Published On:Sunday, 4 January 2015
Posted by Unknown
George Junus Aditjondro : POLITIK EKONOMI KEKERASAN NEGARA DI PAPUA BARAT
George Junus Aditjondro |
George Junus Aditjondro
(Dosen Matakuliah Gerakan-gerakan Kemerdekaan Pasca-kolonial, Universitas Newcastle, NSW, Australia)
Makalah untuk Konferensi tentang ‘Kejahatan Negara di Papua Barat: Penculikan dan Pembunuhan Theys Hiyo Eluay, Wajah Kekerasan Negara di Papua (Barat), yang diselenggarakan oleh ELS-HAM Papua Barat, LBH Papua Barat dan KONTRAS Papua Barat di Jakarta, 21-22 Maret 2002.
PENDAHULUAN
MENGAPA Theys Hiyo Eluay dibunuh pada hari Sabtu malam, 10 November tahun lalu? Sebelum menjawab pertanyaan itu, mungkin kita juga perlu bertanya pada diri kita sendiri, mengapa peluncuran dan pembahasan hasil investigasi independen terhadap kematian pemimpin Presidium Dewan Papua itu harus kita lakukan di Jakarta, bukan di Tanah Papua sendiri, misalnya di Sentani, atau di Port Numbay.
Jawabannya mungkin karena para penyelenggara konferensi ini merasa, Tanah Papua sekarang semakin tidak aman untuk kegiatan kritis semacam ini. Atau mungkin juga ada anggapan, bahwa mereka yang pada instansi terakhir bertanggungjawab atas kematian ondofolo besar suku bangsa Sentani ini, berada di Jakarta. Makanya, konferensi ini sekaligus merupakan tuntutan kepada fihak penguasa, supaya tindakan hukum segera diambil terhadap para pembunuh paitua Eluay ini, tidak cuma terhadap para bawahan yang hanya bertugas menjalankan perintah, tapi juga terhadap yang memberi perintah.
Marilah kita kini kembali ke pertanyaan pembuka catatan ini: mengapa Theys dibunuh? Setelah mengkaji seluruh perkembangan gerakan kemerdekaan Papua Barat, terutama selama sepuluh tahun terakhir, saya sampai pada kesimpulan bahwa pembunuhan Ketua Presidium Dewan Papua itu adalah untuk menggemboskan sayap gerakan kemerdekaan yang berada di kota, di kampus, di gereja dan di dalam birokrasi pemerintahan, yang memperjuangkan cita-cita mereka melalui jalan damai, sehingga dengan demikian gerilya bersenjata kembali menjadi strategi perjuangan yang utama bagi para nasionalis Papua Barat.
Mengapa perjuangan kemerdekaan Papua Barat perlu dikembalikan ke rel gerilya bersenjata? Jawabannya juga sederhana: dengan demikian, Papua Barat dapat dipertahankan secara de facto sebagai daerah rawan, atau dalam ‘bahasa Aceh’-nya, ‘Daerah Operasi Militer’, sehingga dengan demikian, kekuatan-kekuatan resmi bersenjata itu dapat mempertahankan hegemoni mereka atas daerah ini, walaupun secara de jure , pemerintah pusat telah mendelegasikan wewenang – termasuk wewenang memetik pungutan yang cukup tinggi dari pengolahan sumberdaya alam di sini – kepada pemerintah daerah, khususnya, pemerintah daerah Tingkat II.
Dengan kata lain, apa yang telah diberikan oleh Jakarta kepada rakyat Papua dengan tangan kanan, ingin diambil kembali dengan tangan kiri. Dan tindakan apa lagi yang dapat mendorong para nasionalis muda di Tanah Papua untuk kembali memperkuat barisan gerilyawan OPM dengan Tepenal dan Papenalnya, kalau mereka sampai pada kesimpulan bahwa perjuangan damai tidak akan ada hasilnya, ketimbang membunuh simbol perjuangan damai itu, Theys Hiyo Eluay?
Memang, yang kita dengar setiap kali Jakarta memutuskan untuk mengirim pasukan ke daerah-daerah yang bergolak untuk melepaskan diri dari cengkeraman pemerintah pusat, adalah bahwa tugas mereka adalah untuk mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) at all cost. Itulah retorika resmi yang selalu kita dengar. Tapi di balik retorika itu adalah kepentingan bisnis militer dan polisi, yang sudah berkembang biak dengan suburnya di Indonesia, sejak dirintis oleh bekas presiden Soeharto di daerah Teritorium IV yang sekarang menjadi Kodam Diponegoro.
Pendekatan yang saya gunakan dalam makalah ini didasarkan pada pandangan bahwa di balik setiap rangkaian kekerasan selalu terselip kepentingan ekonomi. Pendekatan itu telah dikembangkan oleh antropolog Jerman, Georg Etwert dari Universitas Berlin, yang mengembangkan konsep “markets of violence “, yang barangkali dapat diterjemahkan menjadi “pasar kekerasan”. Seperti kata Elwert (1999: 41):
“by markets of violence I mean conflicts categorised as civil wars, warlord-dominated systems or banditry, where, beneath a superficial gloss of philosophical or power-political objectives or obligations to fight, ostensibly based on tradition, the economic motive of material profit dominates. Markets based on violence can come into being in areas which are open to violence – especially in the absence of a monopoly of violence.”
TIGA KAKI BISNIS MILITER DI INDONESIA
Diilhami teori ‘markets of violence ‘ tersebut, marilah kita bedah bisnis militer di Indonesia. Untuk keperluan makalah ini, saya akan menggunakan istilah “bisnis militer” saja, tapi dalam konsep itu sudah tersirat juga bisnis polisi dan berbagai kelompok paramiliter yang ikut didukung oleh aparat negara. Bisnis militer ini, bukan hanya berbentuk perusahaan-perusahaan di bawah payung, atau mengandung saham yayasan-yayasan dan koperasi-koperasi milik militer dan polisi. Gambaran yang lebih komplit tentang bisnis militer ini paling tidak punya tiga kaki. Kaki pertama adalah apa yang dinamakan oleh Indria Samego dkk dari LIPI sebagai “bisnis institusional ABRI”. Kaki kedua adalah apa yang mereka namakan sebagai “bisnis non-institusional ABRI”, yakni bisnis milik purnawirawan ABRI dan keluarga mereka, yang sudah berkembang menjadi konglomerat-konglomerat yang kuat.
Sementara kaki ketiga, yang belum banyak diteliti, adalah apa yang dapat kita sebutkan sebagai “bisnis kelabu”militer dan polisi, yang cukup luas cakupannya, mulai dari pemungutan (lebih tepat disebut, pemalakan) biaya proteksi dari perusahaan-perusahaan raksasa yang ingin dilindungi dari jarahan kelompok-kelompok perusuh bersenjata api maupun bersenjata tajam, dan punya massa yang cukup banyak untuk melakukan intimidasi, sampai dengan penjualan senjata secara ilegal, perdagangan narkoba, perdagangan pekerja seks komersial (PSK), sampai dengan perdagangan flora dan fauna langka.
Hubungan antara bisnis institusional dan non-institusional, sudah cukup jelas. Kerabat dan kroni Soeharto, sudah lama punya ‘kebiasaan’ untuk merekrut para bekas komandan TNI dan Polri ke dalam perusahaan-perusahaan mereka, dalam posisi sebagai komisaris. Sebaliknya, juga ada bekas komandan-komandan TNI dan Polri yang setelah dikaryakan ke badan-badan usaha milik negara (BUMN), ternyata punya bakat bisnis yang cukup tebal, sehingga selesai masa jabatannya di BUMN-BUMN yang dipimpinnya (baca: yang diperasnya), mereka cukup punya modal dan jaringan relasi yang cukup luas, sehingga dapat mulai membangun konglomerat milik keluarga mereka. Contoh yang cukup populer adalah almarhum Ibnu Sutowo, yang setelah diberhentikan dari Pertamina oleh Soeharto setelah skandal tanker senilai AS$ 10 milyar, berhasil membantu Nugra Santana Group bersama anak-anaknya. Atau pensiunan jenderal Bustanil Arifin dan A.R. Ramly, setelah masing-masing cukup lama memupuk modal selama memimpin Bulog dan PT Timah, dapat membangun kelompok Danitama Group mereka.
Adapun kaki ketiga, sesuai dengan namanya, yakni “bisnis kelabu”, memang belum banyak disorot, karena tidak terekam dengan jelas dalam statistik perdagangan, dan karena sebagian (besar?) sifatnya ilegal dan merupakan penyalahgunaan sarana publik. Kadang-kadang, bisnis kelabu ini dijalankan oleh perusahaan yang legal, artinya, punya badan hukum, bahkan berbentuk Perseroan Terbatas. Misalnya, dalam penelitian saya melalui CD-ROM PT Dataindo Inti Swakarsa, saya temukan bahwa Yapto Soerjosoemarno, bekas ketua Pemuda Pancasila yang bergelar Sarjana Hukum dan punya kantor pengacaranya sendiri, Yapto & Associates. Di alamat kantor pengacaranya itu, di Jalan H. Samali No. 31, Kalibata, Jakarta Selatan, ada sebuah perusahaannya yang lain, PT Mahaphala Cakti, yang memasok kebutuhan senjata bagi tentara dan polisi.
Tapi bukan bisnis senjata yang paling banyak menghasilkan uang bagi perusahaan itu. Menurut hasil investigasi saya, pemasokan ransum bagi tentara dan polisi yang bertugas di lapangan, serta pemasokan semen untuk pembangunan dan rehabilityasi asrama tentara dan polisi di seluruh Indonesia, yang ratusan jumlahnya, merupakan sumber pemasukan yang lebih besar bagi PT Mahaphala Cakti, ketimbang penjualan senjata kepada tentara dan polisi. Jadi bisa dibayangkan, setiap keputusan seorang Panglima di Jakarta – tidak perlu sampai Panglima TNI sendiri, tapi cukup Pangkostrad – untuk mengirim ratusan tentara ke sebuah daerah yang bergolak, mempertebal kocek Yapto.
Apalagi keputusan pemerintah untuk menghidupkan kembali Kodam-Kodam yang sudah pernah ditutup, seperti Kodam Iskandar Muda di Aceh dan Kodam Pattimura di Maluku, bakal ditanggapi oleh Yapto dengan mata berbinar-binar, membayangkan besarnya order yang bakal masuk untuk membangun dan meng-upgrade asrama-asrama prajurit serta kantor-kantor Kodim, Korem dan Kodam di kedua penjuru tanah air itu.
Secara sederhana, korelasi antara kerusuhan dan gejolak sosial dan bisnis militer dapat digambarkan sebagai berikut:
------------------------------------------
BISNIS
INSTITUSIONAL
------------------------------------------
____________________ ====================
STRUKTUR KERUSUHAN /
TERITORIAL ABRI GEJOLAK SOSIAL
_____________________ ======================
----------------------------------- ------------------------------------
BISNIS BISNIS
NON-INSTITUSIONAL KELABU
------------------------------------ -------------------------------------
Dari bagan di atas, dapat kita lihat bahwa simpul penghubung ketiga bentuk bisnis militer itu adalah struktur teritorial ABRI, sebab struktur teritorial itu merupakan basis pengorganisasian bisnis institusional militer, yang pada gilirannya berkaitan dengan bisnis non-institusional maupun bisnis kelabu mereka. Di lingkungan Angkatan Darat, misalnya, setiap Korem punya Primkopadnya, setiap Kodam punya Puskopadnya, dan di tingkat Pusat ada Inkopad. Beberapa Kodam, khususnya yang ada di Jawa, punya yayasannya sendiri. Begitu pula Polda-Polda, sekali lagi, terutama Polda di Jawa, di mana di samping Yayasan Brata Bhakti yang berlingkup nasional, ada juga ‘anak yayasan’, seperti Yayasan Brata Bhakti Jakarta Raya. Selanjutnya, yayasan-yayasan itu, bersama Inkopad, Inkopal, Inkopau dan Inkoppol, menjadi pemegang saham puluhan perusahaan besar. Sementara para bekas panglima ke-3 angkatan serta para bekas Kapolri dan bekas Kapolda, sering diangkat menjadi komisaris dari berbagai perusahaan milik keluarga para kapitalis birokrat dan purnawirawan ABRI, sehingga di situ kaitan antara struktur teritorial itu dengan bisnis non-institusional militer.
Ketiga kaki bisnis militer itu berkembang maju mundur, membengkak dan menyusut, mengikuti dinamika kerusuhan sosial di negeri ini. Mengapa? Sebab nyaris setiap kerusuhan atau gejolak sosial di setiap daerah di Indonesia, dianggap merupakan masalah yang harus ‘diurusi’ oleh tentara dengan cara-cara yang militeristik, dan bukan oleh polisi. Atau kalaupun di sana sini sudah mulai diurusi oleh polisi, khususnya oleh tangan militer dari polisi, yakni Brimob, cara penanganannya juga tetap militeristik, dan bukan dengan cara-cara polisi di negara-negara demokrasi liberal menangani gejolak massa, dengan se-sedikit mungkin korban jiwa. Perbedaan ini tentu saja mudah dicari akarnya dalam doktrin dwifungsi ABRI yang kini sekedar diganti namanya menjadi dwifungsi TNI. Makanya, selama Indonesia belum menghapus doktrin ini dari sistem politiknya, maka berbagai kerusuhan maupun gejolak sosial merupakan kesempatan untuk semakin membengkakkan ketiga jenis bisnis militer itu.
Model ini tidak hanya berlaku bagi daerah-daerah ‘KTT’ – kerapatan tentara tertinggi – melainkan juga bagi daerah di mana tidak ada gerakan perlawanan bersenjata, seperti DKI. Selama dua tahun lalu, ketika sektor bisnis lain terkulai, bisnis senjata justru mengalami boom. Kita masih ingat, betapa menjelang Sidang Paripurna DOR-RI, akhir April 2001, sejumlah anggota DPR hadir dengan membawa pistol. Bahkan seorang anggota DPR mempertontonkan rompi anti-pelurunya di sebuah televisi Jerman. Suasana ketakutan itu mencetak rezeki berkimpah bagi dua perusahaan, PT Armindo Prima dan PT Budimanmaju Megah, yang secara legal mendapat izin mengimpor senjata api dari AS, Inggris, Jerman, bahkan dari Brazil. Kedua importir tersebut dianggap legal setelah lulus seleksi Polda, BAIS/BIA, dan Mabes Polri (Infobank, Juni 2001: 88-89).
Apa yang membangkitkan ketakutan para wakil rakyat itu? Faktor massa pendukung Gus Dur dari Jawa Timur, yang mengancam akan berjihad ke Senayan, apabila Gus Dur digulingkan, memang ikut menimbulkan kepanikan. Tapi coba kita lihat, bagaimana eskalasi mobilisasi massa meningkat setelah jatuhnya Soeharto, dengan maraknya organisasi preman politik dengan berbagai bendera, baik bendera nasionalis maupun bendera Islam, termasuk pembentukan Lasykar Jihad yang dengan ribuan anggotanya “menyerbu” ke Maluku, kita bisa simpulkan betapa meratanya ‘penyakit Orde Baru” itu di antara semua fraksi elit politik di negara kita.
Tapi di samping itu, kita juga perlu melihat, seringnya terjadi pemboman terhadap sasaran-sasaran politik dan ekonomi, di kota metropolitan ini sendiri, yang jarang sekali terungkap aktor-aktornya, lewat jalur pengadilan yang terbuka. Bahkan sebaliknya, berkali-kali kejadian pemboman di Jakarta dikait-kaitkan dengan ulah Gerakan Aceh Merdeka (GAM), atau anggota tentara yang telah membelot ke GAM. Jarang sekali publik diingatkan, bahwa di luar perusahaan milik negara, seperti PT Dahana, ada dua perushaan milik anak-anak Soeharto, yang belum dicabut izin khususnya untuk menjual bahan peledak buatan PT Dahana, yakni PT Multi Nitroma Kimia dan PT Tridaya Esta (Aditjondro 2002: 18). Dengan demikian, kedua perusahaan ini dapat dianggap merupakan bagian dari “bisnis kelabu” militer, karena hubungannya yang erat dengan bisnis militer yang institusional.
BISNIS KELABU TENTARA DI PAPUA BARAT
Untuk keperluan makalah ini, saya sengaja tidak akan membahas kedua kaki pertama dan kedua, yakni bisnis institusional dan bisnis non-institusional, yang sudah pernah dibahas secara mendalam oleh pengarang-pengarang lain (lihat Iswandi 2000 dan Indria Samego et al 1998). Saya akan mengkhususkan diri pada “bisnis kelabu” militer yang berkecamuk di Tanah Papua. Bisnis kelabu yang paling umum yang sudah berjalan selama tiga dasawarsa di daerah ini adalah perburuan berbagai jenis satwa langka, seperti burung cenderawasih dan buaya, maupun satwa yang berlimpah ruah di beberapa tempat, seperti jenis rusa Merauke.
Secara kultural, perburuan burung cenderawasih dan rusa punya dampak yang sangat berbeda. Kebiasaan untuk menangkap hidup-hidup, atau mengawetkan burung cenderawasih, sangat melukai hati orang Papua. Sebab buat mereka,. ‘burung kuning’ – begitu istilah populer buat burung itu bagi rakyat biasa – merupakan simbol seorang kepala suku (Aditjondro 2000: 142, 208-9, 213-5).
Sebaliknya, perburuan rusa di Merauke, ikut didukung oleh rakyat setempat, baik dari kalangan penduduk asli suku Marind dan Kanum, maupun transmigran dari Jawa. Bukan hanya karena rusa Merauke bukanlah satwa asli daerah itu, melainkan turunan dari rusa Timor (Cervus Timorienses ) yang diperkenalkan oleh Belanda dan telah beradaptasi dengan lingkungan sabana Merauke, melainkan karena itu menambah persediaan protein hewani mereka juga, dan punya konsumen yang luas karena baik penduduk yang beragama Kristen maupun yang Muslim tidak mengharamkan daging rusa. Bahkan sebuah industri dendeng rusa telah berkembang di daerah transmigrasi di Merauke. Itu sebabnya, banyak orang setempat mau melakukan bagi hasil dengan petugas polisi setempat yang senapannya mereka sewa (Aditjondro 2000: 78-9, 220).
Cuma harus diingat bahwa formalin yang dipakai untuk mengawetkan ribuan burung cenderawasih yang sudah diterbangkan ke luar dari Tanah Papua, telah dibeli dari uang pajak rakyat. Begitu pula peluru yang telah dihambur-hamburkan dalam perburuan rusa di sabana Merauke. Dengan kata lain, rakyat luaslah yang mengsubsidi perburuan satwa oleh tentara, polisi, dan kakitangan mereka di Tanah Papua. Belum lagi avtur pesawat Hercules serta bensin untuk jip tentara, ketika beberapa petinggi ABRI khusus terbang dari Biak ke Merauke, lengkap dengan senjata berburunya, dengan menggunakan jip ABRI yang diterbangkan dengan Hercules itu.
Satu aspek yang negatif pula dari pengurasan sumberdaya alam yang melibatkan satuan tentara di Tanah Papua, adalah kecenderungan satuan dari luar itu untuk menjadi pelindung, sekaligus berkolusi, dengan penebang hutan yang sedaerah asal dengan mereka. Itulah yang saya amati di daerah Arso, Kabupaten Jayapura, di tahun 1980-an, ketika satuan tentara dari Kodam Hasanuddin waktu itu menjadi pelindung untuk penebangan hutan secara liar oleh para perantau dari Sulawesi Selatan. Sampai-sampai begitu kurang ajarnya para ‘anjing penjaga’ para penebang liar itu, sehingga mereka berani memukul Kepala Dinas Kehutanan Papua Barat waktu itu, yang memergoki penebangan liar itu dan menegur mereka (Aditjondro 2000: 202).
Namun satu bisnis baru yang mulai berjalan sejak akhir dasawarsa 1990-an, yang punya dampak sosial yang jauh lebih dahsyat negatifnya ditinjau dari kelestarian orang Papua sendiri, adalah pengumpulan kayu gaharu (Gonystylus spp.), sejenis kayu yang keharumannya setingkat di bawah kayu cendana (ingat pepatah Melayu: sudah gaharu, cendana pula; sudah tahu, bertanya pula?). Dan memang, setelah pohon cendana di Timor hampir punah, banyak pedagang di luar negeri beralih ke kayu gaharu, untuk bahan hio, maupun cenderamata. Ekspornya sampai ke Singapura, Korea, Tiongkok, bahkan sampai ke Arab Saudi (Leith 2000: 317; Soerianegara & Lemmens 1994: 222).
Pengerahan rakyat untuk mengumpulkan kayu gaharu, telah dilakukan oleh tentara praktis di seluruh Tanah Papua. Di daerah kontrak karya pertambangan PT Freeport Indonesia, Inc., penebangan pohon gaharu praktis sudah terhenti, karena sudah hampir punah. Tapi di samping dampak ekologisnya, yang masih harus diteliti, pembabatan kayu gaharu di Papua Barat ada korelasinya dengan meluasnya prevalensi HIV/AIDS di Tanah Papua.
Soalnya, untuk membujuk rakyat Papua untuk menebangi kayu gaharu mereka, berbagai kesatuan tentara ikut mensponsori ‘transmigrasi’ pekerja seks dari Jawa ke Tanah Papua. Selanjutnya, para pedagang pengumpul kayu gaharu masuk ke pedalaman Kabupaten Merauke, membawa serta pekerja seks dari kota Merauke. Para pekerja seks itu bekerjasama dengan pedagang, membujuk rayu para kepala suku untuk berhubungan intim dengan mereka, dengan bayaran kayu gaharu itu. Kualitas kayu gaharu yang disetor, menjadi ukuran lamanya pelayanan seks yang dapat diperoleh dari laki-laki penyetor kayu gaharu itu. Satu kg gaharu berkualitas tinggi, misalnya, jenis ‘mata kucing’, membuat laki-laki penyetor gaharu itu dapat berhubungan intim semalam suntuk dengan sang pekerja seks, sedangkan untuk yang berkualitas rendah, hanya diimbangi dengan pelayanan seks selama satu sampai dua jam saja.
Boleh jadi, laki-laki Papua yang mendapat pelayanan seks dari lawan jenis yang berkulit lebih terang itu, sudah puas dengan kepuasan seks yang diperolehnya. Padahal apa yang diterimanya, tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan harga Rp 500.000 sampai dengan Rp 5 juta sekilogram, yang bisa diperoleh pedagang yang mengekspor kayu harum itu ke Singapura dan pasaran lain di dunia.
Pokoknya, melalui barter kayu gaharu dengan seks itu, penyakit HIV/AIDS, yang pertama kali ditemukan di Merauke tahun 1981, akibat hubungan seks antara dua orang pekerja seks dengan empat orang nelayan Muangthai, makin hari makin merebak ke seluruh penjuru Tanah Papua. Sampai akhir Agustus 2001, tercatat secara kumulatif 702 kasus HIV dan AIDS, di mana 125 orang di antaranya telah meninggal. Dari jumlah penderita HIV/AIDS itu, sekitar 340 orang berumur 28 tahun ke bawah. Penderita HIV/AIDS itu hampir ditemukan di semua kota kabupaten dan kecamatan di Papua Barat, bahkan telah merebak di wilayah pegunungan seperti di Puncak Jaya, Paniai, dan Jayawijaya.
Buat pasukan-pasukan yang bertugas di Tanah Papua, ongkos transpor produk-produk fauna dan flora Melanesia yang langka dan mahal itu tidak menjadi masalah, sebab siapa yang berani melakukan razzia terhadap barang bawaan pasukan yang akan pulang ke kesatuan aslinya di luar Papua? Mereka dengan mudah menggunakan fasilitas pesawat Hercules TNI/AU, atau kapal-kapal ADRI, untuk kelancaran pembajakan sumber-sumber daya alam di Tanah Papua itu. Sehingga dengan demikian, genosida orang Papua berjalan seiring dengan ekosida (ecocide ) tanah tumpah darah mereka.
Berbicara soal ekosida dan dekadensi ekologi lainnya, mau tidak mau kita teringat kembali pada proses penandusan yang sedang berjalan di bagian hilir Sungai Ajkwa, karena endapan tailing (bahan buangan tambang) yang setiap hari terus mengendap di sana. Ironisnya, malapetaka ekologis itu dapat juga menjadi sumber rezeki nomplok bagi pasukan yang bertugas di sana, terutama satuan Kopassus. Merekalah yang jadi backing bagi kontraktor penebangan pohon-pohon yang mati di sepanjang hilir S. Ajkwa itu.
Bagian hilir DAS Ajkwa, khususnya di Kali Kopi, yang masih banyak ikannya, sekali lagi menjadi sumber rezeki bagi tentara dan nelayan di sana. Satuan Kopassus yang bertugas di sana, menampung ikan-ikan hasil tangkapan para nelayan. Sebaliknya, para nelayan dapat membeli bensin dari ‘kios bensin’ yang dikelola oleh satuan Kopassus yang bertugas di sana. Memang, para nelayan setempat mendapat keuntungan berupa bensin murah. Tapi di fihak lain, tentara yang merangkap sebagai pedagang bensin dan ikan itu, dengan demikian menutup peluang bisnis bagi yayasan milik suku Kamoro, yang sedang dilatih oleh PT FII untuk ikut memanfaatkan kue ekonomi setempat, melalui sumbangan satu persen dari seluruh keuntungan maskapai mancanegara itu di Tanah Papua.
Akhirnya, di bawah rubrik “Bisnis Kelabu” ini, juga perlu kita soroti biaya proteksi yang harus dibayar oleh badan-badan usaha di Tanah Papua kepada satuan-satuan tentara dan polisi yang bertugas di sana. Tentu saja, dari semua badan usaha itu, PT Freeport Indonesia-lah yang harus membayar biaya proteksi yang terbesar, dengan kehadiran personil TNI dan Polri antara 1000 dan 4000 orang (Leith 2000: 330-1), walaupun resminya hanya satu batalyon gabungan dari ketiga angkatan yang ditempatkan di kawasan kontrak karya mereka, dengan KOSTRAD menempatkan personilnya yang terbanyak di sana.
Biaya proteksi itu, ada yang bersifat rutin dan ada yang bersifat insidental, yakni apabila ada pembesar-pembesar negara berkunjung ke sana. Sekitar dua minggu lalu, ketika Pangkostrad Jenderal Ryamizard Ryacudu berkunjung ke sana, biaya pengamanan khusus sang tamu yang disodorkan ke bagian keuangan PT FII besarnya konon mencapai Rp 90 juta. Sedangkan ketika Taufiq Kiemas, suami Presiden Megawati Sukarnoputri, yang juga seorang anggota DPR/MPR berkunjung ke sana, bulan September tahun lalu, didampingi oleh 45 orang wakil rakyat, pejabat pemerintah, dan wartawan, biaya pengamanan khusus rombongan ‘tamu agung’ itu konon mencapai Rp 500 juta. Maklumlah, rombongan yang begitu besar harus dipecah menjadi beberapa regu, yang diterbangkan keliling wilayah kontrak karya PT FII, bahkan sampai ke wilayah Kabupaten Merauke, dengan helikopter-helikopter, yang sewanya per jam tinggi sekali.
Menurut catatan resmi, PT FII menganggarkan A$ 35 juta Australia setahun untuk menyediakan kendaraan bagi aparat bersenjata yang menjaga kawasan kontrak karya mereka, membangun tangsi-tangsi mereka, serta membantu membangun Pangkalan Angkatan Laut dekat kota pelabuhan Amamapare. Namun menurut dokumen pendukung gugatan Tom Beanal, Ketua LEMASA, ketika ia menggugat PT FII, perusahaan itu juga menganggarkan biaya untuk pembangunan markas tentara, pos-pos penjagaan berikut rumah buat mereka yang bertugas di pos-pos itu, lapangan upacara, gudang mesiu, ruang mess prajurit, prasarana listrik dan air minum, lapangan tennis dan bola volley, serta tiang bendera. Sedangkan menurut seorang wartawan Amerika, Julian Evans, PT FII juga menggaji dua orang ‘penasehat’ dari TNI (Leith 2000: 330). Ironisnya, walaupun sudah dijamin dengan begitu berlimpah, satuan-satuan yang bertugas di kawasan kontrak karya masih tetap memelihara sekian banyak bisnis sampingan, mulai dari monopoli terhadap bisnis seks di Timika, pendulangan emas di anak-anak Sungai Ajkwa, menyelenggarakan pasar gelap, dan setiap bulan memeras desa-desa pada saat mereka menerima sumbangan PT FII dari satu persen keuntungan perusahaan itu (Leith 2000: 322).
Untuk mempertahankan biaya proteksi yang tinggi, kesan kerawanan Tanah Papua harus tetap dipertahankan. Dalam hal ini, pergeseran prakarsa perjuangan kemerdekaan Tanah Papua dari Kelly Kwalik yang merupakan ‘panglima’ Tepenal setempat ke Dewan Presidium Papua, merupakan hal yang merugikan fihak tentara. Sebab dengan pergeseran taktik dari perjuangan bersenjata, dengan sewaktu-waktu menculik orang asing yang masuk ke hutan, ke demonstrasi dan pawai-pawai damai di kota, di mana tidak ada orang asing yang terbunuh, merusak citra ‘daerah rawan’ itu. Belum lagi, pergeseran tugas pengamanan dari fihak tentara ke polisi.
Seperti tulis Georg Elwert (1999: 45):
A particular cost-effective form of mobilising troops is to create fear. Hence, propaganda acts as an important instrument of production. From an economic perspective, this can give a point to what would otherwise be pointless violence. The fear of retaliation by the victims leaves no option open but to join an army or support it for one’s own protection. Fear of revenge stabilises the system.
KESIMPULAN DAN SARAN-SARAN
Apabila benar ulasan di atas, bahwa di balik pembunuhan Theys Hiyo Eluay – ataupun pembunuhan Arnold Clemens Ap, 16 tahun sebelumnya (lihat Aditjondro 2000: 138-56) – adalah usaha mempertahankan, dan kalau bisa, memperluas, bisnis militer di Tanah Papua, maka pencegahan berulangnya pembunuhan politik semacam ini, memerlukan penyelesaian yang lebih menyeluruh, dan tidak hanya yuridis formal.
Pertama-tama, hendaknya rakyat Indonesia menolak untuk terus menerus dibebani dengan biaya militerisasi terselubung, yakni bisnis militer yang menggantungkan diri pada sarana umum serta peluru dan senjata, yang juga dibeli dari uang rakyat.
Kedua, dwifungsi militer yang masih tetap digunakan untuk membenarkan campur tangan militer dari semua gejolak sosial di Indonesia – termasuk yang dipicu dan dipacu oleh militer sendiri – sudah harus dihapus secara tuntas, sementara polisi dan aparat pemerintahan sipil dibekali dengan kemampuan menyelesaikan konflik secara damai, lewat kotak suara dan bukan kotak peluru.
Semua bentuk bisnis institusional maupun non-institusional yang melibatkan satuan dan ‘oknum’ militer dan purnawirawan militer dan polisi, harus didorong agar bersaing secara normal di pasar, tanpa mengandalkan berbagai kemudahan, dan yang tidak mampu bersaing, sebaiknya ditutup saja.
Jumlah personil tentara kita, yang hanya mampu dibiayai seperempat pengeluarannya dari APBN, yang mendorong menjamurnya berbagai bisnis militer itu, sudah saatnya dirasionalisasi berdasarkan kriteria profesionalisme yang ketat, di mana hanya mereka yang sanggup dan punya integritas tinggi dipertahankan, sementara yang lain dipersiapkan untuk kembali ke tengah-tengah masyarakat sebagai warganegara biasa.
Khusus menanggapi pembunuhan politik Theys Hiyo Eluay, sudah saatnya rakyat Papua mendapatkan kesempatan memperjuangkan aspirasinya lewat jalan damai, untuk tidak menambah jatuhnya korban jiwa, sambil juga menunjukkan pada dunia internasional, bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang beradab, bukan bangsa yang biadab, yang ingin mempertahankan suatu wilayah warisan kolonial, tanpa persetujuan dari rakyat yang hidup di dalam batas-batas wilayah kolonial itu.
Newcastle, 20 Maret 2002.
KEPUSTAKAAN:
Aditjondro, George J. (2000). Cahaya bintang kejora: Papua Barat dalam kajian sejarah, budaya, ekonomi, dan hak asasi manusia. Jakarta: Elsam.
--------------- (2001). “Guns, pamplets and handie-talkies: How the military exploited local ethno-religious tensions in Maluku to preserve their political and economic privileges,” Dalam Ingrid Wessel & Georgia Wimhoefer (eds). Violence in Indonesia. Hamburg: Abera, hal. 100-128.
--------------- (2002). “Korupsi kepresidenan di masa Orde Baru”. Dalam Hamid Basyaib, Richard Holloway dan Nono Anwar Makarim (peny.). Mencuri uang rakyat: 16 kajian korupsi di Indonesia. Buku 1: Dari Puncak sampai Dasar, Jakarta: Yayasan Aksara, hal. 1-56.
Elwert, Georg (1999). “Markets of violence: The violence trade and the goal rationality of violence,” Law and State, 59/60, pp. 40-58.
Iswandi (2000). Bisnis militer Orde Baru: Keterlibatan ABRI dalam bidang ekonomi dan pengaruhnya terhadap pembentukan rezim otoriter. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Leith, Denise (2000). The politics of power: Freeport in Suharto’s Indonesia. Tesis Ph.D. pada Departemen Ilmu Politik, Universitas Macquarie, Sydney.
Samego, Indriai et al (1998). Bila ABRI berbisnis. Bandung: Mizan.
Soerianegara, I. & R,H,M,J, Lemmens (eds). (1994). Plant resources of South-East Asia. No. 5(1). Timber trees: Major commercial timbers. Bogor: Prosea Foundation.
Makalah untuk Konferensi tentang ‘Kejahatan Negara di Papua Barat: Penculikan dan Pembunuhan Theys Hiyo Eluay, Wajah Kekerasan Negara di Papua (Barat), yang diselenggarakan oleh ELS-HAM Papua Barat, LBH Papua Barat dan KONTRAS Papua Barat di Jakarta, 21-22 Maret 2002.
PENDAHULUAN
MENGAPA Theys Hiyo Eluay dibunuh pada hari Sabtu malam, 10 November tahun lalu? Sebelum menjawab pertanyaan itu, mungkin kita juga perlu bertanya pada diri kita sendiri, mengapa peluncuran dan pembahasan hasil investigasi independen terhadap kematian pemimpin Presidium Dewan Papua itu harus kita lakukan di Jakarta, bukan di Tanah Papua sendiri, misalnya di Sentani, atau di Port Numbay.
Jawabannya mungkin karena para penyelenggara konferensi ini merasa, Tanah Papua sekarang semakin tidak aman untuk kegiatan kritis semacam ini. Atau mungkin juga ada anggapan, bahwa mereka yang pada instansi terakhir bertanggungjawab atas kematian ondofolo besar suku bangsa Sentani ini, berada di Jakarta. Makanya, konferensi ini sekaligus merupakan tuntutan kepada fihak penguasa, supaya tindakan hukum segera diambil terhadap para pembunuh paitua Eluay ini, tidak cuma terhadap para bawahan yang hanya bertugas menjalankan perintah, tapi juga terhadap yang memberi perintah.
Marilah kita kini kembali ke pertanyaan pembuka catatan ini: mengapa Theys dibunuh? Setelah mengkaji seluruh perkembangan gerakan kemerdekaan Papua Barat, terutama selama sepuluh tahun terakhir, saya sampai pada kesimpulan bahwa pembunuhan Ketua Presidium Dewan Papua itu adalah untuk menggemboskan sayap gerakan kemerdekaan yang berada di kota, di kampus, di gereja dan di dalam birokrasi pemerintahan, yang memperjuangkan cita-cita mereka melalui jalan damai, sehingga dengan demikian gerilya bersenjata kembali menjadi strategi perjuangan yang utama bagi para nasionalis Papua Barat.
Mengapa perjuangan kemerdekaan Papua Barat perlu dikembalikan ke rel gerilya bersenjata? Jawabannya juga sederhana: dengan demikian, Papua Barat dapat dipertahankan secara de facto sebagai daerah rawan, atau dalam ‘bahasa Aceh’-nya, ‘Daerah Operasi Militer’, sehingga dengan demikian, kekuatan-kekuatan resmi bersenjata itu dapat mempertahankan hegemoni mereka atas daerah ini, walaupun secara de jure , pemerintah pusat telah mendelegasikan wewenang – termasuk wewenang memetik pungutan yang cukup tinggi dari pengolahan sumberdaya alam di sini – kepada pemerintah daerah, khususnya, pemerintah daerah Tingkat II.
Dengan kata lain, apa yang telah diberikan oleh Jakarta kepada rakyat Papua dengan tangan kanan, ingin diambil kembali dengan tangan kiri. Dan tindakan apa lagi yang dapat mendorong para nasionalis muda di Tanah Papua untuk kembali memperkuat barisan gerilyawan OPM dengan Tepenal dan Papenalnya, kalau mereka sampai pada kesimpulan bahwa perjuangan damai tidak akan ada hasilnya, ketimbang membunuh simbol perjuangan damai itu, Theys Hiyo Eluay?
Memang, yang kita dengar setiap kali Jakarta memutuskan untuk mengirim pasukan ke daerah-daerah yang bergolak untuk melepaskan diri dari cengkeraman pemerintah pusat, adalah bahwa tugas mereka adalah untuk mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) at all cost. Itulah retorika resmi yang selalu kita dengar. Tapi di balik retorika itu adalah kepentingan bisnis militer dan polisi, yang sudah berkembang biak dengan suburnya di Indonesia, sejak dirintis oleh bekas presiden Soeharto di daerah Teritorium IV yang sekarang menjadi Kodam Diponegoro.
Pendekatan yang saya gunakan dalam makalah ini didasarkan pada pandangan bahwa di balik setiap rangkaian kekerasan selalu terselip kepentingan ekonomi. Pendekatan itu telah dikembangkan oleh antropolog Jerman, Georg Etwert dari Universitas Berlin, yang mengembangkan konsep “markets of violence “, yang barangkali dapat diterjemahkan menjadi “pasar kekerasan”. Seperti kata Elwert (1999: 41):
“by markets of violence I mean conflicts categorised as civil wars, warlord-dominated systems or banditry, where, beneath a superficial gloss of philosophical or power-political objectives or obligations to fight, ostensibly based on tradition, the economic motive of material profit dominates. Markets based on violence can come into being in areas which are open to violence – especially in the absence of a monopoly of violence.”
TIGA KAKI BISNIS MILITER DI INDONESIA
Diilhami teori ‘markets of violence ‘ tersebut, marilah kita bedah bisnis militer di Indonesia. Untuk keperluan makalah ini, saya akan menggunakan istilah “bisnis militer” saja, tapi dalam konsep itu sudah tersirat juga bisnis polisi dan berbagai kelompok paramiliter yang ikut didukung oleh aparat negara. Bisnis militer ini, bukan hanya berbentuk perusahaan-perusahaan di bawah payung, atau mengandung saham yayasan-yayasan dan koperasi-koperasi milik militer dan polisi. Gambaran yang lebih komplit tentang bisnis militer ini paling tidak punya tiga kaki. Kaki pertama adalah apa yang dinamakan oleh Indria Samego dkk dari LIPI sebagai “bisnis institusional ABRI”. Kaki kedua adalah apa yang mereka namakan sebagai “bisnis non-institusional ABRI”, yakni bisnis milik purnawirawan ABRI dan keluarga mereka, yang sudah berkembang menjadi konglomerat-konglomerat yang kuat.
Sementara kaki ketiga, yang belum banyak diteliti, adalah apa yang dapat kita sebutkan sebagai “bisnis kelabu”militer dan polisi, yang cukup luas cakupannya, mulai dari pemungutan (lebih tepat disebut, pemalakan) biaya proteksi dari perusahaan-perusahaan raksasa yang ingin dilindungi dari jarahan kelompok-kelompok perusuh bersenjata api maupun bersenjata tajam, dan punya massa yang cukup banyak untuk melakukan intimidasi, sampai dengan penjualan senjata secara ilegal, perdagangan narkoba, perdagangan pekerja seks komersial (PSK), sampai dengan perdagangan flora dan fauna langka.
Hubungan antara bisnis institusional dan non-institusional, sudah cukup jelas. Kerabat dan kroni Soeharto, sudah lama punya ‘kebiasaan’ untuk merekrut para bekas komandan TNI dan Polri ke dalam perusahaan-perusahaan mereka, dalam posisi sebagai komisaris. Sebaliknya, juga ada bekas komandan-komandan TNI dan Polri yang setelah dikaryakan ke badan-badan usaha milik negara (BUMN), ternyata punya bakat bisnis yang cukup tebal, sehingga selesai masa jabatannya di BUMN-BUMN yang dipimpinnya (baca: yang diperasnya), mereka cukup punya modal dan jaringan relasi yang cukup luas, sehingga dapat mulai membangun konglomerat milik keluarga mereka. Contoh yang cukup populer adalah almarhum Ibnu Sutowo, yang setelah diberhentikan dari Pertamina oleh Soeharto setelah skandal tanker senilai AS$ 10 milyar, berhasil membantu Nugra Santana Group bersama anak-anaknya. Atau pensiunan jenderal Bustanil Arifin dan A.R. Ramly, setelah masing-masing cukup lama memupuk modal selama memimpin Bulog dan PT Timah, dapat membangun kelompok Danitama Group mereka.
Adapun kaki ketiga, sesuai dengan namanya, yakni “bisnis kelabu”, memang belum banyak disorot, karena tidak terekam dengan jelas dalam statistik perdagangan, dan karena sebagian (besar?) sifatnya ilegal dan merupakan penyalahgunaan sarana publik. Kadang-kadang, bisnis kelabu ini dijalankan oleh perusahaan yang legal, artinya, punya badan hukum, bahkan berbentuk Perseroan Terbatas. Misalnya, dalam penelitian saya melalui CD-ROM PT Dataindo Inti Swakarsa, saya temukan bahwa Yapto Soerjosoemarno, bekas ketua Pemuda Pancasila yang bergelar Sarjana Hukum dan punya kantor pengacaranya sendiri, Yapto & Associates. Di alamat kantor pengacaranya itu, di Jalan H. Samali No. 31, Kalibata, Jakarta Selatan, ada sebuah perusahaannya yang lain, PT Mahaphala Cakti, yang memasok kebutuhan senjata bagi tentara dan polisi.
Tapi bukan bisnis senjata yang paling banyak menghasilkan uang bagi perusahaan itu. Menurut hasil investigasi saya, pemasokan ransum bagi tentara dan polisi yang bertugas di lapangan, serta pemasokan semen untuk pembangunan dan rehabilityasi asrama tentara dan polisi di seluruh Indonesia, yang ratusan jumlahnya, merupakan sumber pemasukan yang lebih besar bagi PT Mahaphala Cakti, ketimbang penjualan senjata kepada tentara dan polisi. Jadi bisa dibayangkan, setiap keputusan seorang Panglima di Jakarta – tidak perlu sampai Panglima TNI sendiri, tapi cukup Pangkostrad – untuk mengirim ratusan tentara ke sebuah daerah yang bergolak, mempertebal kocek Yapto.
Apalagi keputusan pemerintah untuk menghidupkan kembali Kodam-Kodam yang sudah pernah ditutup, seperti Kodam Iskandar Muda di Aceh dan Kodam Pattimura di Maluku, bakal ditanggapi oleh Yapto dengan mata berbinar-binar, membayangkan besarnya order yang bakal masuk untuk membangun dan meng-upgrade asrama-asrama prajurit serta kantor-kantor Kodim, Korem dan Kodam di kedua penjuru tanah air itu.
Secara sederhana, korelasi antara kerusuhan dan gejolak sosial dan bisnis militer dapat digambarkan sebagai berikut:
------------------------------------------
BISNIS
INSTITUSIONAL
------------------------------------------
____________________ ====================
STRUKTUR KERUSUHAN /
TERITORIAL ABRI GEJOLAK SOSIAL
_____________________ ======================
----------------------------------- ------------------------------------
BISNIS BISNIS
NON-INSTITUSIONAL KELABU
------------------------------------ -------------------------------------
Dari bagan di atas, dapat kita lihat bahwa simpul penghubung ketiga bentuk bisnis militer itu adalah struktur teritorial ABRI, sebab struktur teritorial itu merupakan basis pengorganisasian bisnis institusional militer, yang pada gilirannya berkaitan dengan bisnis non-institusional maupun bisnis kelabu mereka. Di lingkungan Angkatan Darat, misalnya, setiap Korem punya Primkopadnya, setiap Kodam punya Puskopadnya, dan di tingkat Pusat ada Inkopad. Beberapa Kodam, khususnya yang ada di Jawa, punya yayasannya sendiri. Begitu pula Polda-Polda, sekali lagi, terutama Polda di Jawa, di mana di samping Yayasan Brata Bhakti yang berlingkup nasional, ada juga ‘anak yayasan’, seperti Yayasan Brata Bhakti Jakarta Raya. Selanjutnya, yayasan-yayasan itu, bersama Inkopad, Inkopal, Inkopau dan Inkoppol, menjadi pemegang saham puluhan perusahaan besar. Sementara para bekas panglima ke-3 angkatan serta para bekas Kapolri dan bekas Kapolda, sering diangkat menjadi komisaris dari berbagai perusahaan milik keluarga para kapitalis birokrat dan purnawirawan ABRI, sehingga di situ kaitan antara struktur teritorial itu dengan bisnis non-institusional militer.
Ketiga kaki bisnis militer itu berkembang maju mundur, membengkak dan menyusut, mengikuti dinamika kerusuhan sosial di negeri ini. Mengapa? Sebab nyaris setiap kerusuhan atau gejolak sosial di setiap daerah di Indonesia, dianggap merupakan masalah yang harus ‘diurusi’ oleh tentara dengan cara-cara yang militeristik, dan bukan oleh polisi. Atau kalaupun di sana sini sudah mulai diurusi oleh polisi, khususnya oleh tangan militer dari polisi, yakni Brimob, cara penanganannya juga tetap militeristik, dan bukan dengan cara-cara polisi di negara-negara demokrasi liberal menangani gejolak massa, dengan se-sedikit mungkin korban jiwa. Perbedaan ini tentu saja mudah dicari akarnya dalam doktrin dwifungsi ABRI yang kini sekedar diganti namanya menjadi dwifungsi TNI. Makanya, selama Indonesia belum menghapus doktrin ini dari sistem politiknya, maka berbagai kerusuhan maupun gejolak sosial merupakan kesempatan untuk semakin membengkakkan ketiga jenis bisnis militer itu.
Model ini tidak hanya berlaku bagi daerah-daerah ‘KTT’ – kerapatan tentara tertinggi – melainkan juga bagi daerah di mana tidak ada gerakan perlawanan bersenjata, seperti DKI. Selama dua tahun lalu, ketika sektor bisnis lain terkulai, bisnis senjata justru mengalami boom. Kita masih ingat, betapa menjelang Sidang Paripurna DOR-RI, akhir April 2001, sejumlah anggota DPR hadir dengan membawa pistol. Bahkan seorang anggota DPR mempertontonkan rompi anti-pelurunya di sebuah televisi Jerman. Suasana ketakutan itu mencetak rezeki berkimpah bagi dua perusahaan, PT Armindo Prima dan PT Budimanmaju Megah, yang secara legal mendapat izin mengimpor senjata api dari AS, Inggris, Jerman, bahkan dari Brazil. Kedua importir tersebut dianggap legal setelah lulus seleksi Polda, BAIS/BIA, dan Mabes Polri (Infobank, Juni 2001: 88-89).
Apa yang membangkitkan ketakutan para wakil rakyat itu? Faktor massa pendukung Gus Dur dari Jawa Timur, yang mengancam akan berjihad ke Senayan, apabila Gus Dur digulingkan, memang ikut menimbulkan kepanikan. Tapi coba kita lihat, bagaimana eskalasi mobilisasi massa meningkat setelah jatuhnya Soeharto, dengan maraknya organisasi preman politik dengan berbagai bendera, baik bendera nasionalis maupun bendera Islam, termasuk pembentukan Lasykar Jihad yang dengan ribuan anggotanya “menyerbu” ke Maluku, kita bisa simpulkan betapa meratanya ‘penyakit Orde Baru” itu di antara semua fraksi elit politik di negara kita.
Tapi di samping itu, kita juga perlu melihat, seringnya terjadi pemboman terhadap sasaran-sasaran politik dan ekonomi, di kota metropolitan ini sendiri, yang jarang sekali terungkap aktor-aktornya, lewat jalur pengadilan yang terbuka. Bahkan sebaliknya, berkali-kali kejadian pemboman di Jakarta dikait-kaitkan dengan ulah Gerakan Aceh Merdeka (GAM), atau anggota tentara yang telah membelot ke GAM. Jarang sekali publik diingatkan, bahwa di luar perusahaan milik negara, seperti PT Dahana, ada dua perushaan milik anak-anak Soeharto, yang belum dicabut izin khususnya untuk menjual bahan peledak buatan PT Dahana, yakni PT Multi Nitroma Kimia dan PT Tridaya Esta (Aditjondro 2002: 18). Dengan demikian, kedua perusahaan ini dapat dianggap merupakan bagian dari “bisnis kelabu” militer, karena hubungannya yang erat dengan bisnis militer yang institusional.
BISNIS KELABU TENTARA DI PAPUA BARAT
Untuk keperluan makalah ini, saya sengaja tidak akan membahas kedua kaki pertama dan kedua, yakni bisnis institusional dan bisnis non-institusional, yang sudah pernah dibahas secara mendalam oleh pengarang-pengarang lain (lihat Iswandi 2000 dan Indria Samego et al 1998). Saya akan mengkhususkan diri pada “bisnis kelabu” militer yang berkecamuk di Tanah Papua. Bisnis kelabu yang paling umum yang sudah berjalan selama tiga dasawarsa di daerah ini adalah perburuan berbagai jenis satwa langka, seperti burung cenderawasih dan buaya, maupun satwa yang berlimpah ruah di beberapa tempat, seperti jenis rusa Merauke.
Secara kultural, perburuan burung cenderawasih dan rusa punya dampak yang sangat berbeda. Kebiasaan untuk menangkap hidup-hidup, atau mengawetkan burung cenderawasih, sangat melukai hati orang Papua. Sebab buat mereka,. ‘burung kuning’ – begitu istilah populer buat burung itu bagi rakyat biasa – merupakan simbol seorang kepala suku (Aditjondro 2000: 142, 208-9, 213-5).
Sebaliknya, perburuan rusa di Merauke, ikut didukung oleh rakyat setempat, baik dari kalangan penduduk asli suku Marind dan Kanum, maupun transmigran dari Jawa. Bukan hanya karena rusa Merauke bukanlah satwa asli daerah itu, melainkan turunan dari rusa Timor (Cervus Timorienses ) yang diperkenalkan oleh Belanda dan telah beradaptasi dengan lingkungan sabana Merauke, melainkan karena itu menambah persediaan protein hewani mereka juga, dan punya konsumen yang luas karena baik penduduk yang beragama Kristen maupun yang Muslim tidak mengharamkan daging rusa. Bahkan sebuah industri dendeng rusa telah berkembang di daerah transmigrasi di Merauke. Itu sebabnya, banyak orang setempat mau melakukan bagi hasil dengan petugas polisi setempat yang senapannya mereka sewa (Aditjondro 2000: 78-9, 220).
Cuma harus diingat bahwa formalin yang dipakai untuk mengawetkan ribuan burung cenderawasih yang sudah diterbangkan ke luar dari Tanah Papua, telah dibeli dari uang pajak rakyat. Begitu pula peluru yang telah dihambur-hamburkan dalam perburuan rusa di sabana Merauke. Dengan kata lain, rakyat luaslah yang mengsubsidi perburuan satwa oleh tentara, polisi, dan kakitangan mereka di Tanah Papua. Belum lagi avtur pesawat Hercules serta bensin untuk jip tentara, ketika beberapa petinggi ABRI khusus terbang dari Biak ke Merauke, lengkap dengan senjata berburunya, dengan menggunakan jip ABRI yang diterbangkan dengan Hercules itu.
Satu aspek yang negatif pula dari pengurasan sumberdaya alam yang melibatkan satuan tentara di Tanah Papua, adalah kecenderungan satuan dari luar itu untuk menjadi pelindung, sekaligus berkolusi, dengan penebang hutan yang sedaerah asal dengan mereka. Itulah yang saya amati di daerah Arso, Kabupaten Jayapura, di tahun 1980-an, ketika satuan tentara dari Kodam Hasanuddin waktu itu menjadi pelindung untuk penebangan hutan secara liar oleh para perantau dari Sulawesi Selatan. Sampai-sampai begitu kurang ajarnya para ‘anjing penjaga’ para penebang liar itu, sehingga mereka berani memukul Kepala Dinas Kehutanan Papua Barat waktu itu, yang memergoki penebangan liar itu dan menegur mereka (Aditjondro 2000: 202).
Namun satu bisnis baru yang mulai berjalan sejak akhir dasawarsa 1990-an, yang punya dampak sosial yang jauh lebih dahsyat negatifnya ditinjau dari kelestarian orang Papua sendiri, adalah pengumpulan kayu gaharu (Gonystylus spp.), sejenis kayu yang keharumannya setingkat di bawah kayu cendana (ingat pepatah Melayu: sudah gaharu, cendana pula; sudah tahu, bertanya pula?). Dan memang, setelah pohon cendana di Timor hampir punah, banyak pedagang di luar negeri beralih ke kayu gaharu, untuk bahan hio, maupun cenderamata. Ekspornya sampai ke Singapura, Korea, Tiongkok, bahkan sampai ke Arab Saudi (Leith 2000: 317; Soerianegara & Lemmens 1994: 222).
Pengerahan rakyat untuk mengumpulkan kayu gaharu, telah dilakukan oleh tentara praktis di seluruh Tanah Papua. Di daerah kontrak karya pertambangan PT Freeport Indonesia, Inc., penebangan pohon gaharu praktis sudah terhenti, karena sudah hampir punah. Tapi di samping dampak ekologisnya, yang masih harus diteliti, pembabatan kayu gaharu di Papua Barat ada korelasinya dengan meluasnya prevalensi HIV/AIDS di Tanah Papua.
Soalnya, untuk membujuk rakyat Papua untuk menebangi kayu gaharu mereka, berbagai kesatuan tentara ikut mensponsori ‘transmigrasi’ pekerja seks dari Jawa ke Tanah Papua. Selanjutnya, para pedagang pengumpul kayu gaharu masuk ke pedalaman Kabupaten Merauke, membawa serta pekerja seks dari kota Merauke. Para pekerja seks itu bekerjasama dengan pedagang, membujuk rayu para kepala suku untuk berhubungan intim dengan mereka, dengan bayaran kayu gaharu itu. Kualitas kayu gaharu yang disetor, menjadi ukuran lamanya pelayanan seks yang dapat diperoleh dari laki-laki penyetor kayu gaharu itu. Satu kg gaharu berkualitas tinggi, misalnya, jenis ‘mata kucing’, membuat laki-laki penyetor gaharu itu dapat berhubungan intim semalam suntuk dengan sang pekerja seks, sedangkan untuk yang berkualitas rendah, hanya diimbangi dengan pelayanan seks selama satu sampai dua jam saja.
Boleh jadi, laki-laki Papua yang mendapat pelayanan seks dari lawan jenis yang berkulit lebih terang itu, sudah puas dengan kepuasan seks yang diperolehnya. Padahal apa yang diterimanya, tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan harga Rp 500.000 sampai dengan Rp 5 juta sekilogram, yang bisa diperoleh pedagang yang mengekspor kayu harum itu ke Singapura dan pasaran lain di dunia.
Pokoknya, melalui barter kayu gaharu dengan seks itu, penyakit HIV/AIDS, yang pertama kali ditemukan di Merauke tahun 1981, akibat hubungan seks antara dua orang pekerja seks dengan empat orang nelayan Muangthai, makin hari makin merebak ke seluruh penjuru Tanah Papua. Sampai akhir Agustus 2001, tercatat secara kumulatif 702 kasus HIV dan AIDS, di mana 125 orang di antaranya telah meninggal. Dari jumlah penderita HIV/AIDS itu, sekitar 340 orang berumur 28 tahun ke bawah. Penderita HIV/AIDS itu hampir ditemukan di semua kota kabupaten dan kecamatan di Papua Barat, bahkan telah merebak di wilayah pegunungan seperti di Puncak Jaya, Paniai, dan Jayawijaya.
Buat pasukan-pasukan yang bertugas di Tanah Papua, ongkos transpor produk-produk fauna dan flora Melanesia yang langka dan mahal itu tidak menjadi masalah, sebab siapa yang berani melakukan razzia terhadap barang bawaan pasukan yang akan pulang ke kesatuan aslinya di luar Papua? Mereka dengan mudah menggunakan fasilitas pesawat Hercules TNI/AU, atau kapal-kapal ADRI, untuk kelancaran pembajakan sumber-sumber daya alam di Tanah Papua itu. Sehingga dengan demikian, genosida orang Papua berjalan seiring dengan ekosida (ecocide ) tanah tumpah darah mereka.
Berbicara soal ekosida dan dekadensi ekologi lainnya, mau tidak mau kita teringat kembali pada proses penandusan yang sedang berjalan di bagian hilir Sungai Ajkwa, karena endapan tailing (bahan buangan tambang) yang setiap hari terus mengendap di sana. Ironisnya, malapetaka ekologis itu dapat juga menjadi sumber rezeki nomplok bagi pasukan yang bertugas di sana, terutama satuan Kopassus. Merekalah yang jadi backing bagi kontraktor penebangan pohon-pohon yang mati di sepanjang hilir S. Ajkwa itu.
Bagian hilir DAS Ajkwa, khususnya di Kali Kopi, yang masih banyak ikannya, sekali lagi menjadi sumber rezeki bagi tentara dan nelayan di sana. Satuan Kopassus yang bertugas di sana, menampung ikan-ikan hasil tangkapan para nelayan. Sebaliknya, para nelayan dapat membeli bensin dari ‘kios bensin’ yang dikelola oleh satuan Kopassus yang bertugas di sana. Memang, para nelayan setempat mendapat keuntungan berupa bensin murah. Tapi di fihak lain, tentara yang merangkap sebagai pedagang bensin dan ikan itu, dengan demikian menutup peluang bisnis bagi yayasan milik suku Kamoro, yang sedang dilatih oleh PT FII untuk ikut memanfaatkan kue ekonomi setempat, melalui sumbangan satu persen dari seluruh keuntungan maskapai mancanegara itu di Tanah Papua.
Akhirnya, di bawah rubrik “Bisnis Kelabu” ini, juga perlu kita soroti biaya proteksi yang harus dibayar oleh badan-badan usaha di Tanah Papua kepada satuan-satuan tentara dan polisi yang bertugas di sana. Tentu saja, dari semua badan usaha itu, PT Freeport Indonesia-lah yang harus membayar biaya proteksi yang terbesar, dengan kehadiran personil TNI dan Polri antara 1000 dan 4000 orang (Leith 2000: 330-1), walaupun resminya hanya satu batalyon gabungan dari ketiga angkatan yang ditempatkan di kawasan kontrak karya mereka, dengan KOSTRAD menempatkan personilnya yang terbanyak di sana.
Biaya proteksi itu, ada yang bersifat rutin dan ada yang bersifat insidental, yakni apabila ada pembesar-pembesar negara berkunjung ke sana. Sekitar dua minggu lalu, ketika Pangkostrad Jenderal Ryamizard Ryacudu berkunjung ke sana, biaya pengamanan khusus sang tamu yang disodorkan ke bagian keuangan PT FII besarnya konon mencapai Rp 90 juta. Sedangkan ketika Taufiq Kiemas, suami Presiden Megawati Sukarnoputri, yang juga seorang anggota DPR/MPR berkunjung ke sana, bulan September tahun lalu, didampingi oleh 45 orang wakil rakyat, pejabat pemerintah, dan wartawan, biaya pengamanan khusus rombongan ‘tamu agung’ itu konon mencapai Rp 500 juta. Maklumlah, rombongan yang begitu besar harus dipecah menjadi beberapa regu, yang diterbangkan keliling wilayah kontrak karya PT FII, bahkan sampai ke wilayah Kabupaten Merauke, dengan helikopter-helikopter, yang sewanya per jam tinggi sekali.
Menurut catatan resmi, PT FII menganggarkan A$ 35 juta Australia setahun untuk menyediakan kendaraan bagi aparat bersenjata yang menjaga kawasan kontrak karya mereka, membangun tangsi-tangsi mereka, serta membantu membangun Pangkalan Angkatan Laut dekat kota pelabuhan Amamapare. Namun menurut dokumen pendukung gugatan Tom Beanal, Ketua LEMASA, ketika ia menggugat PT FII, perusahaan itu juga menganggarkan biaya untuk pembangunan markas tentara, pos-pos penjagaan berikut rumah buat mereka yang bertugas di pos-pos itu, lapangan upacara, gudang mesiu, ruang mess prajurit, prasarana listrik dan air minum, lapangan tennis dan bola volley, serta tiang bendera. Sedangkan menurut seorang wartawan Amerika, Julian Evans, PT FII juga menggaji dua orang ‘penasehat’ dari TNI (Leith 2000: 330). Ironisnya, walaupun sudah dijamin dengan begitu berlimpah, satuan-satuan yang bertugas di kawasan kontrak karya masih tetap memelihara sekian banyak bisnis sampingan, mulai dari monopoli terhadap bisnis seks di Timika, pendulangan emas di anak-anak Sungai Ajkwa, menyelenggarakan pasar gelap, dan setiap bulan memeras desa-desa pada saat mereka menerima sumbangan PT FII dari satu persen keuntungan perusahaan itu (Leith 2000: 322).
Untuk mempertahankan biaya proteksi yang tinggi, kesan kerawanan Tanah Papua harus tetap dipertahankan. Dalam hal ini, pergeseran prakarsa perjuangan kemerdekaan Tanah Papua dari Kelly Kwalik yang merupakan ‘panglima’ Tepenal setempat ke Dewan Presidium Papua, merupakan hal yang merugikan fihak tentara. Sebab dengan pergeseran taktik dari perjuangan bersenjata, dengan sewaktu-waktu menculik orang asing yang masuk ke hutan, ke demonstrasi dan pawai-pawai damai di kota, di mana tidak ada orang asing yang terbunuh, merusak citra ‘daerah rawan’ itu. Belum lagi, pergeseran tugas pengamanan dari fihak tentara ke polisi.
Seperti tulis Georg Elwert (1999: 45):
A particular cost-effective form of mobilising troops is to create fear. Hence, propaganda acts as an important instrument of production. From an economic perspective, this can give a point to what would otherwise be pointless violence. The fear of retaliation by the victims leaves no option open but to join an army or support it for one’s own protection. Fear of revenge stabilises the system.
KESIMPULAN DAN SARAN-SARAN
Apabila benar ulasan di atas, bahwa di balik pembunuhan Theys Hiyo Eluay – ataupun pembunuhan Arnold Clemens Ap, 16 tahun sebelumnya (lihat Aditjondro 2000: 138-56) – adalah usaha mempertahankan, dan kalau bisa, memperluas, bisnis militer di Tanah Papua, maka pencegahan berulangnya pembunuhan politik semacam ini, memerlukan penyelesaian yang lebih menyeluruh, dan tidak hanya yuridis formal.
Pertama-tama, hendaknya rakyat Indonesia menolak untuk terus menerus dibebani dengan biaya militerisasi terselubung, yakni bisnis militer yang menggantungkan diri pada sarana umum serta peluru dan senjata, yang juga dibeli dari uang rakyat.
Kedua, dwifungsi militer yang masih tetap digunakan untuk membenarkan campur tangan militer dari semua gejolak sosial di Indonesia – termasuk yang dipicu dan dipacu oleh militer sendiri – sudah harus dihapus secara tuntas, sementara polisi dan aparat pemerintahan sipil dibekali dengan kemampuan menyelesaikan konflik secara damai, lewat kotak suara dan bukan kotak peluru.
Semua bentuk bisnis institusional maupun non-institusional yang melibatkan satuan dan ‘oknum’ militer dan purnawirawan militer dan polisi, harus didorong agar bersaing secara normal di pasar, tanpa mengandalkan berbagai kemudahan, dan yang tidak mampu bersaing, sebaiknya ditutup saja.
Jumlah personil tentara kita, yang hanya mampu dibiayai seperempat pengeluarannya dari APBN, yang mendorong menjamurnya berbagai bisnis militer itu, sudah saatnya dirasionalisasi berdasarkan kriteria profesionalisme yang ketat, di mana hanya mereka yang sanggup dan punya integritas tinggi dipertahankan, sementara yang lain dipersiapkan untuk kembali ke tengah-tengah masyarakat sebagai warganegara biasa.
Khusus menanggapi pembunuhan politik Theys Hiyo Eluay, sudah saatnya rakyat Papua mendapatkan kesempatan memperjuangkan aspirasinya lewat jalan damai, untuk tidak menambah jatuhnya korban jiwa, sambil juga menunjukkan pada dunia internasional, bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang beradab, bukan bangsa yang biadab, yang ingin mempertahankan suatu wilayah warisan kolonial, tanpa persetujuan dari rakyat yang hidup di dalam batas-batas wilayah kolonial itu.
Newcastle, 20 Maret 2002.
KEPUSTAKAAN:
Aditjondro, George J. (2000). Cahaya bintang kejora: Papua Barat dalam kajian sejarah, budaya, ekonomi, dan hak asasi manusia. Jakarta: Elsam.
--------------- (2001). “Guns, pamplets and handie-talkies: How the military exploited local ethno-religious tensions in Maluku to preserve their political and economic privileges,” Dalam Ingrid Wessel & Georgia Wimhoefer (eds). Violence in Indonesia. Hamburg: Abera, hal. 100-128.
--------------- (2002). “Korupsi kepresidenan di masa Orde Baru”. Dalam Hamid Basyaib, Richard Holloway dan Nono Anwar Makarim (peny.). Mencuri uang rakyat: 16 kajian korupsi di Indonesia. Buku 1: Dari Puncak sampai Dasar, Jakarta: Yayasan Aksara, hal. 1-56.
Elwert, Georg (1999). “Markets of violence: The violence trade and the goal rationality of violence,” Law and State, 59/60, pp. 40-58.
Iswandi (2000). Bisnis militer Orde Baru: Keterlibatan ABRI dalam bidang ekonomi dan pengaruhnya terhadap pembentukan rezim otoriter. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Leith, Denise (2000). The politics of power: Freeport in Suharto’s Indonesia. Tesis Ph.D. pada Departemen Ilmu Politik, Universitas Macquarie, Sydney.
Samego, Indriai et al (1998). Bila ABRI berbisnis. Bandung: Mizan.
Soerianegara, I. & R,H,M,J, Lemmens (eds). (1994). Plant resources of South-East Asia. No. 5(1). Timber trees: Major commercial timbers. Bogor: Prosea Foundation.