 |
Sebuah Ilustrasi |
Swedia merupakan negara “surga” di Eropa. Sebutan surga ini
sepertinya berlebihan, tetapi negara yang terhimpit antara Finlandia dan
Norwegia ini faktanya mempunyai kehidupan yang aman, tentram, teleran,
makmur, dan pemerintahan yang bebas korupsi. Selain itu, kehebatan
negara tersebut antara lain dapat dilihat dari kebijakan pemberian
tunjangan pendididikan bagi setiap anak setiap bulan, perlindungan
maksimal bagi anak dari berbagai bentuk kekerasan, pendidikan gratis
bagi mahasiswa asing, mengimpor sampah dari Norwegia untuk diolah
menjadi sumber energi listrik, menggratiskan biaya hak paten bagi
sealbelt yang awalnya digunakan oleh mobil Volvo (produk Swedia) untuk
kemudian digunakan oleh merek mobil lainnya, dan pernah menyelamatkan
warga Yahudi Denmark dari ancaman pembantaian yang dilakukan oleh rezim
NAZI Jerman (Adolf Hitler). Kehidupan surgawi telah tercipta di negara
ini, tetapi anehnya, moyoritas penduduknya adalah atheis atau tidak
mempercayai eksistensi Tuhan.
Apakah negara atau orang yang
atheis atau tidak mempercayai eksistensi Tuhan dapat berbuat baik dan
benar dan menciptakan kehidupan “surgawi” di dunia? Bagaimana dengan
kondisi negara-negara yang mengakui dirinya sebagai “negara beragama”?
Atau contohnya, bagaimana dengan negara Indonesia yang gemar mengakui
dirinya sebagai negara yang berlandaskan pada Ketuhanan Yang Maha Esa?
Apakah kehidupan “surgawi” telah tercipta di negara Indonesia?
Di
negara Indonesia, eksistensi Tuhan sungguh mendapatkan perhatian dan
pengakuan yang sangat serius. Hal itu dapat dilihat dari beberapa
indikator, antara lain, pengakuan Ketuhanan Yang Maha Esa dalam
Pancasila sebagai ideologi negara, pembentukan dan keberadaan
Kementerian Agama, pengakuan negara terhadap keberadaan 6 (enam) agama
resmi, pendidikan agama di berbagai jenjeng pendidikan, maraknya ritual
dan perayaan keagamaan dimana-mana, pendirian rumah ibadah dan situs
keagamaan dimana-mana, kegemaran menggunakan gelar keagamaan dalam
penyebutan dan penulisan nama, maraknya penyiaran ajaran keagamaan
dengan berbagai cara, dan lainnya. Bahkan lebih dari itu, sejumlah
kalangan menghendaki agar negara Indonesia berlandaskan pada ajaran
agama Islam atau menjadi “Negara Agama” (Islam) karena mayoritas
penduduknya beragama Islam. Dilihat dari indikato-indikator ini,
sepertinya pemerintah dan warga negara Indonesia telah menciptakan
“kehidupan surgawi” di negara ini. Tetapi apakah memang demikian?
Di negara yang mempercayai eksistensi Tuhan dengan berbagai cara ini,
nampaknya kehidupan surgawi sulit terwujud. Bahkan ajaran agama dan
kepercayaan terhadap eksistensi Tuhan hanya dijadikan sebagai “simbol”
kesombongan, “rutinitas” atau/atau “seremonial” belaka, dan “kedok”
kejahatan, sebab yang berhasil diwujudkan adalah “kehidupan nerakawi”.
Lihat saja contohnya. Maraknya pelanggaran hak asasi manusia dengan
berbagai cara, tingginya tindakan korupsi secara sistematis di berbagai
tingkatan pemerintahan, apatis terhadap penderitaan kaum miskin,
pelarangan pendirian rumah ibadah agama minoritas oleh pemerintah dan
umat beragama mayoritas, penyebaran ajaran agama tertentu dengan cara
kekerasan, maraknya berbagai praktek maksiat, pelanggaran terhadap hukum
dan aturan perundang-undangan secara sengaja dan sistematis, maraknya
tindakan asusila yang dilakukan oleh pejabat negara dan pejabat agama,
meraknya kerusukan sosial dimana-mana, dan lainnya.
Contoh-contoh ini menjadi indikator adanya kesenjangan yang serius dan
mengkhawatirkan antara klaim Indonesia sebagai “negara beragama” dan
kondisi nyata kehidupan bernegara, beragama, dan bermasyarakat di
Indonesia. Rupanya negara yang mempercayai eksistensi Tuhan dan mengakui
dirinya sebagai “negara beragama” ini tidak mampu menciptakan kehidupan
surgawi di negaranya. Justru yang berhasil diciptakan dan dinikmati
adalah “kehidupan nerakawi”. Jika demikian faktanya, apa gunanya
mempercayai eksistensi Tuhan? Apa gunanya mengklaim sebagai negara
“Ketuhanan Yang Maha Esa”? Apa gunanya mengakui 6 (enam) agama sebagai
agama resmi negara? Dan apa gunanya mengakui diri sebagai umat beragama?
Sesungguhnya, berpikir dan berbuat baik dan benar serta
menciptakan “kehidupan surgawi” di bumi bukan tergantung apakah orang
atheis atau beragama. Banyak fakta dalam sejarah hidup manusia telah
membuktikan bahwa orang atheis yang tidak mempercayai eksistensi Tuhan
telah banyak berbuat baik dan benar dan menciptakan kehidupan surgawi
dalam hidupnya dan memberikan manfaat bagi sesamanya. Begitu pula
sebaliknya, banyak fakta sejarah hidup manusia telah membuktikan bahwa
orang beragama yang mempercayai eksistensi Tuhan telah banyak berbuat
buruk dan salah dan menciptakan kehidupan nerakawi dalam hidupnya dan
memberikan dampak buruk bagi sesamanya.
Jika demikian, bagaimana
sebaiknya? Pertama, sebaiknya menjadi orang atheis yang tidak
mempercayai eksistensi Tuhan, tetapi mampu dan gemar berbuat baik dan
benar dan menciptakan kehidupan surgawi di bumi, sebab sesungguhnya
mereka berpeluang hidup di surga kelak. Dan kedua, sebaiknya menjadi
orang beragama yang mempercayai eksistensi Tuhan dan mampu dan gemar
berbuat baik dan benar dan menciptakan kehidupan surgawi di bumi, sebab
sesungguhnya mereka berpeluang hidup di surga kelak. Tergantung siapa
memilih apa dan bertindak bagaimana. Yang penting jangan menjadi “orang
beragama dan mempercayai eksistensi Tuhan, tetapi gemar berbuat buruk
dan salah (dosa) dan menciptakan kehidupan nerakawi” seperti yang
diciptakan di negara Indonesia oleh mereka yang “katanya beragama” dan
mempercayai eksistensi Tuhan.
(Dumupa Odiyaipai)
Source : Odiyai Wuu
Saya adalah Peziarah Kehidupan yang berkelana di Ilalang Kebebasan, demi mencari kehidupan yang menghidupkan untuk mengusik Duka Nestapa di Negeri Hitamku.
.
bagikan kontent ini!
Artikel dan Gambar Terkait
Komentar Anda :