Published On:Monday, 14 December 2015
Posted by Unknown
Pendidikan dan Kesadaran Nasional Papua Barat
Oleh, Longginus Pekey
“Sangat
menyakitkan hidup bersama bangsa kolonialis, tetapi saya bersyukur
dapat bersekolah dan mendapatkan pendidikan dari kolonialis, saya
semakin mengerti bahwa kaumku sedang ditindas oleh
kolonialis-imperialis, sehingga saya semakin mengerti untuk melawan kaum
kolonialis”[1]
A. Prolog
Perjuangan
menentang kolonial secara terorganisir telah digerakan oleh kelompok
terpelajar. Mengapa? Karena memang pengalaman di dunia menjadi potret
sejarah bahwa kesadaran selalu lahir sebagai proses pendidikan (Latin:
e-ducare)[2]. Melalui pendidikan orang menjadi kritis memahami persoalan
dan sadar akan ketidak adilan, kekerasan langsung maupun tidak
langsung[3] yang dilakukan oleh kaum kolonialis–imperialis.
Dengan
maksud agar tidak akan lahir kesadaran nasionalisme dikalangan penduduk
asli (terjajah), mereka (penduduk pribumi) diberi pendidikan yang
memang tidak layak secara prasarana maupun terutama melalui muatan
kurikulum yang isinya muatan politis hegemoni penjajaha/penguasa. Hal
itu dimaksudkan supaya penduduk pribumi tidak cerdas, kritis dan supaya
lebih tunduk pada penjajah, pekerja sebagai kulih penjajah mengisi
birokrasi dan perusahan-perusahan kolonial-imperialis. Sama juga seperti
halnya, kebijakan pendidian Belanda maupun Indonesia dipraktekan secara
murni dan konsekuen agar univikasi dan asimilasi dapat terjadi bagi
orang Papua. Kalau kita boleh jadikan Belanda di Indonesia bagai
pelajaran sejarah, maka disitu akan tampaklah bahwa nasionalisme
Indonesia (Jawa) pada masa politik etis telah diawali kelompok terdidik.
Saat ketika itu, walaupun praktek politik etik atau kesejahteraan,
dengan bersemboyan demi penyatuan Indonesia-Belanda (univikasi) dan
pembauran orang Indonesia-Belanda menjadi warga negara Belanda
(asimilasi)[4]. Seorang Sejarawan Indonesia Moedjanto, (2003; 35)
menuliskan mengenai politik etik bahwa “Konseptor politik “etika” yang
terkemuka, Snouck Hurgronje menghendaki agar univikasi dan asimilasi
dipraktekkan secara murni dan konsekuen. Mereka yakin, dengan politik
semacam itu Indonesia akan terikat dalam kesatuan kerajaan Belanda
secara wajar.”[5]
Bagaimana
dengan pendidikan kolonial-imperialis di Papua Barat? ataupun politik
otonomi ini, tentu saja sekolah dikelolah untuk kepentingan penjajah,
namun rakyat Papua Barat semakin menyadari dirinya sendiri sebagai
bangsa yang sedang terjajah sejak adanya kekuasaan asing di Papua Barat,
bahwa rakyat Papua Barat memiliki identitas beda dengan bangsa lain. Di
samping itu, penyandaran diri setiap kali pada identitas pribadi yang
adalah dasar perjuangan dan menyadari bentuk praktek neokolonialisme
Indonesia. Dengan begitu, kesadaran merupakan basis untuk
mentransformasikan realitas, sebagaimana Paulo Freire (profesor Brasilia
dalam ilmu pendidikan) katakan. Semangat juang menjadi kuat sebagai
akibat dari kesadaran itu sendiri. Pendidikan Belanda di Hindia Belanda
dan Papua serta pendidikan Indonesia di Papua telah melahirkan kesadaran
nasional.
B. Pendidikan Kolonial Belanda
Ketika menjajah Papua Barat, Belanda tidak banyak berperan membangun
pendidikan. Hal ini lebih banyak dikerjakan Misi dan Zending yang
melakukan pelayaan untuk kristenisasi melalu karya-karya sosialnya
gereja. Pendidikan modern pun dikenalkan oleh kedua lembaga gereja di
atas.
Sedangkan pendidikan modern ala pemerintah Belanda mulai dibangun di Papua Barat sejak tahun 1940-an. Sekitar tahun 1942 waktu itu Jepang menguasai seantero Asia (cita-cita Asia Raya) termasuk menduduki Indonesia. Papua Barat sebagai daerah yang dekat dengan kepulauan Pasifik menjadi daerah stategis Jepang untuk melawan Sekutu. Sebagai bagian dari sekutu, tugas Belanda adalah menghalau Jepang. Ketika itu, Belanda di Papua Barat kekuarangan personil untuk menghadapi Jepang dan juga termasuk untuk menangani berbagai bidang pemerintahan dan pembangunan. Untuk kepentingan dan kebutuhan itu, pada tahun 1944, Residen J.P. van Eechoud yang waktu itu terkenal dengan julukan “vader der Papoea,s” (Bapak orang Papua) mendirikan beberapa sekolah di Hollandia (Jayapura). Selain sekolah Pamong Praja di Hollandia ada juga sekolah pelayaran di Hamadi, sekolah teknik di Kotaraja Jayapura dan Abepura, sekolah Pamongpraja di Yoka. Sekolah Polisi di Base G, sekolah pertanian di Manokwari. Walaupun untuk kepentingan Belanda, namun intinya Belanda berupaya melakukan Papuanisasi[6] (menananmkan nasionalisme Papua). Dalam bulan Januari 1946, Pemerintah Belanda telah mendirikan sekolah Pamong Praja di Kota Nicca (Kampung Harapan, sekarang). Jumlah siswa yang didik 400 orang antara tahun 1944-1949.
Sedangkan pendidikan modern ala pemerintah Belanda mulai dibangun di Papua Barat sejak tahun 1940-an. Sekitar tahun 1942 waktu itu Jepang menguasai seantero Asia (cita-cita Asia Raya) termasuk menduduki Indonesia. Papua Barat sebagai daerah yang dekat dengan kepulauan Pasifik menjadi daerah stategis Jepang untuk melawan Sekutu. Sebagai bagian dari sekutu, tugas Belanda adalah menghalau Jepang. Ketika itu, Belanda di Papua Barat kekuarangan personil untuk menghadapi Jepang dan juga termasuk untuk menangani berbagai bidang pemerintahan dan pembangunan. Untuk kepentingan dan kebutuhan itu, pada tahun 1944, Residen J.P. van Eechoud yang waktu itu terkenal dengan julukan “vader der Papoea,s” (Bapak orang Papua) mendirikan beberapa sekolah di Hollandia (Jayapura). Selain sekolah Pamong Praja di Hollandia ada juga sekolah pelayaran di Hamadi, sekolah teknik di Kotaraja Jayapura dan Abepura, sekolah Pamongpraja di Yoka. Sekolah Polisi di Base G, sekolah pertanian di Manokwari. Walaupun untuk kepentingan Belanda, namun intinya Belanda berupaya melakukan Papuanisasi[6] (menananmkan nasionalisme Papua). Dalam bulan Januari 1946, Pemerintah Belanda telah mendirikan sekolah Pamong Praja di Kota Nicca (Kampung Harapan, sekarang). Jumlah siswa yang didik 400 orang antara tahun 1944-1949.
Meskipun
sekolah-sekolah ini untuk kepentingan Belanda mengesploitasi Papua.
Namun jutru telah melahirkan elit-elit politik terdidik di Papua[7] yang
bangkit menentang penjajah, menggantikan posisi dalam pemerintahan yang
dipegang oleh orang Belanda. Mereka siap mengisi jabatan-jabatan dan
lowongan pekerjaan di Papua[8]. Pemerintah Belanda mengirimkan sejumlah
mahasiswa keluar negeri; antara lain ke negara Belanda, Australia, dan
negara-negara di Pasifik. Mereka dikirim dengan tujuan untuk memperoleh
pendidikan tinggi dan kembali untuk memimpin bangsanya. Salah satu
mahasiswa yang dikirim keluar negeri (Negara Belanda) dalam rangka
Papuanisasi itu ialah Frits Kirihio[9].
Pemerintah
Belanda yang memiliki sumbangan terhadap lahirnya nasionalisme Papua
Barat terutama pada masa Residen J.P. van Eechoud. Ketika itu, karena
ada radikalisasi Indonesia, maka setiap orang yang pro-Indonesia ditahan
atau dipenjarahkan dan dibuang keluar Papua[10]. Tokoh-tokoh
nasionalisme Papua Barat saat itu antara lain adalah tokoh-tokoh yang
duduk dalam Dewan New Guinea Read, seperti Nicolas Jouwe, P. Torey,
Markus Kaisepo, Nicolas Tanggahma, Eliezer Jan Bonai dan ada yang belum
disebut di sini. Mereka adalah kelompok nasionalis terpelajar Papua[11]
yang turut memperjuangkan kemerdekaan Papua Barat lepas dari cengkraman
kolonial. Selain itu, Beberapa tokoh nasionalis Papua Barat yang telah
mendapat pendidikan Eechoud dan menjadi terkemuka dalam aktivitas
politik antara lain: Marcus dan Frans Kaisepo, Nicolaus Joue, Herman
Wajoi, Silas Papare, Albert Karubuy, Mozes Rumah inum, Baldus Mofu,
Elieser Jan Bonay, Lukas Rumkorem, Maten Iundey, Johan Ariks, Heman
Womsiwor dan Abdullah Arfan[12]. Melalui perantara mereka, rakyat Papua
Barat menyampaikan berbagai pernyataan sikap politik untuk menolak
menjadi bagian dari RI. Frans Kaisepo (almarhum), bekas gubernur Irian
Barat, pada konferensi Malino 1946 di Sulawesi Selatan, menyatakan
dengan jelas bahwa rakyatnya tidak ingin dihubungkan dengan sebuah
negara RI (Plunder in Paradise oleh Anti-Slavery Society). Johan Ariks
(alm.), tokoh populer rakyat Papua Barat pada tahun 1960-an,
menyampaikan secara tegas perlawanannya terhadap masuknya Indonesia ke
dalam Papua Barat (Plunder in Paradise oleh Anti-Slavery Society).
Angganita Menufandu (alm.) dan Stefanus Simopiaref (alm.) dari Gerakan
Koreri, Raja Ati (alm.) dari Fakfak, L.R. Jakadewa (alm.) dari
DVP-Demokratische Volkspartij, Lodewijk Mandatjan (alm.) dan Obeth
Manupapami (alm.) dari PONG-Persatuan Orang Nieuw-Guinea, Barend
Mandatjan (alm.), Ferry Awom (alm.) dari Batalyon Papua, Permenas Awom
(alm.), Jufuway (alm.), Arnold Ap (alm.), Eliezer Bonay (alm.), Adolf
Menase Suwae (alm.), Dr. Thomas Wainggai (alm.), Nicolaas Jouwe, Markus
Wonggor Kaisiepo dan lain-lainnya dengan cara masing-masing, pada saat
yang berbeda dan kadang-kadang di tempat yang berbeda memprotes adanya
penjajahan asing di Papua.
B. Pendidikan Kolonial Indonesia
Pendidikan sekolah banyak di buka Indonesia, namun pencerdasan rakyat
tidak terjadi selama tahun 1963 -1988. Sekolah yang di bangun pemerintah
Indonesia di Papua Barat sebagai tempat melalukan Indonesianisasi agar
asimilasi dan akulturasi demi memperkuat Integrasi dapat terjadi.
Sementara saat itu kondisi Indonesia ribuan rakyatnya belum cerdas. Di
Papua Barat lembaga pendidikan sekolah pemerintah Indonesia (Inpres),
bukan tempat menkecerdasan melainkan mencuci otak orang Papua Barat,
berperan sebagai lembaga untuk mensosialisasikan ideologi dan kebijakan
penguasa. Muatan kurikulum mengarahkan kepada apa yang ingin dipasarkan
oleh pihak penguasa[13], menjelaskan bahwa: ”Kita melihat Universitas
Cendrawasih yang didirikan oleh pemerintah RI pada tahun 1963 untuk
mejujudkan agenda meng-Indonesia-kan Papua. Pejabat UNTEA di Papua,
Rolls Bennet dan seorang pejabat lainnya yang diberi wewenang membidangi
pendidikan, pada awalnya keberatan karena kawatir jangan-jangan
pemerintah Indonesia memakai Universitas Cenderawasih untuk menghapus
aspirasi Papua Barat merdeka.”[14] Karena itu sekolah tidak melakukan
proses pencerdasan. Isi kurikulum dan corak pendidikan dasar disamakan
dengan propinsi lain. Hal seperti ini, sebagai bentuk hegemoni penjajah
Indonesia. Pendidikan Indonesia di Papua Barat agar memperkuat
integrasi. Pendidikan dasar dan tinggi yang dikelolah untuk mengisi
lowongan kerjaan dalam pemerintahan telah menjadi tujuan utama[15].
Ross
Garnaut dan Chris Manning bahwa Pendidikan di Papua Barat telah
berkembang dengan pesat di bawah pemerintahan Indonesia[16] Kedua
intelektual itu menggunakan data-data tertulis yang ada di Jakarta,
mereka laporkan bahwa di sekolah-sekolah dasar pada tahun 1972 terdaftar
123. 700 murid, dua kali lebih banyak dari pada tahun 1961. Misi dan
zending memiliki lembaga pendidikna yang lebih baik, dibanding
pemerintah Indonesia di Papua Barat. Ini terbukti, meskipun banyak
sekolah telah dibangun pemerintah jakarta, namun sekolah-sekolah yang
dikelolah misi lebih mononjol, dan banyak murutnya dibandingkan dengan
murid di sekolah negeri, seperti tulis Ross Garnaut dan Chris Manning,
bahwa: “Walaupun sekolah dasar negeri tumbuh dengan cepat, dalam tahun
1970 delapan puluh lima persen murid-murud masih terdaftar di
sekolah-sekolah misi. Angka ini dibandingkan dengan propinsi-propinsi
lainnya dimana kebanyakan murid sekolah dasar terdaftar di
sekolah-sekolah negeri.”[17]
Ketertarikan
masyarakat terhadap sekolah-sekolah Misi terkait erat dengan pendekatan
Misi disesuaikan dengan budaya masyarakat setempat. Dengan begitu
sangat dipercayai masyarakat dibandingkan sekolah Pemerintah Indonesia.
Lagi pula, Misi telah lama dan sudah mempengaruhi pembangun peradaban
masyarakat Papua Barat. Selain mutu dan kualitasnya lebih baik daripada
pendidikan yang dikelolah pemerintah Indonesia. Mutu dan kualitas
tertinggal, karena sarana prasarananya tidak bagus guru pun tidak
disiapkan dengan baik. Tidak seperti pendidikan di daerah kota, seperti
di Jawa dan sebagainya. Diskriminasii seperti itu nampak dalam
pelaksanaan pendidikan di Indonesia. ”Walaupun jumlah murid sekolah
dasar di daerah pedalaman di kabupaten Jayawijaya bertambah delapan kali
lipat di antara tahun 1961 dan tahun 1969, jumlah murid Jayawijaya
hanya sepertiga angka rata-rata propinsi pada tahun-tahun belakangan
ini. Dalam tahun 1969, 6.400 dari 6.600 murid yang terdaftar di
sekolah-sekolah di Jayawijaya, adalah murid sekolah dasar.”[18]
Sekolah
Inpres yang dibangun pemerintah, tidak dilengkapi guru maupun fasilitas
belajar, sehingga sekolah-sekolah itu dibiarkan begitu saja sampai
ditumbuhi ilalang karena tidak ada guru, selain guru didikan Misi.
Guru-guru pendatang bertumpuk di kota-kota melalui sogokan kepada kepala
dinas dan kepala departemen setempat[19]. Bagi mereka, pendidikan yang
sekarang di peroleh di sekolah dasar tidak bermanfaat”[20] karena tidak
mencerdaskan.
Universitas
Cenderawasih didirikan dalam tahun 1963, sebelum secara sah Indonesia
berintegrasi dengan Papua. Setelah Pepera 1969 sudah lebih dari lima
puluh prosen mahasiswa telah masuk Fakultas Hukum dan sebagian kecil
belajar di Fakultas Pertanian atau Fakultas teknik pada tahun 1970.
Universitas ini menghadapai banyak masalah seperti Universitas lainnya
di Indonesia (terutama di daerah). Mutu pendidikan tidaklah tinggi,
kurang dana, buku-buku, perlengkapan dan fasilitas-fasilitas lain[21].
Pendidikan formal Indonesia belum diintegrasikan dengan cara hidup
masyarakat di desa-desa. Pendidikan sekolah menengah, kejuruan dan
pendidikan tinggi, serta usaha-usaha berbagai departemen dan
organisasi-organisasi lainnya yang bertujuan mempersiapkan tenaga
trampil yang berguna dalam perekonomian modern kurang terkoordinatif.
Dengan begitu jelas bahwa usaha pemerintah untuk meningkakatkan
kuantitas pendidikan di Papua Barat tidak diikuti dengan peningkatan
kualitas. Ini dapat dilihat misalnya dari kurangnya tenaga pendidikan,
sehingga banyak siswa yang hanya menempu sekolah dasar. Sekolah
dikelolah untuk kepentingan menjalankan roda pemerintahan di Papua
Barat, namun karena rata-rata mayoritas masyarakat yang sekolah pada
saat itu entah disengaja atau tidak hanya mencapai sekolah dasar
sehingga banyak dari mereka hanya sebagai pekerja kasar.
Sekolah
di Papua Barat bertujuan untuk melakukan Indonesianisasi dengan cara
asimilasi dan akukturasi demi memperkuat Integrasi yang mengalami
pendidikan pada jaman awal aneksasi Papua mengemukakan mengenai
pelaksanaan pendidikan Indonesia bahwa: “RI yang banyak membuka sekolah
di tanah Papua, tetapi sebagai alat untuk mengindonesiakan orang Papua.
Jadi tujuannya itu Indonesianisasi. Lihat saja banyak orang Papua yang
sedang mengangur setelah tamat dari ratusan sekolah yang dibuka oleh
Indonesia. Lembaga pendidikannya melimpah tetapi Papuanisasi nol. Karena
sasaran pendidikannya itu ialah Indonesianisasi tadi.”[22]
Anak-anak
Papua tidak bisa belajar dengan baik dan tenang, karena operasi-operasi
militer mengancam kebebasan dan telah mengorbankan ribuan orang Papua
termasuk siswa yang belajar. Dalam kondisi penindasan seperti itu
lahirnya gerakan perlawanan menolak Indonesia di Papua Barat.
Benih-benih nasionalisme Papua Barat merembet dari para serdadu didikan
Belanda kepada mahasiswa Universitas Cenderawasih. Dengan begitu UNCEN
menjadi salah satu tempat lahirnya pejuang dan tokoh-tokoh nasionalis
orang Papua Barat. Seperti mahasiswa bernama Jakop Pray, dan juga
seorang dosen mudah Uncen Arnold Ap dan beberapa yang lain tidak
disebutkan semua di sini. Di bawah pimpinan mereka berbagai aksi
dilakukan untuk menentang NKRI. Juga demonstrasi-demonstrasi yang sering
dipicu oleh ulah para tentara dan birokrat Indonesia, yang tanpa
malu-malu mengangkut barang-barang mewah peninggalan Belanda seperti
kulkas dan mesin cuci listrik-ke tempat asal mereka.
Penulis adalah Pendidik dan Ketua di Komunitas Pendidikan Papua
--------------------------------------------
Referensi:
[1] Diary Pribadinya Longginus Pekey.
[2] Educare Asal kata dari bahasa Latin artinya mengiring keluar.
[3]
Jamil Salmi, Violence and Democratic Society, Yogyakarta: Pilar Media,
2005, hlm 32-33. Ia mengemukakan bahwa kekerasan langsung merupakan
tindakan yang menyerang fisik atau fisikologis seseorang secara
langsung. Yang termasuk dalam kategori kekerasan ini adalah semua bentuk
pembunuhan individu atau kelompok, seperti pemusnaan etnis, kejahatan
perang, pembunuhan masal dan juga semua bentuk tindakan paksa atau
brutal yang menyebabkan penderitaan fisik atau fisikologi seseorang
(penusiran paksa terhadap suatu masyarakat, penculikan, penyiksaan,
pemerkosaan dan penganiayaan, perampokan dengan pemberatan) semua
tindakan tersebut merupakan tindakan yang tidak benar yang menggangu
hak-hak asasi manusia yang paling dasar, yakni hak untuk hidup.
Kekerasan tidak langsung adalah tindakan yang membahayakan manusia,
bahkan kadang-kadang sampai ancaman kematian, tetapi tidak melibatkan
hubungan langsung antara korban dan pihak (orang, masyarakatatau
intitusi) yang bertanggung jawab atas tindakan kekerasan tersebut.
Disini terdapat dua sub kategori yang bisa dibedakan yakni kekerasan
dengan pembiaraan dan kekerasan yang termediasi
[4]
G. Moedjanto, Dari Pembentukan PAX NEDERNALNDICA sampai NEGARA KESATUAN
REPOBLIK INDONESIA. Yogyakarta : Universitas Sanata Dharma. 2003, hlm.
36
[5] Ibid. G. Moedjanto, 2003, hlm. 35
[6]
Benny Giay, Menuju Papua Baru: Beberapa Pokok Pikiran Seputar
Emansipasi Orang Papua, Jayapura Elsham Papua. 2000. hlm. 84-85.
[7] Jopari. Pemberontakan Organisasi Papua Merdeka. 1993, hal. 30
[8]
Agus Alua, Papua Barat : Dari Pangkuan ke Pangkuan. Jayapura:
Sekertariat Tim 100. 2000, hlm. 21. (Baca juga Giya, 2000: 85-86)
[9] Jhon Djopari.Pemberontakan Organisasi Papua Merdeka. 1993, hlm. 48 (baca juga Beny Giay, 2000: 86)
[10] Jopari. Op.cit. 1993, hlm 30,
[11] Syamsuddin Haris dkk. Indonesia di Ambang Perpecahan. Jakarta:Erlangga, hal. 185
[12] Jopari Op.cit, sumber asli dari Ernest, Urecht, Papoeas in Opstand, Uitgeverij Ordeman, Roterdam, 1978, hlm 43-46.
[13] Beny Guay (2001; 97)
[14] Beny Giay. Op,cit. 2001, hlm. 97, (baca juga Poerbakawattja, R.S. 1977;. 20)
[15] Ross Garnaut dan Chiris Manning. Perubahan Sosial Ekonomi Irian. 1979, hlm 35.
[16]
Ibid. Ross Garnaut dan Chiris Manning. 1979, hlm 34. Dua ilmuan dan
peneliti di Papua Barat kurang lebih satu tahun dua bulan, mengenai
pendidikan dan meberikan komentar atas pelaksanaan pendidikan Indonesia
di Papua Barat,
[17] Ibid. Ross Garnaut dan Chiris Manning. 1979, hlm 34.
[18] Ibid, Ross Garnaut dan Chiris Manning. 1979, hlm 34-35
[19] Frits Ramandey,. 2005, hlm. 124
[20] Ibid, Ross Garnaut dan Chiris Manning, 1979, hlm 35-36.
[21] Ross Garnaut dan Chiris Manning, Op.cit. 1999, hlm. 40
[22] Beny Giay. Op,cit. 2001, hlm 85
Catatan:
Artikel ini dipublikasikan di majalahselangkah.com
pada tahun 2013 (tanggalnya tidak disebutkan dikarenakan websitenya
untuk sementara belum bisa terbuka). Saya merasa artikel ini penting
untuk dibaca oleh para mahasiswa, masyarakat dan pelajar Papua dimana
saja berada.