Published On:Friday, 14 August 2015
Posted by Unknown
Pelajaran “Pasar Tautefa”: Potensi Kerawanan Dan Konflik Masa Depan Di Papua
Ilustrasi |
Apapun
masalahnya dan apa penyebabnya, yang menarik perhatian saya adalah
ungkapan pedagang asal Bugis-Makasar ini. Ada empat hal yang menarik.
Pertama, kalimat “Kami hanya cari makan di sini, kami tidak pusing
dengan kalian.” Memang benar, untuk kepentingan cari makan, maka para
migran ilegal (pendatang liar) dari luar Papua telah datang ke Papua dan
membentuk perkampungan kumuh, kios kumuh, warung kumuh, dan pasar
kumuh. Dalam pembentukan “komplek perkumuhan” tersebut, mereka
mengabaikan etika dan moral, mengabaikan aturan perundang-undangan, dan
mengabaikan orang asli Papua yang mempunyai tanah yang mereka duduki.
Kedua, kalimat “Kalau mau menderita, silakan kalian menderita sendiri.”
Hal ini mengandung pesan bahwa para migran ilegal (pendatang liar) dari
luar Papua sama sekali tidak peduli dengan kondisi penderitaan orang
Papua. Mereka memposisikan dirinya sebagai “penjajah” yang sama sekali
tidak peduli dengan mereka yang dijajah. Bahkan penderitaan mereka yang
dijajah dianggap sebagai sebuah keharusan atau kewajaran yang perlu
diterimanya. Dan oleh karenanya, para migran ilegal (pendatang liar)
dari luar Papua merasa senang dengan penderitaan orang asli Papua
(sebagai pihak yang mereka jajah).
Ketiga, kalimat “Yang penting
jangan ganggu kami, jangan ganggu usaha kami.” Stabiltas keamanan dan
kenyamanan dalam berusaha (mencari makan) bagi para migran ilegal
(pendatang liar) dari luar Papua sangat penting, agar mereka dengan
laluasa dapat meraub keuntungan ekonomi yang mereka impikan. Jika
terjadi kekacauan atau ketidakstabilan keamanan di Papua, maka pihak
pertama yang merasa panik dan merasa sangat rugi adalah para migran
ilegal (pendatang liar) dari luar Papua.
Keempat, kalimat “Ini
Indonesia. Kami sudah banyak di Papua, kalian tidak akan merdeka.” Hal
ini menegaskan dua hal; (1) pandangan para migran ilegal (pendatang
liar) dari luar Papua mengenai status wilayah Papua dalam NKRI, bahwa
Papua adalah bagian dari wilayah kekuasaan NKRI dan oleh karenanya
mereka merasa berhak berada di Papua (dan melakukan apapun yang mereka
mau sesukanya, termasuk membentuk “komplek perkumuhan”); dan (2)
kemayoritasan para migran ilegal (pendatang liar) dari luar Papua di
Papua tidak akan memungkinkan Papua merdeka lepas dari kekuasaan NKRI,
karena mereka hendak menjadi “garda terdepan” dalam mempertahankan
kedaulatan NKRI atas wilayah Papua.
Menurut saya, empat hal
tersebut mengandung potensi kerawanan dan konflik di masa depan, antara
orang asli Papua dan para migran ilegal (pendatang liar) dari luar Papua
di Papua. Kata-kata pedagang asal Bugis-Makasar tersebut menunjukan
potensi tersebut. Sekarang tergantung semua pihak hendak mengelolah
Papua ini seperti apa. Yang jelas, “kebenaran apapun bentuknya selalu
menang, walau kadang kebenaran itu datang terlambat”.
(Dumupa Odiyaipai)