Published On:Thursday, 28 May 2015
Posted by Unknown
Dr. Siegfried Zöllner : 1 Mei 1963, Aneksasi Indonesia atas Papua terjadi 50 Tahun yang Lalu
Dr. Siegfried Zöllner |
* Siegfried Zöllner)
Sekelompok kecil masyarakat papua yang berkumpul di luar kantor gubernur yang teletak di Provinsi Nuigini Barat (yang pada waktu jajahan Belanda dikenal dengan nama Hollandia). Pada malam hari tanggal 30 April 1963, menjelang penurunan bendera PBB setelah tujuh bulan lamanya berkibar di langit papua. Pengibar bendera dari TNI dan perwakilan PBB secara simbolis merayakan seremonial ini.
Hal itu menunjukan bahwa pemerintah Papua Barat –yang kemudian disebut Irian Barat- telah diserahkan dari United Nations Temporary Authority (UNTEA) kepada Pemerintah Republik Indonesia. Bagi masyarakat Papua yang menonton penyerahan itu dari jauh, hal itu menandakan bahwa harapan untuk masa depan yang menjunjung kebebasan telah sirna.
Pada saat itu saya dan istri saya tinggal di Anggruk, 250 km sebelah Barat Daya dari Hollandia. Anggruk adalah sebuah wilayah misi kecil yang terdiri dari beberapa pondok-pondok besi dan landasan pacu yang tertutup rumput, lokasi terletak sekitar desa-desa Papua. Kami hanya mengikuti rangkaian peristiwa tersebut melalui radio kecil milik kami. Kadang-kadang, ada beberapa yang mengunjungi kami dan menceritakan detail kejadian tersebut. Kami memiliki hubungan cukup dekat dengan staf-staf kami yang berasal dari Papua, yang tentunya mengartikan informasi tersebut dengan cara mereka sendiri. Mereka mengatakan kepada kami apa yang terjadi di kota-kota. Beberapa minggu kemudian sebelum serah-terima itu, saya mengunjungi Hollandia dan menyaksikan kegugupan, rasa frustrasi, ketakutan, serta kekecewaan masyarakat Papua.
Republik Indonesia, melalui tindakannya, memberikan citra negative ke dalam hati dan pikiran masyarakat Papua sampai dengan hari ini. Sadari, awal Pemerintah Indonesia memperlakukan masyarakat Papua sebagai musuh negara, dan sebagai warga negara kelas dua atau kelas tiga. Mata-mata ditempatkan di mana-mana. Elit politik dari kalangan masyarakat Papua diburuh, dipenjara, disiksa, dan dibunuh. Banyak dari mereka melarikan diri ke luar negeri. Mereka yang pada awalnya terbuka terhadap Indonesia, merasa sangat dikecewakan.
Ringkasan peristiwa 1 Mei 1963 ini merupakan pengantar dari Laporan hak Asasi manusia di Papua 2013. Pelanggaran HAM oleh Tentara Nasional Indonesia bahkan telah dimulai pada saat peralihan dari UNTEA. Berkali-kali kami mendengar tentang desas-desus tentang penjara militer yang terletak Bukit Ifar, daerah dekat Sentani. Tak lama kemudian, pelejar dan mahasiswa yang tinggal di asrama mahasiswa di Abepura memberitahu kami bahwa pada awal bulan November 1962 –ketika papua masih berada di bawah otoritas PBB- mereka diserang oleh tentara Indonesia, dipukuli dan dibawa ke Penjara Ifar. Mereka dimasukan ke dalam sel yanag tergenang air setinggi 50 cm selam 24 jam. Beberapa dari mereka bahkan dipaksa untuk minum air kencing mereka sendiri. Ketika mereka dibebaskan, mereka diperingatkan untuk tidak bicara tentang insiden itu.
Salah satu pekerja gereja kami kembali ke Angguruk setelah melakukan kunjungan ke daerah pesisir. Dia berkata “Saya senang bias kembali kesini”. Saya berkata aman disini, di Angguruk. Dalam perjalanan ke bandara, kami dihadang oleh tentara. Mereka ingin membawa kami ke Ifar. Pdt.Chaay dari Dewan Gereja GKI yang menyertai kami ke Bandara, berbicara dan terus berbicara. Akhirnya kami diizinkan untuk pergi; saya sangat beruntung”.
Suatu hari seorang pejabat politik Indonesia datang ke Wamena. Setiap kali dia keluar, dia mempertontonkan pistol yang menjuntai dari ikat pinggangnya. Dia menjelaskan bahwa dia datang “untuk menanagkap beberapa nyamuk Biak.” Dia managaawasi Papua dari pulau Biak. Secar umum, orang-orang Biak dianggap sangat penting bagi Indonesia. Dengan menyebut “nyamuk Biak”, dia mengalamatkan hinaannya untuk masyarakat Papua. Benar jika masyarakat Papua akemudian mengatakan” Kami merasa bahwa ada orang-orang Indonesia tidak pernah menganggap kami sebagai manusia.”
Ada beberapa kejadian yang berlangsung pada saat itu, yang tidak kami dengar sampai beberapa saat kemudian. Sejulah tokoh masyarakat di Papua bertemu secara tersembunyi dan membahas tindakan mereka untuk mengakhiri perkembangan situasi yang memburuk. Pada awalnya, mereka mempertimbangkan perlawanan politikdengan cara menginformasikan kepada dunia Internasional, melalui PBB. Gerakan perlawanan perlawan lahir pada waktu itu, yang sacara bertahap menjurus kea rah kelompok bersenjata. Dua tahun kemudian, gerakan itu dikenel sebagai Organisasi Papua Merdeka (OPM).
Wawasan yang saya peroleh 50 tahun lalu ini menunjukan bahwa sejak awal, aneksasi Papua oleh Indonesia dipenuhi dengan pelanggaran hak asasi dan martabat manusia. Lima puluh tahun yang lalu, Pemerintah Indonesia melalui tentaranya menaburkan menih-benih masalah seperti yang terlihat hari ini. Laporan Hak Asasi di Papua 2013 ini membuktikan bahwa secara keseluruhan, hanya sedikit yang berubah dalam kurun waktu 50 tahun terakhir.
*Dr. Siegfried Zöllner tinggal lama di Papua sebagai seorang misionaris. Dia adalah seorang ahli budaya dan bahasa Suku Adat Yali, yang meneruskan uasahanya dengan rekan-rekan dan gereja-gereja di Papua.