendapat bahwa kontradiksi-kontradiksi kapitalisme bisa diatasi tanpa
perjuangan kelas, yakni melalui serikat-serikat buruh yang reformis, yang akan
memungkinkan kapitalis dan buruh untuk merekonsiliasikan perbedaan-perbedaan
mereka.
Fourier, Francois Marie Charles (1772-1837): Seorang
sosialis utopis Perancis dan kritikus kapitalisme.
Goethe, Johann Wolfgang von (1749-1832): Penyair dan
dramawan; sastrawan terbesar Jerman; menulis Faust.
Heine, Wolfgang (1861 – ?): Seorang sosial-demokrat
Jerman; salah satu pendukung Bernstein yang paling giat dalam perjuangan
revisionis; patriot sosial selama masa perang.
Kant, Immanuel (1724-1804): Filsuf idealis Jerman.
Kartel: Kesepakatan sukarela di antara
perusahaan-perusahaan manufaktur yang memproduksi jenis produk yang sama untuk
membatasi persaingan sesama mereka dengan membagi pasar, menetapkan harga, dan
lain-lain.
Kautsky, Karl (1854-1938): Seorang sosial-demokrat
Jerman; teoritisi terkemuka dari Internasionale Kedua; selama masa perang adalah
seorang penganut paham perdamaian; penentang yang gigih terhadap bolsyewisme dan
pemerintahan Soviet.
Lange, Friedrich Albert (1828-1875): Filsuf neo-kantian
Jerman dan reformis sosial.
Lassalle, Ferdinand (1825-1864): Seorang sosialis Jerman;
pendiri Serikat Umum Pekerja Jerman pada 1863, yang kemudian berfusi dengan para
pengikut Marx untuk membentuk Partai Sosial-Demokratik.
Liebknecht, Wilhelm (1826-1900): Berpartisipasi dalam
Revolusi Jerman tahun 1848; pergi ke pengasingan di Inggris, di mana ia menjadi
murid dari Marx dan Engels; kembali ke Jerman setelah amnesti tahun 1860 dan
membangun partai marxis yang bersatu dengan partai lassallean untuk membentuk
SPD; dipenjarakan dengan tuduhan pengkhianatan berat pada 1872; memperjuangkan
ortodoksi marxis untuk menentang upaya-upaya revisionis di dalam SPD.
Menger, Carl (1840-1921): Seorang ekonom-politik
Australia.
Neupauer, Dr. Joseph Ritter von: Seorang ekonom borjuis
Jerman yang pandangan-pandangannya direkomendasikan oleh Bernstein.
Pereira, Isaac (1806-1880): Seorang ekonom Perancis;
apolog borjuis.
Potter-Webb, Beatrice (1858-1943): Seorang sosialis
fabian; istri dari Sydney Webb; bersama suaminya menulis banyak buku.
Proudhon, Pierre Joseph (1809-1865): Seorang sosialis
utopis Perancis yang meramalkan munculnya suatu masyarakat yang berdasarkan
pertukaran fair di antara para produsen independen, dan menganggap negara
kurang penting dibandingkan bengkel-bengkel kerja yang ia yakin akan
menggantikan negara; penulis buku Filsafat Kemiskinan, yang kemudian
dijawab oleh Marx dengan karyanya Kemiskinan Filsafat.
Rodbertus, Karl Johann (1805-1875): Seorang ekonom Jerman
yang memegang pandangan-pandangan sosialis, tetapi bukan yang revolusioner;
Engels membahas pandangan-pandangan Rodbertus tersebut dalam pengantar pada
karya Marx Kemiskinan Filsafat.
Say, Jean-Baptiste (1767-1832): Seorang ekonom borjuis;
tokoh yang mempopulerkan Adam Smith; hukum Say adalah tesis bahwa setiap
tindakan produksi pasti menciptakan kemampuan beli yang diperlukan untuk membeli
produk itu.
Schippel, Max (1859-1928): Seorang revisionis sayap kanan
dalam sosial-demokrasi Jerman; membela kebijakan-kebijakan Jerman yang
imperialis, ekspansionis dan agresif.
Schmidt, Konrad (1863-1932): Seorang ekonom dan
sosial-demokrat Jerman yang melakukan yang berhubungan surat-menyurat dengan
Engels; kemudian menjadi revisionis.
Sisyphus: Raja Corinth (dalam mitologi) yang -di negeri
antah-berantah- dijatuhi hukuman untuk menggelindingkan sebuah batu besar ke
puncak bukit, dan batu itupun terus menggelinding mundur setiap kali ia berusaha
menggerakkannya, hingga tugasnya pun tak pernah berakhir.
Tengah: Partai Katolik Roma Jerman yang duduk di
tengah-tengah dalam Dewan Reichstag; bermanuver di antara pemerintah dan sayap
kiri.
Undang-Undang anti-sosialis: Disebut juga Undang-Undang
perkecualian sosialis; Undang-Undang yang diprakarsai oleh Bismarck; berlaku di
Jerman sejak 1878 sampai 1890; melarang organisasi-organisasi dan
publikasi-publikasi untuk terlibat dalam propaganda sosialis. Kaum
sosial-demokrat hanya diijinkan untuk beraktivitas parlementer.
Uspensky, Gleb Ivanovich (1840-1902): Seorang novelis
Rusia yang banyak menulis tentang kehidupan petani.
Vollmar, Georg Heinrich von (1850-1922): Pemimpin
sosial-demokrasi Bavaria; pada tahun 1891, beberapa tahun sebelum Bernstein, ia
mendesakkan pandangan-pandangan reformis, yang dengan begitu ia menjadi pelopor
reformisme Jerman.
Webb, Sydney (1859-1947): Teoritisi utama Inggris tentang
sosialisme gradualis; seorang pendiri Masyarakat Fabian; bersama istrinya
(Beatrice) ia menulis banyak buku tentang koperasi dan trade-unionisme;
menjadi menteri dalam pemerintahan Partai Buruh; diangkat menjadi Lord
Passfield; dia dan istrinya menjadi apolog atas stalinisme dalam tahun 1930-an.
Weitling, Wilhelm (1808-1871): Penulis proletarian Jerman
yang pertama; seorang kolaborator Blanqui; seorang sosialis utopis egalitarian.
Wolff, Julius (1862-?): Seorang ekonom borjuis.
Saya adalah Peziarah Kehidupan yang berkelana di Ilalang Kebebasan, demi mencari kehidupan yang menghidupkan untuk mengusik Duka Nestapa di Negeri Hitamku.
.
bagikan kontent ini!
Diposting Oleh : Unknown -
Kolom
Catatan Kiri
Artikel dan Gambar Terkait
Komentar Anda :