Published On:Friday, 26 September 2014
Posted by Unknown
Opini : Demokrasi di Tanah PAPUA: ”Dalam Bayang-Bayang Imperialisme Ekonomi”
Alfrid Tiwaiwode Dumupa |
Era
Dekolonisasi penjajahan mutahir negara-negara besar dan makmur atas
wilayah lainnya dalam bentuk invansi kekuasaan dengan tujuan menguasai
wilayah tersebut. Pecahnya Perang dunia ke I & II tak lain adalah
pendudukan sistem dan ekonomi terhadap wilayah jajahan yang dianggap
perlu untuk memasifkan tatanan ekonomi sebagai ladang penghisapan.
Bentuk pendudukan terhadap suatu wilayah oleh penjajah dilakukan dengan berbagai cara, baik invansi dengan kekerasan senjata, doktrin ideologis serta program-program berupa bantuan ataupun pinjaman.
Papua Barat dalam dekade dekolonisasi di tandai dengan semboyan GOLD, GOSPEL dan GLORI”Emas-Agama-Kejayaan” di kumandangkan oleh Ottow dan Geisler, dua orang berketurunan jerman dan perancis tiba di pulau Mansinam-Manokwari 1885. Setelah sebelumnya penjajakan dilakukan oleh bangsa Cina yang bermaksud mencari rempah-rempah (kebutuhan dagang).
Ketika Indonesia berhasil menaklukan penjajah Belanda, benteng pertahahan Belanda kemudian beralih menguasai wilayah Papua Barat, dengan sistem pemerintahan yang dipimpin oleh seorang Gubernur, berbeda dengan wilayah Hindia Belanda termasuk Nusantara hari ini. Melalui berbagai perundingan antara Belanda dan Indonesia memunculkan petikan-petikan kesepakatan yang isinya beragam, atau masing-masing pihak belum final menyepakati siapakah yang berhak atas Papua Barat.
Satu-satunya jalan terbaik bagi penguasaan wilayah Papua adalah selain menggunakan cara-cara konfoi pasukan tempur, diplomasi kepentingan politik maupun ekonomi sebagai senjata mematikan. Sebelum sengketa wilayah kekuasaan Indonesia dan Belanda atas Papua Barat, seorang ahli biologi Asal Lousiana-Amerika Menemukan cadangan Emas terbesar di Dunia yang sekarang di kenala Freeport Tembaga Pura.
Ekonomi dan Politik Freeport
Celah untuk mengoperasikan cadangan emas tersebut belum bisa dilaksanakan, karena Papua berstatus daerah dekolonisasi ( wilayah tak berpemerintahan). Amerika Serikat mengintervensi perundingan RI-Belanda dengan mendorong agenya di PBB untuk mendesak Belanda Mundur dari Papua Barat, sebab pandangan USA saat itu bahwa Sukarno bisa di pengaruhi untuk kepentingan Investasi. Nyatanya Presiden Sukarno kemudian menerapkan Nasionalisasi Aset-Aset Asing demi kedaulatan Ekonomi rakyat Indonesia.
Upaya ilegal untuk menghantam rezim Sukarno, pemerintahan Amerika mengirimkan pasukan CIA secara terselubung dalam bentuk Jaringan Terorganisir CIA di Indonesia. Melalui kerja-kerja bawah tanah agen CIA di Indonesia lahirlah peristiwa GESTAPU (Gerakan Tigapuluh September/G30-S). Sukarno pun lengser secara tak bermartabat, walaupun berhasil mengkleim Papua Barat sebagai wilayah Nusantara dengan stigma wilayah Hindia Belanda, dimana Papua tak termasuk pemerintahan Hindia Belanda karena di dipegang oleh seorang Gubernur New Guinea.
Awalnya embrio kapitalisme ditandai dengan kedatangan para penjelajah dunia maupun para ilmuwan yang juga menyamar sebagai orang agamais. Sejak itulah berbagai komunitas bangsa terjajah menyaksikan gelombang orang-orang eropa dari jenis yang berbeda-beda; Belanda, Portugis, Inggris dan Perancis yang semuanya mempunyai pengaruh politik atas suatu daerah yang didatangi. Disetiap tempat dimana orang-orang seperti Colombus (benua Amerika), Ottow-Geisler (Pulau Mansinam) Papua Barat, tiba-tiba banyak bermunculan personil militer, tambang-tambang raksasa, administrator imperial, pendeta, penjelajah, misionaris, pejabat colonial, seniman, pengusaha dan pemukiman pendatang (Transmigran). Yang menetapkan satuan penghancur dan meninggalkan luka permanent pada komunitas wilayah dimana mereka berada, kemudian peralihan mulai nampak. Imperialisme itu benar-benar nampak jargonnya.
Reaksi investasi kepentingan Amerika atas Indonesia, melalui Suharto kemudian lahirlah Undang-Undang Penanaman Modal Asing (UUPMA) pertama tahun 1967. Rezim Suharto kemudian melunakan pengerukan kekayaan Indonesia oleh investor Asing di tandai dengan penandatangan Kontrak Karya pertama Freeport oleh Suharto dengan pihak AS dalam status Papua Barat masih di perbincangkan yaitu adanya jajak pendapat yang di kenal dengan sebutan Penentuan Pendapat Rakyat Papua (PEPERA) akan dilaksanakan pada tahun 1969 sebagai titik final atas perseteruan perebutan Papua selama masa perundingan.
Bertepatan dengan pengesahan UUPMA, PT. Freeport Mc Morant Cooper & Gold yang berpusat di NewOrleans Amerika Serikat, memualai pengerukannya dengan dukungan perusahaan Inggris bernama Rio Tinto. Keduanya menyuplai Emas, Tembaga, Batu Bara dan Merkuri pada tahun 1968 sampai sekarang.
.
Di ketinggian 4200 m di tanah Papua, Freeport McMoran (FM), perusahaan induk PT. Freeport Indonesia mengangkangi tambang emas terbesar di dunia dengan cadangan terukur kurang lebih 3046 ton emas, 31 juta ton tembaga, dan 10 ribu ton lebih perak tersisa di pegunungan Papua. Berdasarkan perhitungan kasar, cadangan ini diperkirakan masih akan bisa dikeruk hingga 34 tahun mendatang.
Menurut catatan departemen Energi dan Sumber Daya mineral, sejak 1991 hingga tahun 2002, PT Freeport memproduksi total 6.6 juta ton tembaga, 706 ton emas, dan 1.3 juta ton perak. Dari sumber data yang sama, produksi emas, tembaga, dan perak Freeport selama 11 tahun setara dengan 8 milyar US $. Sementara perhitungan kasar produksi tembaga dan emas pada tahun 2004 dari lubang Grasberg setara dengan 1.5 milyar US$. Berdasarkan laporan pemegang saham tahun 2005, nilai investasi FM (Freeport Mc Morant) di Indonesia mencapai 2 bilyun dollar.
Freeport merupakan perusahaan emas penting di Amerika karena merupakan penyumbang emas nomor 2 kepada industri emas di Amerika Serikat setelah Newmont. Pemasukan yang diperoleh Freeport McMoran dari PT Freeport Indonesia, dan PT. Indocopper Investama (keduanya merupakan perusahaan yang beroperasi di Pegunungan Tengah Papua) mencapai 380 juta dollar (hampir 3.8 trilyun) lebih untuk tahun 2004 saja. Keuntungan tahunan ini tentu jauh lebih kecil pendapatan selama 37 tahun Freeport beroperasi di Indonesia.
Kontrol atas penanaman modal dan pasar adalah imperialisme, kolonialisme memudahkan ekspansi imperialisme dengan memastikan suatu kendali total bagi sang control. Tentu saja apa pun yang dikehendaki imperial diteruskan oleh colonial itu sendiri.
Keterlibatan PT. Freeport-Rio Tinto dalam menyediakan fasilitas bagi pelaku Pencaplokan tanah adat, pelanggaran HAM, penghancuran tatanan adat, perusakan dan penghancuran ibu bumi, perusakan lingkungan hidup, penghancuran sendi-sendi ekonomi rakyat, dan pengingkaran eksistensi orang Amungme, adalah fakta yang dirasakan penduduk pegunungan tengah Papua, dimana operasi tambang Freeport berlangsung.
Terjadinya konspirasi antara AS dan Indonesia dengan mengorbankan rakyat Papua hanya untuk memperoleh sumber daya alam Papua, bentuk yang paling nyata Freeport.
Tidak heran jika frekuensi protes terus dilakukan rakyat Papua untuk menentang konspirasi sang colonial yang sejatinya menajalankan agenda imperialisme Amerika serikat di Papua, yang rakyat Papua rasakan. Bahkan patut diduga, salah satu kontributor menguatnya tuntutan merdeka rakyat Papua dari Republik Indonesia adalah akumulasi kemarahan rakyat Papua terhadap aneksasi Papua Barat kedalam Republik Indonesia atas kepentingan kehadiran ekspansi baru serta sokongan yang diberikan pemerintah dan militer terhadap perusahaan itu.
Dalam nota keuangan tahunannya kepada pemegang saham, selama 3 tahun hingga tahun 2004, total pengasihan PT. Freeport kepada Republik Indonesia hanya kurang lebih dari 10-13 % pendapatan bersih di luar pajak atau paling banyak sebesar 46 juta dollar (460 milyar rupiah). Demikian Freeport juga mengklaim dirinya sebagai penyumbang pajak terbesar di Indonesia yang tidak jelas berapa jumlahnya. Menurut dugaan, pajak yang disumbang PT. Freeport Indonesia mencapai 2 trilyun rupiah (kurang dari 1 % Anggaran negara). Pertanyaan yang patut dimunculkan, apakah dengan demikian Freeport menjadi demikian berharga dibanding ratusan juta pembayar pajak lainnya yang sebenarnya adalah warga yang patut dilayani negara? Atau dengan menjadi pembayar pajak terbesar, PT Freeport sebetulnya sudah 'membeli' negara dengan hanya menyumbang kurang dari 1% anggaran negara? Bagaimana dengan agregat pembayar pajak yang lain?
Ketersediaan cadangan Emas yang banyak, membuat PT. Freeport mempercepat perpanjangan konrak karya, dari kontrak karya pertama ”1967-1997” kontrak karya kedua di teken pada tahun 1991 (6 tahun sebelum massa kontrak pertama habis).
Krisis ekonomi dan Politik di Indonesia yang terjadi awal tahun 1997 berbagai gejolak sosial dan ekonomi mulai melanda negeri pertiwi ini. Posisi kontrak karya ke-II Freeport telah berada pada posisi yang aman. Adalah kejahatan atas Undang-Undang Investasi di Indonesia, Freeport seharusnya memulai kontrak karya ke 2 tahun 1997 tetapi di percepat kontrak kedua tahun 1991. Dasar Negara Adalah Aturan Rumah Tangga Negara Masing-Masing, UUD 45 yang didalamnya UU PMA dipermainkan se-enaknya oleh perusahaan Amerika bernama PT. Freeport Indonesia. Pertanyaanya adalah apakah aturan Undang-Undang Penanaman Modal Asing bagian dari UUD 45?, jika demikian proses kontrak Karya FI sesuai kah? Jelas bahwa UU PMA No. 1 Tahun 1967 tak mengijinkan investasi apapun untuk memperpendek perjanjian kontrak karya, apalagi belum jatuh tempo kontrak pertama. Apakah UU Penanaman Modal Asing dibuat sesuai aturan Undang-Undang Amerika Serikat ataukah Sesuai dengan muatan UUD 1945...
Ada-ada saja jalan mulus bagi pengerukan bumi Indonesia apalagi Papua Barat dengan stigma pembangunan Nasional lima tahun-era Suharto hingga era Otonomi Khusus dalam ranah semboyan Reformasi. Perubahan sedikit tatanan demokrasi di Indonesia memulai evaluasi tersendiri bagi kekangan modal di Indonesia. Investasi Asing yang semena-menapun mulai goyah atas rong-rongan reformasi yang menghendaki perubahan di segala bidang. Tidak ada bedanya dengan reformasi, Jaman Orde Lama dan Orde Baru. Tak satupun sistem apalagi rezim yang bergigi terhadap ekspansi kapitalis di Indonesia untuk mengangkangi kekayaan alam...
PT. Freeport ”Sang” Penjahat Asing
Ekonomi pembangunan dan integrasi nasional adalah bungkus dari program pengayaan dan penguatan aparat keamanan dan perusahaan transnasional seperti Freeport. Hasil dari program itu adalah kemakmuran luar bisaa pihak luar, yang di sisi lain adalah juga kemiskinan luar bisaa bagi rakyat Papua dan tentu saja pemerkosaan terhadap hak-hak rakyat Papua oleh TNI sebagai alat Negara Indonesia yang difasilitasi secara utuh oleh PT.
Freeport-Rio Tinto.
Yang kehilangan adalah penduduk asli Melanesia di Papua, termasuk warga Amungme. Lahan-lahan hak ulayat adat telah dirampas dan kemakmuran rakyat disedot. Rakyat Papua sungguh tidak memiliki hak hukum, politik, dan sumber daya ekonomi atas penyingkiran itu.
Pembangunan ekonomi dan integrasi nasional telah membuat Papua seperti daerah jajahan atau pendudukan bagi aparat dan segelintir elit di Indonesia, menjadi miskin dan minoritas yang lemah di atas Tanah Papua sendiri. Setiap pengembangan pertambangan Freeport Indonesia, terjadi gangguan lebih jauh terhadap kehidupan rakyat Papua,
khususnya Amungme dan tujuh suku lainnya diseputar areal pertambangan PT.Freeport Indonesia. Contoh, pada tahun 1980, pemerintah Indonesia dan Freeport menempatkan beberapa warga Amungme di sebuah dataran rendah dan mendorong mereka melakukan budi daya tanam yang jauh dari daerah asal. Hanya beberapa tahun setelah penempatan itu, 20% dari anak-anak Amungme meninggal karena penyakit malaria. Sebabnya, sebagai penghuni dataran tinggi, mereka memiliki kerentanan terhadap penyakit yang ada di dataran rendah. Dampaknya terhadap lingkungan dan kesehatan Amungme tidak pernah dimonitor dan ditelaah.
Kanibalisme Freeport
Sumbangan Freeport terhadap bangkrutnya kondisi alam dan lingkungan juga tidak kalah besar. Menurut perhitungan WALHI pada tahun 2001, total limbah batuan yang dihasilkan PT. Freeport Indonesia mencapai 1.4 milyar ton. Masih ditambah lagi, buangan tailing ke sungai Ajkwa sebesar 536 juta ton. Total limbah batuan dan tailing PT Freeport mencapai hampir 2 milyar ton lebih. Prediksi buangan tailing dan limbah batuan hasil pengerukan cadangan terbukti hingga 10 tahun ke depan adalah 2.7 milyar ton. Sehingga untuk keseluruhan produksi di wilayah cadangan terbukti, PT FI akan membuang lebih dari 5 milyar ton limbah batuan dan tailing. Untuk menghasilkan 1 gram emas di Grasberg, yang merupakan wilayah paling produktif, dihasilkan kurang lebih 1.73 ton limbah batuan dan 650 kg tailing. Bisa dibayangkan jika Grasberg mampu menghasilkan 234 kg emas setiap hari maka akan dihasilkan kurang lebih 15 ribu ton tailing perhari, yang jika dihitung dalam waktu satu tahun mencapai lebih dari 55 juta ton tailing dari satu lokasi saja.
Penemu Benua Amerika-Cristopher Colombus dimata bangsa Maori di Selandia Baru(New Zeland) sebagai sosok paling menakutkan, tidak lain adalah bahwa penemu dianggap sebagai jalan mulus bagi masuknya cengraman kolonialisme dan imperialisme-puncak es dari kapitalisme sejati.
Tahun 1907, pemerintah kolonial Belanda mengirim seorang yang dikenal penduduk Papua waktu itu sebagai seorang misionaris yang hendak menyebarkan ajakaran Kristen, mengadakan ekspedisi ke daerah bersalju tersebut, yang dipimpin oleh Dr. H.A Lorentz, dan pada tahun 1919 daerah itu dinyatakan sebagai daerah yang dilindungi (baca: Leith 2003). Tahun 1936, ekspedisi Belanda lainnya menjelajahi pegunungan ini dari Laut Arafura, dan memberi nama Ertsberg untuk gugusan batu karang indah setinggi 180 meter yang menjulang dari padang rumput alpen Carstensz, warna biru-kehijauan menandakan perkiraan adanya kandungan tembaga berkualitas tinggi. Lebih dari 3 miliar ton tailing dan lebih dari empat miliar ton limbah batuan akan dihasilkan dari operasi PTFI sampai penutupan pada tahun 2040.
Gold-Gospel dan Glory, tri tunggal bagi penyebaran agama di Papua Barat. Melalui Ottow dan Geissler-pendatang asal jerman, keduanya berhasil menciptakan paradigma baru, kelahiran baru merambah di seantero wilayah Papua sampai hari ini, sejak 5 Februari 1885, diperingati rakyat Papua sebagai hari pekabaran injil.
Peristiwa kedatangan Bangsa Jerman tidak lain adalah bersamaan dengan praktek dekolonisasi pasca perang ideologis Timur dan Barat (Sosialisme vs Kapitalis). Perang dunia ke II, Semangat menundukan dan menguasai wilayah tak berpemerintahan gencar dilakukan negeri-negeri kuasa dunia.
Kemana Freeport membuang limbah batuan? Limbah batuan akan disimpan pada ketinggian 4200 m di sekitar grassberg. Total ketinggian limbah batuan akan mencapai lebih dari 200 meter pada tahun 2025. Sementara limbah tailing secara sengaja dan terbuka akan dibuang ke Sungai Ajkwa yang dengan tegas disebutkan sebagai wilayah penempatan tailing sebelum mengalir ke laut Arafura. Berdasarkan analisis citra LANDSAT TM tahun 2002 yang dilakukan oleh tim Walhi, tailing Freeport tersebar seluas 35,000 ha lebih di DAS Ajkwa. Tailing masih menyebar seluas 85,000 hektar di wilayah muara laut, yang jika keduanya dijumlahkan setara dengan Jabodetabek. Total sebaran tailing bahkan lebih luas dari pada luas area Blok A (Grasberg) yang saat ini sedang berproduksi. Peningkatan produksi selama 5 tahun hingga 250,000 ton bijih perhari dapat diduga memperluas sebaran tailing baik di sungai maupun muara sungai.
Biaya yang dikeluarkan Freeport untuk mengatasi persoalan lingkungan berkisar antara 60 – 70 juta dollar per tahunnya mulai dari tahun 2002. Total biaya yang telah dikeluarkan Freeport selama 3 tahun untuk urusan lingkungan sekitar 139 juta dollar atau setara dengan 6 kali lipat anggaran Kementerian Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia. Freeport tidak lagi menyebutkan Ajkwa sebagai sungai, tetapi sebagai wilayah tempatan tailing yang 'disetujui' oleh Pemerintah Republik Indonesia. Freeport bahkan menyebutkan Sungai Ajkwa sebagai sarana transportasi dan pengolahan tailing hal mana sebetulnya bertentangan dengan hukum di Indonesia.
Paramiliter Penjaga Modal”Whots Dog”
Sebagai salah satu “daerah” di Indonesia yang sangat rentan gejolak politik, Papua dapat dikatakan sebagai daerah basis penampungan militer terbesar kedua setelah Aceh dengan Darurat Sipil-nya. Secara resmi tidak dikeluarkan sebuah keputusan politik untuk menduduki Papua seperti di Aceh, namun dalam kenyataan proses represi dan pengiriman Tentara dan Polisi ke Papua merupakan program politik Jakarta yang secara berkala melakukan proses tersebut. Ada rotasi enam bulan sekali yang rutin dilakukan TNI untuk menjaga territorial Papua dari berbagai gerakan rakyat. Di Papua, berbagai rotasi stuan non-organik yang bisaa ditugaskan disana, dikenal dengan sebutan Pasukan Pengamanan (PAM) yang secara rutin ditempatkan di pos-pos perbatasan Papua – PNG, juga ditengah-tengah pemukiman rakyat Papua didaerah pedalaman, maupun dikota-kota Papua yang secara struktural telah diatur dalam mekanisme Teritorial Militer dari tingkatan Kodam, Korem, Kodim, Koramil dan sampai pada tingkatan Babinsa.
Selain itu basis penempatan TNI/Polri di Papua juga dilakukan dengan metode penjagaan “asset-aset vital seperti Multi National Cooperate” antara lain: Freeport, British Proteleum, Conoco – Philips, caltex dan Korindo Group. Hal yang sama dilakukan dengan mekanisme penempatan pasukan TNI / Polri pada Perusahaan HPH diberbagai daerah di Papua dan beberapa Perkebunan Inti Rakyat (PIR) Kelapa Sawit didaerah-daerah Papua. Hal ini juga dilakukan melalui sistim penempatan TNI/Polri secara darurat misalnya melalui pengamanan pemilu atau juga kalau ada konflik-konflik yang secara kebetulan muncul di Papua. Mekanisme penempatan pasukan TNI/Polri seperti ini yang lazim dilakukan di Papua. Hal ini dilakukan tentara dengan maksud legitimasi penempatan personilnya, juga merupakan bagian dari upaya memudahkan kampanye public TNI / Polri di Indonesia atas kebijakan-kebijakan darurat tersebut diatas dan pelanggengan bisnis militer yang melingkupi rotasi tentara ini.
Wilayah Tembaga pura Timika Papua sering terjadi baku tembak antara Korps TNI AD dengan Korps Kepolisian. Insiden mil 62/63-2003 yang menewaskan 2 warga Amerika tim POLDA Papua terjun ke lapangan untuk investigasi kemudian dihadang oleh angkatan Darat di Mil 50.
Stigma separatis kemudian berubah menjadi stigma teroris-payung hukum akibat serangan 11 september 2001. ada saja penduduk sipil Papua yang nota bene sejak dahulu dicap suharto dengan nama GPK(gerakan pengacau keamanan) khusus untuk legitimasi pengamanan aset FI. Sejalan dengan paradigma itulah 8 warga sipil ditangkap.
Pengalaman terburuk dari praktek pertambangan di manapaun-agen tambang disuburkan untuk membentengi laju produksi. Antonius Wamang yang di tuduh terlibat dalam insiden mil 62/63 Timika mengaku dalam BAP (Berkas Acara Pemeriksaannya di Mabes POLRI bahwa dua minggu sebelum penembakan ia menginap di kediaman salah seorang perwira yang juga memberinya butir peluru.
Beberapa kali kasus tembak-menemabk yang terjadi dan bukan hanya di Papua Barat. Namun kenyataanya bahwa Freeport sejak masuk di Papua Angkatan Darat terutama Kopassus menjadi pengamanan darurat bagi Freeport jika perusahaan ini terancam dengan dalih investasi negara harus di lindungi.
Mobilisasi aparat (TNI-POLRI) di Papua cukup nampak mobilitasnya. Tembagapura sebelum reformasi dan saat inipun pasukan AD lebih dominan, apalagi berkaitan dengan insiden Blokade beberapa bulan lalu. Tak ketinggalan bagi Marinir ( AL) cenderung memobilisasi korps di wilayah sorong dan Bintuni tempat BP (British Petroleum) perusahaan Inggris ini beroperasi.
Sedangkan Angkatan Udara (AU) dan Kepolisian diprediksi korps yang tak bergigih dalam penjagaan aset vital. Apakah pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono beberapa bulan silam bahwa POLRI akan menjaga perusahaan akankah tercapai dalam Peraturan Pemerintah PP yang sedang di rancang. Dimana sengketa lahan antar korps kian ketat saat ini...
Konflik masyarakat sipil di sekitar wilayah pegunungan tengah kembali merebak, Kawamki lama membara, puncak Jaya tegang, penembakan sembrono batalyon Paniai terhadap warga sipil di Jila yang tak jauh dari wilayah eksplorasi freeport-sejalan dengan merebaknya demonstrasi gerakan rakyat di Papua untuk menuntut penutupan PT. FI. Di kubu aparat terjadi pengalihan wewenang penjagaan aset, Polisis berandil menjaga freeport, kecemburuan pendapatan lahan atas biaya pengamanan semata, menjadi bisa dengan merekonstruksi pertikaian. Modal sebagai pihak yang patut di gantung atas keterlibatannya terhadap sejumlah peristiwa kekerasan di Papua. Freeport sejatinya sangat berandil bagi hegemoni militer indonesia untuk melakukan pembantaian dan penghilangan nyawa penduduk sipil tak berdosa. Kekayaan alam kami dijarah, nyawapun dijarah, benar-benar demokrasi dan HAM sebuah ilusi paradoks bagi kapitalis berwacana Amerika.
Bukti konkrit dari serbuan aparat ke wilayah-wilayah, selain menciptakan konflik juga, secara massif penyokong tunggal kejayaan paramiliter adalah Freeport. Dukungan Dana Bagi kerja-kerja operasi keamanan Freeport dalam laporan resmi tahunannya, Freeport Mc Moran menuliskan bahwa dirinya membiayai dukungan uang sejumlah 6.9 juta dollar pada tahun 2004, lalu 5.9 juta dollar tahun 2003 dan 5.6 juta dollar tahun 2002 kepada pihak keamanan resmi pemerintah Indonesia (TNI). Pernyataan Freeport McMoran dalam membiayai TNI bukan hanya dilaporkan pada tahun 2005. Hampir setiap tahun, Freeport McMoran selalu melaporkan bahwa dirinya membiayai TNI untuk melindungi keamanan. bahwa sesuai dengan kontrak karya, Pemerintah Indonesia wajib melindungi operasi PT Freeport yang merupakan objek vital. Karena alasan minimnya dana pemerintah untuk membiayai personil, PT Freeport menyediakan fasilitas kepada aparat negara untuk melindungi operasi, fasilitas, dan personil PT. Freeport Indonesia. Berikut kutipan laporan tersebut.
From the outset of PT Freeport Indonesia’s operations, the government has looked to PT Freeport Indonesia to provide logistical and infrastructure support and assistance for these necessary services because of the limited resources of the Indonesian government and the remote location of and lack of development in Papua. PT Freeport Indonesia’s financial support for the Indonesian government security institutions assigned to the operations area represents a prudent response to its requirements to protect its workforce and property, better ensuring that personnel are properly fed and lodged, and have the logistical resources to patrol PT Freeport Indonesia’s roads and secure its operating area. In addition, provision of such support and oversight is consistent with PT Freeport Indonesia’s obligations under the Contract of Work, reflects our philosophy of responsible corporate citizenship, and is in keeping with our commitment to pursue practices that will promote human rights, which include our endorsement of the joint U.S. State Department-British Foreign Office Voluntary Principles on Human Rights and Security.
Pertanyaan yang muncul adalah, apakah TNI berhak menerima uang dari perusahaan yang secara jelas disebutkan untuk menjaga keamanan perusahaan? Kedua, apakah tindakan memberi uang kepada alat negara secara langsung adalah tindakan yang benar secara hukum? Ketiga, apakah ini adalah bukti bahwa TNI di Timika bekerja untuk melindungi kepentingan PT Freeport Indonesia? Keempat, apakah ini adalah bukti keterlibatan Freeport dalam memicu terjadinya pelanggaran HAM berat di wilayah Timika seperti yang sudah terjadi selama puluhan tahun sejak Freeport mendaratkan cakarnya di Tembagapura?
Reformasi mendorong TNI masuk kandang, kepolisian berperan di perkotaan. Papua Barat tahun 80 an perjuangan orang Papua untuk memprotes Freeport tidak seperti sekarang perjuangan dilakukan di kota-kota bahkan atas pantauan media. Wilayah Timika, saat itu, masuk dalam kategori daerah merah. Mereka tidak sempat berpikir bagaimana cara memperoleh manfaat dari kehadiran perusahaan ini.
PTFI berdiri dengan kokoh dan tidak tersentuh di bawah penjagaan ABRI saat itu, menimbulkan kesan di Timika ada sebuah negara dalam negara. Lihat saja insiden Bulan Maret 2006 200 an Massa Front PEPERA PB demo selama 3 hari di depan gedung plaza 89 tempat Freeport di Jakarta berkantor dijaga ketat oleh aparat kepolisian dengan mobilisasi 800 hingga 1000 personil. Siapakah yang memberi makan personil tersebut? Polsek Setiabudi?, Polda Metro Jaya? Ataukah Negara? Mungkin juga Freeport?. Ada dugaan bahwa 3 milyar dana diberikan Freeport kepada polisi untuk menjaga keamanan plaza 89.
Peran penegakan Hukum yang kini sebagain besar cenderung dilakukan POLISI memiliki andil dalam membungkam gerak aktivitas individu maupun kelompok baik orang Papua maupun luar Papua. Studi kasus adalah penahanan 8 warga Timika oleh Polisi dengan tuduhan semena-mena terlibat dalam penembakan 2 warga AS di mil 62/63, (Baca: http://www.media-indonesia.com/berita.asp?id=88279) Penangkapan 8 warga sipil Timika tak jauh dari soal FREEPORT. Kekecewaan 10 mahasiswa Papua yang tergabung dalam BEM Papua terhadap kekejaman Freeport di Papua kemudian di lampiaskan dengan merusak gedung plaza 89. proses hukumnya ketika digelar, Freeport angkat tangan dan menyerahkannya kepada aparat polisi. Ada apa? Mengapa wakil Freeport menolak jadi saksi di pengadilan? Kejahatan Freeport di Papua lebih berat daripada perusakan gedung.
Massa rakyat Papua yang tergabung dalam Front PEPERA PB ketika melakukan aksi di Jayapura 15-16 Maret pun berakhir dengan insiden berdarah yang menewaskan 3 polisi dan satu intelejen Angkatan Udara. Sipakah yang bertanggungjawab atas insiden tersebut? Front PEPERA PB dalam tuntutannya jelas bahwa mereka menuntut Freeport di Tutup. Freeport menuai kekerasan dan nyawa! Kita terenyak karena ”perang saudara berdarah” di Universitas Cenderawasih menyebabkan empat aparat meninggal dan puluhan orang luka-luka, termasuk wartawan. Ini bukan kekerasan terakhir karena pemerintah bergeming memenuhi tuntutan rakyat Papua. Jaminan pemerintah dan ditangkapnya 50-an mahasiswa Universitas Cenderawasih (Uncen) memulihkan harga saham Freeport di New York Stock Exchange (NYSE) ke 53,22 dollar AS (17 Maret 2006), walaupun belum kembali pada posisi 53,30 dollar AS (15 Maret 2006), apalagi pada 64,31 dollar AS (1 Februari 2006). Ketika kerusuhan Abepura (16 Maret 2006), saham Freeport sempat anjlok pada posisi 52,73 dollar AS. Nasib Papua ditentukan pemilik kapital di New York! Haruskah kita mengutuk bangsa yang tak pernah belajar dari kesalahan dan mengabaikan hak-hak warga negaranya puluhan tahun demi perjanjian internasional yang tak adil dan keuntungan para pemilik kapital di NYSE? Papua termasuk provinsi termiskin di Indonesia. Simaklah, tahun 2005, 80,07 persen dari 2,3 juta penduduk Papua hidup dalam kemiskinan, walaupun Gubernur Papua JP Salossa (alm) hanya mengakui orang miskin di Papua 30-40 persen. Kalaupun cuma 40 persen, sungguh tak masuk akal kemiskinan rakyat Papua di tengah kekayaan alam melimpah ruah!
Jakarta menganggap penting melindungi Freeport dari gerakan rakyat Papua.
Jarahan Emas yang menyuburkan kemiskinan
Resensi ekonomi, menambah kesenjangan kaya dan miskin. Eksploitasi sumber daya alam berjalan bersamaan dengan penghisapan culture budaya wilayah dan bangsa yang berdaulat. Bayangkan, bagaimanapun juga-TNI AD dan POLISI yang bertugas menjaga Freeport beradu kekuatan. Benteng keutuhan NKRI seakan menjadi adu jotos demi menjadi barisan terdepan yang kokoh bagi unjuk kekuatan dihadapan sang modal raksasa. Hanya karena semata-mata berebutan untuk mendapat upah keamanan dari perusahaan Amerika tersebut; pertama, kontra intelejend terus mengolah konflik agar terjadi keos antar orang Papua sendiri. Konflik kelompok tahun 2006 Kwamki-Mimika sejatinya perseteruan sengit lantaran siapa yang menjadi barisan terepan untuk menjaga asset Amerika, tak lama setelah pemerintah mengkususkan POLRI sebagai penjaga asset Asing. Paradigma bisnis aparat menjadi kenyataan dari luapan konflik antara kelompok.
Meski di tanah leluhurnya terdapat tambang emas terbesar di dunia, orang Papua khususnya mereka yang tinggal di Mimika, Paniai, dan Puncak Jaya pada tahun 2004 hanya mendapat ranking Indeks Pembangunan Manusia ke 212 dari 300 an lebih kabupaten di Indonesia. Hampir 70 % penduduknya tidak mendapatkan akses terhadap air yang aman, dan 35.2% penduduknya tidak memiliki akses terhadap fasilitas kesehatan. Selain itu lebih dari 25% balita juga tetap memiliki potensi kurang gizi. Jumlah orang miskin di kabupaten tiga kabupaten tersebut mencapai lebih dari 50 % total penduduk. Artinya, pemerataan kesejahteraan tidak terjadi. Meskipun pengangguran terbuka rendah, tetapi secara keseluruhan pendapatan masyarakat setempat mengalami kesenjangan. Boleh jadi kesenjangan yang muncul antara para pendatang dan penduduk asli yang tidak mampu bersaing di tanahnya sendiri. Boleh jadi pula, angka prosentase yang menunjukkan kemiskinan seperti akses terhadap air bersih, kurang gizi, akses terhadap sarana kesehatan mengandung bisa rasisme. Artinya, kemiskinan dihadapi oleh penduduk asli dan bukan pendatang.
Tabbel; periodesasi dana 1% royalti Freeport kepada pemilik hak ulayat
No. Tahun Hitungan Dollar Hitungan Rupiah
1. 1996 US$ 10.810.150 Rp. 25,2 Milyar
2. 1997 US$ 12.742.915 Rp. 38,7 Milyar
3. 1998 US$ 16.625.288 Rp. 179,7 Milyar
4. 1999 US$ 21.117.015 Rp. 158 Milyar
5. 2000 US$ 13.504.330 Rp. 117,2 Milyar
6. 2001 US$ 17.317.229 Rp. 179,6 Milyar
7. 2002 US$ 18.313.298 Rp. 172,3 Milyar
8. 2003 US$ 21.841.766 Rp. 189 Milyar
9. 2004 US$ 18.041.433 Rp. 161,8 Milyar
10 2005 US$ 40.534.482 Rp. 393,8 Milyar
TOTAL US$ 190.847.906 Rp. 1,6 Triliun
Alokasi dana untuk tahun 2005 dalam bidang; Pendidikan Rp. 63,32 Milyar, Kesehatan Rp. 70,61 Milyar, Dukungan Adat Rp. 13,07 Milyar, Pengembangan Ekonomi Desa Rp. 12,18 Milyar, Sektor Agama Rp. 9, 67 Milyar, Program Khusus Rp. 5,78 Milyar, Untuk tiga Desa Rp. 35 Milyar, Manajemen dan Kapital Rp. 28.27 Milyar, Dana Abadi Rp. 26,58 Milyar.
Rapor resmi perekonomian Papua, selama bergabung dengan Indonesia, sebenarnya tidak terlalu didominasi warna merah. Tahun 1992 misalnya, laju pertumbuhan ekonomi Papua sempat menembus angka 8,62 persen. Laju pertumbuhan itu dibentuk oleh sektor pertanian 11,22 persen, perdagangan dan jasa 9,68 persen, pertambangan dan penggalian 9,76 persen, bank 8,30 persen, dan bangunan 8,75 persen. Sementara sektor lainnya di bawah 6 persen. Laju pertumbuhan terendah terjadi pada sektor pemerintahan dan hankam 3,21 persen. Demikian pula dengan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Papua. Berdasarkan harga berlaku tahun 1992, PDRB Papua mencapai Rp 3.05 triliun. Sektor pertambangan dan penggalian menyumbang sekitar Rp 1.71 triliun. Lalu diikuti sektor pertanian dan hankam, masing-masing sekitar Rp 492.14 dan Rp 282.82 miliar. Sektor yang paling kecil sumbangannya adalah sektor listrik dan air minum, sekitar Rp 13.17 miliar. Dilihat dari distribusi persentasenya, sumbangan sektor pertambangan mencapai 56,10 persen yang diikuti sektor pertanian (16,09%) dan sektor lainnya (di bawah 10%). Sedangkan, susunan struktur ekonomi Papua tiga tahun terakhir belum memperlihatkan pergeseran. Sub sektor pertambangan tampak terus meningkat, begitu juga dengan sektor perbankan. Pendapatan regional penduduk pun sebenarnya tidak terlalu jeblok. Tahun 1992, atas dasar harga konstan, mencapai Rp 701.557,39. Angka ini meningkat 5,44 persen dibanding tahun 1991, hanya Rp 665.384,34. Bahkan, tanpa memperhitungkan sektor pertambangan, pendapatan regional pada tahun 1992 mencapai Rp 445.093,69. Yang juga menunjukkan peningkatan sekitar 4,76 persen dibanding tahun sebelumnya.
Namun, betapapun “menarik” kedengarannya, data-data resmi ini lebih merupakan hitungan di atas kertas. Hitungan seperti ini lebih bersifat total. Jadi memang belum tentu mencerminkan kesejateraan per individu masyarakat. Kenyataannya, sebagian besar masyarakat Papua masih tetap “berkoteka”. Orang boleh saja berkilah: koteka bukan semata persoalan “harta”, tapi persoalan “budaya”. Tapi, bagaimanapun, orang akhirnya akan sepakat, kekayaan Papua—yang diperkirakan mampu menyumbang devisa sebesar US$ 3 miliar atau Rp 24 triliun tiap tahun (Belum Termasuk Penghasilan BP, Conoco, Corindo)—tidak sepenuhnya bisa dinikmati rakyat Papua. Buktinya? Pendapatan asli daerah yang masuk ke kas untuk tahun 1996-1997 hanya sebesar Rp 21 miliar. Sedangkan keseluruhan anggaran belanja (APBD) provinsi ke-26 Indonesia itu tidak pernah menembus angka Rp 1 triliun. Demikian pula dengan pajak industri. Jumlahnya boleh saja melimpah. Pajak Freeport, misalnya, mencapai US$ 700 juta sampai US$ 800 juta setiap tahun. Tapi apa boleh buat. Yang mengalir ke rakyat Papua tidak lebih dari 1 persen. Itu pun baru empat tahun terakhir diterima. Harta berlimpah ruah ternyata tidak mampu mengangkat kehidupan rakyat. Sebelum krisis melanda Indonesia saja, sekitar 427 ribu dari sekitar 2,3 juta (19%) penduduk berada di bawah garis kemiskinan.
Lawan! Dan Menang.
Perlawanan rakyat Papua sejak 1920-an, dimulai dengan gerakan-gerakan rakyat bersifat mesianistik disekitar kepulauan Schouten (Teluk Cendrawasih, dan skitarnya). Perlawanan ini digerakan oleh sentiment anti-Jepang yang ketika itu sedang mengkonsentrasikan pasukannya di wilayah Pasifik untuk menghantam kekuatan Sekutu (AS, ed) yang juga sedang berupaya membantu sekutu-sekutu politiknya di daerah Asia Tenggara. Jauh sebelum adanya sebuah kerangka gerakan lebih modern yang dimotori oleh kaum terpelajar di Papua, sesungguhnya telah ada gerakan-gerakan rakyat Papua yang bersifat sporadic, dilakukan diberbagai daerah di Papua.
Gerakan-gerakan sporadik di daerah kepulauan Schouten (Biak dan Serui), misalnya dilakukan karena adanya nilai-nilai budaya mesianistik didaerah-daerah ini, yaitu Gerakan Koreri dan Gerakan Kuripasai. Sebagaimana diyakini oleh rakyat didaerah ini, Koreri maupun Kuripasai adalah dua keyakinan yang memiliki akar filosofis yang sama. Spirit dari gerakan Koreri dan Kuripasai adalah spirit yang mendorong rakyat dari suku Biak dan Numfor serta suku-suku di Pulau Serui untuk melawan setiap bentuk penindasan yang dilakukan oleh kaum penjajah (gerakan Koreri dan Kuripasai melihat Belanda maupun Jepang pada waktu itu sebagai kaum terkutuk yang harus dilawan) sebab diyakini, dalam Gerakan Koreri, bahwa akan lahir messiah atau penyelamat yang akan mensejahterakan rakyat yang mengikuti anjuran-anjurannya lewat tokoh masyarakat setempat (bisa dikatakan semacam Nabi), yang dalam kepercayaan Gerakan Koreri disebut sebagai Konnor.
Dalam bebarapa literatur sejarah, Gerakan Koreri sudah dimulai sejak awal tahun 1920-an, tetapi lebih besifat local dan pada saat itu gaungnya tidak begitu terdengar kuat keluar. Secara kualitatif, Gerakan Koreri mulai membesar sejak tahun 1940-an, dimana terjadi pergeseran penguasa atas wilayah Papua (dari Belanda ke Jepang), yang mana pada proses pengalihan, seperti kita tahu, watak fasisme Jepang menyebabkan proses represi luar bisaa terhadap rakyat didaerah-daerah pesisir pantai disepanjang garis pantai Papua, terutama di garis pantai Papua bagian utara, yaitu, Biak – Serui, Nabire, Manokwari, Sorong dan sebagian garis pantai selatan Papua, yaitu kota Fakfak.
Gerakan ini membesar pada tahun 1946 dimana dua orang Konor, yaitu Angganita Manufandu dan Steve Simopairef mengorganisir perlawanan terhadap tentara Jepang di Biak. Akibat proses pengorganisirannya, terjadi bentok yang cukup besar diwilayah ini. Angganita Manufandu ditangkap dan dimasukan kedalam penjara di kota Manokwari. Gerakan Koreri ini dilanjutkan oleh Stev Simopiaref yang juga menyeberang ke Manokwari dan mengorganisir masyarakat suku Biak (migran terbesar dikota Manokwari) di Kota Manokwari untuk melakukan penyerangan terhadap barak-barak tentara Jepang. Perlawanan ini gagal. Stev ditangkap dan dipenjara di kota Manokwari megikuti jejak Angganita dan berakhirlah sudah riwayat perjuangan Koreri. Gerakan Koreri adalah merupakan cikal-bakal dari sebuah gerakan nation-state yang lebih besar dalam perjuangan Papua, sebab secara langsung, semangat gerakan Koreri itu masih terasa hingga saat ini didalam pusaran gerakan rakyat Papua.
Tonggak sejarah yang pertama adalah pencetusan berdirinya OPM di Manokwari, tanggal 26 Juli 1965. Gerakan itu merembet hampir ke seluruh daerah Kepala Burung, dan berlangsung selama dua tahun. Tokoh pemimpin kharismatis gerakan ini adalah Johan Ariks, yang waktu itu sudah berumur 75 tahun. Sedangkan tokoh-tokoh pimpinan militernya adalah dua bersaudara Mandatjan, Lodewijk dan Barends, serta dua bersaudara Awom, Ferry dan Perminas. Inti kekuatan tempur gerakan itu adalah para bekas anggota PVK, atau yang dikenal dengan sebutan Batalyon Papua. Ariks dan Mandatjan bersaudara adalah tokoh-tokoh asli dari Pegunungan Arfak di Kabupaten Manokwari, sedangkan kedua bersaudara Awom adalah migran suku Biak yang memang banyak terdapat di Manokwari. Sebelum terjun dalam pemberontakan bersenjata itu, Ariks adalah pemimpin partai politik bernama Persatuan Orang New Guinea (PONG) yang berbasis di Manokwari dan terutama beranggotakan orang-orang Arfak. Tujuan partai ini adalah mencapai kemerdekaan penuh bagi Papua Barat, tanpa sasaran tanggal tertentu (Nusa Bhakti, 1984; Osborne, 1989: 35-36).
Empat tahun sesudah pemberontakan OPM di daerah Kepala Burung dapat dipadamkan oleh pasukan-pasukan elit RPKAD di bawah komando almarhum Sarwo Edhie Wibowo, "proklamasi OPM" kedua tercetus. Peristiwa itu terjadi pada tanggal 1 Juli 1971 di suatu tempat di Desa Waris, Kabupaten Jayapura, dekat perbatasan Papua Niugini, yang dijuluki (Markas) Victoria, yang kemudian dijuluki dalam kosakata rakyat Papua Jaya, "Mavik". Pencetusnya juga berasal dari angkatan bersenjata, tapi bukan seorang bekas tentara didikan Belanda, melainkan seorang bekas bintara didikan Indonesia, Seth Jafet Rumkorem. Seperti juga Ferry Awom yang memimpin pemberontakan OPM di daerah Kepala Burung, Rumkorem juga berasal dari suku Biak. Ironisnya, ia adalah putera dari Lukas Rumkorem, seorang pejuang Merah Putih di Biak, yang di bulan Oktober 1949 menandai berdirinya Partai Indonesia Merdeka (PIM) dengan menanam pohon kasuarina di Kampung Bosnik di Biak Timur (Aditjondro, 1987: 122). Sebagai putera dari seorang pejuang Merah Putih, Seth Jafet Rumkorem tadinya menyambut kedatangan pemerintah dan tentara Indonesia dengan tangan terbuka. Ia meninggalkan pekerjaannya sebagai penata buku di kantor KLM di Biak, dan masuk TNI/AD yang memungkinkan ia mengikuti latihan kemiliteran di Cimahi, Jawa Barat, sebelum ditempatkan di Papua Jaya dengan pangkat Letnan Satu bidang Intelligence di bawah pasukan Diponegoro. Namun kekesalannya menyaksikan berbagai pelanggaran hak-hak asasi manusia menjelang Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969, mendorong ia masuk ke hutan bersama-sama para aktivis OPM dari daerah Jayapura sendiri. Sebelumnya ia sudah membina hubungan dengan kelompok OPM pimpinan Herman Womsiwor, orang sesukunya, di Negeri Belanda. Seperti kita ketahui, Pulau Biak terletak di "pintu gerbang" Teluk Cenderawasih, sedangkan Pulau Adi terletak di lepas pantai Kabupaten Fakfak, tepatnya di Teluk Kaimana. Jadi boleh dikata, Biak mewakili pulau-pulau lepas pantai di belahan utara Papua Barat, sedangkan Adi mewakili pulau-pulau lepas pantai di belahan selatan Papua Barat.
Dengan referensi kartografis itu, terbayanglah suatu negara "Papua Barat" yang tidak hanya punya kedaulatan di darat, melainkan juga di laut. Kesadaran tentang kedaulatan di laut itu, tampaknya bukan karena "rangsangan" pemerintah Indonesia. Paling tidak, bukan karena rangsangan pemerintah Orde Baru. Sebab pada tahun 1971, perdebatan tentang wawasan kepulauan di lingkup internasional, yang mencuatkan nama Mochtar Kusumaatmadja, belum mencuat ke permukaan. Pemberian konsesi kepada suatu perusahaan kongsi Indonesia-Perancis, PT Multi Transpeche, untuk menangkap ikan cakalang sampai ke perairan batas landas kontinen Indonesia di utara Pulau Biak, juga belum dimulai. Agak lain ceriteranya tentang Pulau Adi. Pada tanggal 12 Februari 1965, berarti masih di era Orde Lama, tokoh-tokoh adat, agama, wanita, pemuda dan veteran dari Kecamatan Kaimana menyatakan mendukung sepenuhnya keputusan pemerintah Indonesia untuk menutup konsesi sebuah perusahaan perkayuan Amerika, Jones & Guerrero Company, di pulau itu. Dalam pernyataan itu, mereka juga menyalahkan "pemerintah penjajah Belanda" karena mengeluarkan konsesi kepada perusahaan asing itu, walaupun rakyat setempat tidak menyetujuinya. Boleh jadi, kasus penutupan konsesi perusahaan kayu AS di Pulau Adi ikut mengasah kesadaran Rumkorem untuk dalam negara yang (ingin) didirikannya, juga memperhatikan kedaulatan atas wilayah pulau-pulau di lepas pantai. Tapi di samping faktor itu, atau bahkan barangkali yang lebih utama, adalah latar-belakang Rumkorem sebagai orang Biak yang sejak ratusan tahun lalu punya kebudayaan maritim yang sangat kuat (lihat Korwa, 1989).
Imajinasi kartografis wilayah negara merdeka yang dicita-citakan oleh para aktivis OPM, tidak terbatas pada wilayah eks propinsi New Guinea Barat di masa penjajahan Belanda.Tiga tahun sesudah proklamasi di "Markas Victoria", imajinasi itu melebar sampai meliputi wilayah negara tetangga mereka, Papua Niugini. Pada tanggal 3 Desember 1974, enam orang pegawai negeri di kota Serui, ibukota Kabupaten Yapen-Waropen, menandatangani apa yang mereka sebut "Pernyataan Rakyat Yapen-Waropen", yang isinya menghendaki persatuan bangsa Papua dari Samarai (di ujung buntut daratan Papua Niugini) sampai ke Sorong, yang "100% merdeka di luar Republik Indonesia". Sejak Februari 1975, lima di antara penandatangan petisi ditahan di Jayapura. Soalnya, salah seorang di antara penandatangan "proklamasi Sorong-Samarai" itu, Y. Ch. Merino, orang Biak yang sebelumnya adalah Kepala Kantor Bendahara Negara di Serui, pada tanggal 14 Februari 1975 kedapatan "bunuh diri" di Serui. Kabarnya dalam penggeledahan di rumahnya ditemukan uang kas negara sebanyak Rp 13 juta. Sesudah dua tahun ditahan di Jayapura, lima orang temannya yang masih hidup, di antaranya abang dari seorang alumnus FE-UKSW, diajukan ke pengadilan negeri Jayapura. Pada tanggal 9 Maret 1977, kelimanya divonis delapan tahun penjara, karena tuduhan melakukan "makar". Ketika kami bekerja di Jayapura di awal 1980-an, kami
Bentuk pendudukan terhadap suatu wilayah oleh penjajah dilakukan dengan berbagai cara, baik invansi dengan kekerasan senjata, doktrin ideologis serta program-program berupa bantuan ataupun pinjaman.
Papua Barat dalam dekade dekolonisasi di tandai dengan semboyan GOLD, GOSPEL dan GLORI”Emas-Agama-Kejayaan” di kumandangkan oleh Ottow dan Geisler, dua orang berketurunan jerman dan perancis tiba di pulau Mansinam-Manokwari 1885. Setelah sebelumnya penjajakan dilakukan oleh bangsa Cina yang bermaksud mencari rempah-rempah (kebutuhan dagang).
Ketika Indonesia berhasil menaklukan penjajah Belanda, benteng pertahahan Belanda kemudian beralih menguasai wilayah Papua Barat, dengan sistem pemerintahan yang dipimpin oleh seorang Gubernur, berbeda dengan wilayah Hindia Belanda termasuk Nusantara hari ini. Melalui berbagai perundingan antara Belanda dan Indonesia memunculkan petikan-petikan kesepakatan yang isinya beragam, atau masing-masing pihak belum final menyepakati siapakah yang berhak atas Papua Barat.
Satu-satunya jalan terbaik bagi penguasaan wilayah Papua adalah selain menggunakan cara-cara konfoi pasukan tempur, diplomasi kepentingan politik maupun ekonomi sebagai senjata mematikan. Sebelum sengketa wilayah kekuasaan Indonesia dan Belanda atas Papua Barat, seorang ahli biologi Asal Lousiana-Amerika Menemukan cadangan Emas terbesar di Dunia yang sekarang di kenala Freeport Tembaga Pura.
Ekonomi dan Politik Freeport
Celah untuk mengoperasikan cadangan emas tersebut belum bisa dilaksanakan, karena Papua berstatus daerah dekolonisasi ( wilayah tak berpemerintahan). Amerika Serikat mengintervensi perundingan RI-Belanda dengan mendorong agenya di PBB untuk mendesak Belanda Mundur dari Papua Barat, sebab pandangan USA saat itu bahwa Sukarno bisa di pengaruhi untuk kepentingan Investasi. Nyatanya Presiden Sukarno kemudian menerapkan Nasionalisasi Aset-Aset Asing demi kedaulatan Ekonomi rakyat Indonesia.
Upaya ilegal untuk menghantam rezim Sukarno, pemerintahan Amerika mengirimkan pasukan CIA secara terselubung dalam bentuk Jaringan Terorganisir CIA di Indonesia. Melalui kerja-kerja bawah tanah agen CIA di Indonesia lahirlah peristiwa GESTAPU (Gerakan Tigapuluh September/G30-S). Sukarno pun lengser secara tak bermartabat, walaupun berhasil mengkleim Papua Barat sebagai wilayah Nusantara dengan stigma wilayah Hindia Belanda, dimana Papua tak termasuk pemerintahan Hindia Belanda karena di dipegang oleh seorang Gubernur New Guinea.
Awalnya embrio kapitalisme ditandai dengan kedatangan para penjelajah dunia maupun para ilmuwan yang juga menyamar sebagai orang agamais. Sejak itulah berbagai komunitas bangsa terjajah menyaksikan gelombang orang-orang eropa dari jenis yang berbeda-beda; Belanda, Portugis, Inggris dan Perancis yang semuanya mempunyai pengaruh politik atas suatu daerah yang didatangi. Disetiap tempat dimana orang-orang seperti Colombus (benua Amerika), Ottow-Geisler (Pulau Mansinam) Papua Barat, tiba-tiba banyak bermunculan personil militer, tambang-tambang raksasa, administrator imperial, pendeta, penjelajah, misionaris, pejabat colonial, seniman, pengusaha dan pemukiman pendatang (Transmigran). Yang menetapkan satuan penghancur dan meninggalkan luka permanent pada komunitas wilayah dimana mereka berada, kemudian peralihan mulai nampak. Imperialisme itu benar-benar nampak jargonnya.
Reaksi investasi kepentingan Amerika atas Indonesia, melalui Suharto kemudian lahirlah Undang-Undang Penanaman Modal Asing (UUPMA) pertama tahun 1967. Rezim Suharto kemudian melunakan pengerukan kekayaan Indonesia oleh investor Asing di tandai dengan penandatangan Kontrak Karya pertama Freeport oleh Suharto dengan pihak AS dalam status Papua Barat masih di perbincangkan yaitu adanya jajak pendapat yang di kenal dengan sebutan Penentuan Pendapat Rakyat Papua (PEPERA) akan dilaksanakan pada tahun 1969 sebagai titik final atas perseteruan perebutan Papua selama masa perundingan.
Bertepatan dengan pengesahan UUPMA, PT. Freeport Mc Morant Cooper & Gold yang berpusat di NewOrleans Amerika Serikat, memualai pengerukannya dengan dukungan perusahaan Inggris bernama Rio Tinto. Keduanya menyuplai Emas, Tembaga, Batu Bara dan Merkuri pada tahun 1968 sampai sekarang.
.
Di ketinggian 4200 m di tanah Papua, Freeport McMoran (FM), perusahaan induk PT. Freeport Indonesia mengangkangi tambang emas terbesar di dunia dengan cadangan terukur kurang lebih 3046 ton emas, 31 juta ton tembaga, dan 10 ribu ton lebih perak tersisa di pegunungan Papua. Berdasarkan perhitungan kasar, cadangan ini diperkirakan masih akan bisa dikeruk hingga 34 tahun mendatang.
Menurut catatan departemen Energi dan Sumber Daya mineral, sejak 1991 hingga tahun 2002, PT Freeport memproduksi total 6.6 juta ton tembaga, 706 ton emas, dan 1.3 juta ton perak. Dari sumber data yang sama, produksi emas, tembaga, dan perak Freeport selama 11 tahun setara dengan 8 milyar US $. Sementara perhitungan kasar produksi tembaga dan emas pada tahun 2004 dari lubang Grasberg setara dengan 1.5 milyar US$. Berdasarkan laporan pemegang saham tahun 2005, nilai investasi FM (Freeport Mc Morant) di Indonesia mencapai 2 bilyun dollar.
Freeport merupakan perusahaan emas penting di Amerika karena merupakan penyumbang emas nomor 2 kepada industri emas di Amerika Serikat setelah Newmont. Pemasukan yang diperoleh Freeport McMoran dari PT Freeport Indonesia, dan PT. Indocopper Investama (keduanya merupakan perusahaan yang beroperasi di Pegunungan Tengah Papua) mencapai 380 juta dollar (hampir 3.8 trilyun) lebih untuk tahun 2004 saja. Keuntungan tahunan ini tentu jauh lebih kecil pendapatan selama 37 tahun Freeport beroperasi di Indonesia.
Kontrol atas penanaman modal dan pasar adalah imperialisme, kolonialisme memudahkan ekspansi imperialisme dengan memastikan suatu kendali total bagi sang control. Tentu saja apa pun yang dikehendaki imperial diteruskan oleh colonial itu sendiri.
Keterlibatan PT. Freeport-Rio Tinto dalam menyediakan fasilitas bagi pelaku Pencaplokan tanah adat, pelanggaran HAM, penghancuran tatanan adat, perusakan dan penghancuran ibu bumi, perusakan lingkungan hidup, penghancuran sendi-sendi ekonomi rakyat, dan pengingkaran eksistensi orang Amungme, adalah fakta yang dirasakan penduduk pegunungan tengah Papua, dimana operasi tambang Freeport berlangsung.
Terjadinya konspirasi antara AS dan Indonesia dengan mengorbankan rakyat Papua hanya untuk memperoleh sumber daya alam Papua, bentuk yang paling nyata Freeport.
Tidak heran jika frekuensi protes terus dilakukan rakyat Papua untuk menentang konspirasi sang colonial yang sejatinya menajalankan agenda imperialisme Amerika serikat di Papua, yang rakyat Papua rasakan. Bahkan patut diduga, salah satu kontributor menguatnya tuntutan merdeka rakyat Papua dari Republik Indonesia adalah akumulasi kemarahan rakyat Papua terhadap aneksasi Papua Barat kedalam Republik Indonesia atas kepentingan kehadiran ekspansi baru serta sokongan yang diberikan pemerintah dan militer terhadap perusahaan itu.
Dalam nota keuangan tahunannya kepada pemegang saham, selama 3 tahun hingga tahun 2004, total pengasihan PT. Freeport kepada Republik Indonesia hanya kurang lebih dari 10-13 % pendapatan bersih di luar pajak atau paling banyak sebesar 46 juta dollar (460 milyar rupiah). Demikian Freeport juga mengklaim dirinya sebagai penyumbang pajak terbesar di Indonesia yang tidak jelas berapa jumlahnya. Menurut dugaan, pajak yang disumbang PT. Freeport Indonesia mencapai 2 trilyun rupiah (kurang dari 1 % Anggaran negara). Pertanyaan yang patut dimunculkan, apakah dengan demikian Freeport menjadi demikian berharga dibanding ratusan juta pembayar pajak lainnya yang sebenarnya adalah warga yang patut dilayani negara? Atau dengan menjadi pembayar pajak terbesar, PT Freeport sebetulnya sudah 'membeli' negara dengan hanya menyumbang kurang dari 1% anggaran negara? Bagaimana dengan agregat pembayar pajak yang lain?
Ketersediaan cadangan Emas yang banyak, membuat PT. Freeport mempercepat perpanjangan konrak karya, dari kontrak karya pertama ”1967-1997” kontrak karya kedua di teken pada tahun 1991 (6 tahun sebelum massa kontrak pertama habis).
Krisis ekonomi dan Politik di Indonesia yang terjadi awal tahun 1997 berbagai gejolak sosial dan ekonomi mulai melanda negeri pertiwi ini. Posisi kontrak karya ke-II Freeport telah berada pada posisi yang aman. Adalah kejahatan atas Undang-Undang Investasi di Indonesia, Freeport seharusnya memulai kontrak karya ke 2 tahun 1997 tetapi di percepat kontrak kedua tahun 1991. Dasar Negara Adalah Aturan Rumah Tangga Negara Masing-Masing, UUD 45 yang didalamnya UU PMA dipermainkan se-enaknya oleh perusahaan Amerika bernama PT. Freeport Indonesia. Pertanyaanya adalah apakah aturan Undang-Undang Penanaman Modal Asing bagian dari UUD 45?, jika demikian proses kontrak Karya FI sesuai kah? Jelas bahwa UU PMA No. 1 Tahun 1967 tak mengijinkan investasi apapun untuk memperpendek perjanjian kontrak karya, apalagi belum jatuh tempo kontrak pertama. Apakah UU Penanaman Modal Asing dibuat sesuai aturan Undang-Undang Amerika Serikat ataukah Sesuai dengan muatan UUD 1945...
Ada-ada saja jalan mulus bagi pengerukan bumi Indonesia apalagi Papua Barat dengan stigma pembangunan Nasional lima tahun-era Suharto hingga era Otonomi Khusus dalam ranah semboyan Reformasi. Perubahan sedikit tatanan demokrasi di Indonesia memulai evaluasi tersendiri bagi kekangan modal di Indonesia. Investasi Asing yang semena-menapun mulai goyah atas rong-rongan reformasi yang menghendaki perubahan di segala bidang. Tidak ada bedanya dengan reformasi, Jaman Orde Lama dan Orde Baru. Tak satupun sistem apalagi rezim yang bergigi terhadap ekspansi kapitalis di Indonesia untuk mengangkangi kekayaan alam...
PT. Freeport ”Sang” Penjahat Asing
Ekonomi pembangunan dan integrasi nasional adalah bungkus dari program pengayaan dan penguatan aparat keamanan dan perusahaan transnasional seperti Freeport. Hasil dari program itu adalah kemakmuran luar bisaa pihak luar, yang di sisi lain adalah juga kemiskinan luar bisaa bagi rakyat Papua dan tentu saja pemerkosaan terhadap hak-hak rakyat Papua oleh TNI sebagai alat Negara Indonesia yang difasilitasi secara utuh oleh PT.
Freeport-Rio Tinto.
Yang kehilangan adalah penduduk asli Melanesia di Papua, termasuk warga Amungme. Lahan-lahan hak ulayat adat telah dirampas dan kemakmuran rakyat disedot. Rakyat Papua sungguh tidak memiliki hak hukum, politik, dan sumber daya ekonomi atas penyingkiran itu.
Pembangunan ekonomi dan integrasi nasional telah membuat Papua seperti daerah jajahan atau pendudukan bagi aparat dan segelintir elit di Indonesia, menjadi miskin dan minoritas yang lemah di atas Tanah Papua sendiri. Setiap pengembangan pertambangan Freeport Indonesia, terjadi gangguan lebih jauh terhadap kehidupan rakyat Papua,
khususnya Amungme dan tujuh suku lainnya diseputar areal pertambangan PT.Freeport Indonesia. Contoh, pada tahun 1980, pemerintah Indonesia dan Freeport menempatkan beberapa warga Amungme di sebuah dataran rendah dan mendorong mereka melakukan budi daya tanam yang jauh dari daerah asal. Hanya beberapa tahun setelah penempatan itu, 20% dari anak-anak Amungme meninggal karena penyakit malaria. Sebabnya, sebagai penghuni dataran tinggi, mereka memiliki kerentanan terhadap penyakit yang ada di dataran rendah. Dampaknya terhadap lingkungan dan kesehatan Amungme tidak pernah dimonitor dan ditelaah.
Kanibalisme Freeport
Sumbangan Freeport terhadap bangkrutnya kondisi alam dan lingkungan juga tidak kalah besar. Menurut perhitungan WALHI pada tahun 2001, total limbah batuan yang dihasilkan PT. Freeport Indonesia mencapai 1.4 milyar ton. Masih ditambah lagi, buangan tailing ke sungai Ajkwa sebesar 536 juta ton. Total limbah batuan dan tailing PT Freeport mencapai hampir 2 milyar ton lebih. Prediksi buangan tailing dan limbah batuan hasil pengerukan cadangan terbukti hingga 10 tahun ke depan adalah 2.7 milyar ton. Sehingga untuk keseluruhan produksi di wilayah cadangan terbukti, PT FI akan membuang lebih dari 5 milyar ton limbah batuan dan tailing. Untuk menghasilkan 1 gram emas di Grasberg, yang merupakan wilayah paling produktif, dihasilkan kurang lebih 1.73 ton limbah batuan dan 650 kg tailing. Bisa dibayangkan jika Grasberg mampu menghasilkan 234 kg emas setiap hari maka akan dihasilkan kurang lebih 15 ribu ton tailing perhari, yang jika dihitung dalam waktu satu tahun mencapai lebih dari 55 juta ton tailing dari satu lokasi saja.
Penemu Benua Amerika-Cristopher Colombus dimata bangsa Maori di Selandia Baru(New Zeland) sebagai sosok paling menakutkan, tidak lain adalah bahwa penemu dianggap sebagai jalan mulus bagi masuknya cengraman kolonialisme dan imperialisme-puncak es dari kapitalisme sejati.
Tahun 1907, pemerintah kolonial Belanda mengirim seorang yang dikenal penduduk Papua waktu itu sebagai seorang misionaris yang hendak menyebarkan ajakaran Kristen, mengadakan ekspedisi ke daerah bersalju tersebut, yang dipimpin oleh Dr. H.A Lorentz, dan pada tahun 1919 daerah itu dinyatakan sebagai daerah yang dilindungi (baca: Leith 2003). Tahun 1936, ekspedisi Belanda lainnya menjelajahi pegunungan ini dari Laut Arafura, dan memberi nama Ertsberg untuk gugusan batu karang indah setinggi 180 meter yang menjulang dari padang rumput alpen Carstensz, warna biru-kehijauan menandakan perkiraan adanya kandungan tembaga berkualitas tinggi. Lebih dari 3 miliar ton tailing dan lebih dari empat miliar ton limbah batuan akan dihasilkan dari operasi PTFI sampai penutupan pada tahun 2040.
Gold-Gospel dan Glory, tri tunggal bagi penyebaran agama di Papua Barat. Melalui Ottow dan Geissler-pendatang asal jerman, keduanya berhasil menciptakan paradigma baru, kelahiran baru merambah di seantero wilayah Papua sampai hari ini, sejak 5 Februari 1885, diperingati rakyat Papua sebagai hari pekabaran injil.
Peristiwa kedatangan Bangsa Jerman tidak lain adalah bersamaan dengan praktek dekolonisasi pasca perang ideologis Timur dan Barat (Sosialisme vs Kapitalis). Perang dunia ke II, Semangat menundukan dan menguasai wilayah tak berpemerintahan gencar dilakukan negeri-negeri kuasa dunia.
Kemana Freeport membuang limbah batuan? Limbah batuan akan disimpan pada ketinggian 4200 m di sekitar grassberg. Total ketinggian limbah batuan akan mencapai lebih dari 200 meter pada tahun 2025. Sementara limbah tailing secara sengaja dan terbuka akan dibuang ke Sungai Ajkwa yang dengan tegas disebutkan sebagai wilayah penempatan tailing sebelum mengalir ke laut Arafura. Berdasarkan analisis citra LANDSAT TM tahun 2002 yang dilakukan oleh tim Walhi, tailing Freeport tersebar seluas 35,000 ha lebih di DAS Ajkwa. Tailing masih menyebar seluas 85,000 hektar di wilayah muara laut, yang jika keduanya dijumlahkan setara dengan Jabodetabek. Total sebaran tailing bahkan lebih luas dari pada luas area Blok A (Grasberg) yang saat ini sedang berproduksi. Peningkatan produksi selama 5 tahun hingga 250,000 ton bijih perhari dapat diduga memperluas sebaran tailing baik di sungai maupun muara sungai.
Biaya yang dikeluarkan Freeport untuk mengatasi persoalan lingkungan berkisar antara 60 – 70 juta dollar per tahunnya mulai dari tahun 2002. Total biaya yang telah dikeluarkan Freeport selama 3 tahun untuk urusan lingkungan sekitar 139 juta dollar atau setara dengan 6 kali lipat anggaran Kementerian Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia. Freeport tidak lagi menyebutkan Ajkwa sebagai sungai, tetapi sebagai wilayah tempatan tailing yang 'disetujui' oleh Pemerintah Republik Indonesia. Freeport bahkan menyebutkan Sungai Ajkwa sebagai sarana transportasi dan pengolahan tailing hal mana sebetulnya bertentangan dengan hukum di Indonesia.
Paramiliter Penjaga Modal”Whots Dog”
Sebagai salah satu “daerah” di Indonesia yang sangat rentan gejolak politik, Papua dapat dikatakan sebagai daerah basis penampungan militer terbesar kedua setelah Aceh dengan Darurat Sipil-nya. Secara resmi tidak dikeluarkan sebuah keputusan politik untuk menduduki Papua seperti di Aceh, namun dalam kenyataan proses represi dan pengiriman Tentara dan Polisi ke Papua merupakan program politik Jakarta yang secara berkala melakukan proses tersebut. Ada rotasi enam bulan sekali yang rutin dilakukan TNI untuk menjaga territorial Papua dari berbagai gerakan rakyat. Di Papua, berbagai rotasi stuan non-organik yang bisaa ditugaskan disana, dikenal dengan sebutan Pasukan Pengamanan (PAM) yang secara rutin ditempatkan di pos-pos perbatasan Papua – PNG, juga ditengah-tengah pemukiman rakyat Papua didaerah pedalaman, maupun dikota-kota Papua yang secara struktural telah diatur dalam mekanisme Teritorial Militer dari tingkatan Kodam, Korem, Kodim, Koramil dan sampai pada tingkatan Babinsa.
Selain itu basis penempatan TNI/Polri di Papua juga dilakukan dengan metode penjagaan “asset-aset vital seperti Multi National Cooperate” antara lain: Freeport, British Proteleum, Conoco – Philips, caltex dan Korindo Group. Hal yang sama dilakukan dengan mekanisme penempatan pasukan TNI / Polri pada Perusahaan HPH diberbagai daerah di Papua dan beberapa Perkebunan Inti Rakyat (PIR) Kelapa Sawit didaerah-daerah Papua. Hal ini juga dilakukan melalui sistim penempatan TNI/Polri secara darurat misalnya melalui pengamanan pemilu atau juga kalau ada konflik-konflik yang secara kebetulan muncul di Papua. Mekanisme penempatan pasukan TNI/Polri seperti ini yang lazim dilakukan di Papua. Hal ini dilakukan tentara dengan maksud legitimasi penempatan personilnya, juga merupakan bagian dari upaya memudahkan kampanye public TNI / Polri di Indonesia atas kebijakan-kebijakan darurat tersebut diatas dan pelanggengan bisnis militer yang melingkupi rotasi tentara ini.
Wilayah Tembaga pura Timika Papua sering terjadi baku tembak antara Korps TNI AD dengan Korps Kepolisian. Insiden mil 62/63-2003 yang menewaskan 2 warga Amerika tim POLDA Papua terjun ke lapangan untuk investigasi kemudian dihadang oleh angkatan Darat di Mil 50.
Stigma separatis kemudian berubah menjadi stigma teroris-payung hukum akibat serangan 11 september 2001. ada saja penduduk sipil Papua yang nota bene sejak dahulu dicap suharto dengan nama GPK(gerakan pengacau keamanan) khusus untuk legitimasi pengamanan aset FI. Sejalan dengan paradigma itulah 8 warga sipil ditangkap.
Pengalaman terburuk dari praktek pertambangan di manapaun-agen tambang disuburkan untuk membentengi laju produksi. Antonius Wamang yang di tuduh terlibat dalam insiden mil 62/63 Timika mengaku dalam BAP (Berkas Acara Pemeriksaannya di Mabes POLRI bahwa dua minggu sebelum penembakan ia menginap di kediaman salah seorang perwira yang juga memberinya butir peluru.
Beberapa kali kasus tembak-menemabk yang terjadi dan bukan hanya di Papua Barat. Namun kenyataanya bahwa Freeport sejak masuk di Papua Angkatan Darat terutama Kopassus menjadi pengamanan darurat bagi Freeport jika perusahaan ini terancam dengan dalih investasi negara harus di lindungi.
Mobilisasi aparat (TNI-POLRI) di Papua cukup nampak mobilitasnya. Tembagapura sebelum reformasi dan saat inipun pasukan AD lebih dominan, apalagi berkaitan dengan insiden Blokade beberapa bulan lalu. Tak ketinggalan bagi Marinir ( AL) cenderung memobilisasi korps di wilayah sorong dan Bintuni tempat BP (British Petroleum) perusahaan Inggris ini beroperasi.
Sedangkan Angkatan Udara (AU) dan Kepolisian diprediksi korps yang tak bergigih dalam penjagaan aset vital. Apakah pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono beberapa bulan silam bahwa POLRI akan menjaga perusahaan akankah tercapai dalam Peraturan Pemerintah PP yang sedang di rancang. Dimana sengketa lahan antar korps kian ketat saat ini...
Konflik masyarakat sipil di sekitar wilayah pegunungan tengah kembali merebak, Kawamki lama membara, puncak Jaya tegang, penembakan sembrono batalyon Paniai terhadap warga sipil di Jila yang tak jauh dari wilayah eksplorasi freeport-sejalan dengan merebaknya demonstrasi gerakan rakyat di Papua untuk menuntut penutupan PT. FI. Di kubu aparat terjadi pengalihan wewenang penjagaan aset, Polisis berandil menjaga freeport, kecemburuan pendapatan lahan atas biaya pengamanan semata, menjadi bisa dengan merekonstruksi pertikaian. Modal sebagai pihak yang patut di gantung atas keterlibatannya terhadap sejumlah peristiwa kekerasan di Papua. Freeport sejatinya sangat berandil bagi hegemoni militer indonesia untuk melakukan pembantaian dan penghilangan nyawa penduduk sipil tak berdosa. Kekayaan alam kami dijarah, nyawapun dijarah, benar-benar demokrasi dan HAM sebuah ilusi paradoks bagi kapitalis berwacana Amerika.
Bukti konkrit dari serbuan aparat ke wilayah-wilayah, selain menciptakan konflik juga, secara massif penyokong tunggal kejayaan paramiliter adalah Freeport. Dukungan Dana Bagi kerja-kerja operasi keamanan Freeport dalam laporan resmi tahunannya, Freeport Mc Moran menuliskan bahwa dirinya membiayai dukungan uang sejumlah 6.9 juta dollar pada tahun 2004, lalu 5.9 juta dollar tahun 2003 dan 5.6 juta dollar tahun 2002 kepada pihak keamanan resmi pemerintah Indonesia (TNI). Pernyataan Freeport McMoran dalam membiayai TNI bukan hanya dilaporkan pada tahun 2005. Hampir setiap tahun, Freeport McMoran selalu melaporkan bahwa dirinya membiayai TNI untuk melindungi keamanan. bahwa sesuai dengan kontrak karya, Pemerintah Indonesia wajib melindungi operasi PT Freeport yang merupakan objek vital. Karena alasan minimnya dana pemerintah untuk membiayai personil, PT Freeport menyediakan fasilitas kepada aparat negara untuk melindungi operasi, fasilitas, dan personil PT. Freeport Indonesia. Berikut kutipan laporan tersebut.
From the outset of PT Freeport Indonesia’s operations, the government has looked to PT Freeport Indonesia to provide logistical and infrastructure support and assistance for these necessary services because of the limited resources of the Indonesian government and the remote location of and lack of development in Papua. PT Freeport Indonesia’s financial support for the Indonesian government security institutions assigned to the operations area represents a prudent response to its requirements to protect its workforce and property, better ensuring that personnel are properly fed and lodged, and have the logistical resources to patrol PT Freeport Indonesia’s roads and secure its operating area. In addition, provision of such support and oversight is consistent with PT Freeport Indonesia’s obligations under the Contract of Work, reflects our philosophy of responsible corporate citizenship, and is in keeping with our commitment to pursue practices that will promote human rights, which include our endorsement of the joint U.S. State Department-British Foreign Office Voluntary Principles on Human Rights and Security.
Pertanyaan yang muncul adalah, apakah TNI berhak menerima uang dari perusahaan yang secara jelas disebutkan untuk menjaga keamanan perusahaan? Kedua, apakah tindakan memberi uang kepada alat negara secara langsung adalah tindakan yang benar secara hukum? Ketiga, apakah ini adalah bukti bahwa TNI di Timika bekerja untuk melindungi kepentingan PT Freeport Indonesia? Keempat, apakah ini adalah bukti keterlibatan Freeport dalam memicu terjadinya pelanggaran HAM berat di wilayah Timika seperti yang sudah terjadi selama puluhan tahun sejak Freeport mendaratkan cakarnya di Tembagapura?
Reformasi mendorong TNI masuk kandang, kepolisian berperan di perkotaan. Papua Barat tahun 80 an perjuangan orang Papua untuk memprotes Freeport tidak seperti sekarang perjuangan dilakukan di kota-kota bahkan atas pantauan media. Wilayah Timika, saat itu, masuk dalam kategori daerah merah. Mereka tidak sempat berpikir bagaimana cara memperoleh manfaat dari kehadiran perusahaan ini.
PTFI berdiri dengan kokoh dan tidak tersentuh di bawah penjagaan ABRI saat itu, menimbulkan kesan di Timika ada sebuah negara dalam negara. Lihat saja insiden Bulan Maret 2006 200 an Massa Front PEPERA PB demo selama 3 hari di depan gedung plaza 89 tempat Freeport di Jakarta berkantor dijaga ketat oleh aparat kepolisian dengan mobilisasi 800 hingga 1000 personil. Siapakah yang memberi makan personil tersebut? Polsek Setiabudi?, Polda Metro Jaya? Ataukah Negara? Mungkin juga Freeport?. Ada dugaan bahwa 3 milyar dana diberikan Freeport kepada polisi untuk menjaga keamanan plaza 89.
Peran penegakan Hukum yang kini sebagain besar cenderung dilakukan POLISI memiliki andil dalam membungkam gerak aktivitas individu maupun kelompok baik orang Papua maupun luar Papua. Studi kasus adalah penahanan 8 warga Timika oleh Polisi dengan tuduhan semena-mena terlibat dalam penembakan 2 warga AS di mil 62/63, (Baca: http://www.media-indonesia.com/berita.asp?id=88279) Penangkapan 8 warga sipil Timika tak jauh dari soal FREEPORT. Kekecewaan 10 mahasiswa Papua yang tergabung dalam BEM Papua terhadap kekejaman Freeport di Papua kemudian di lampiaskan dengan merusak gedung plaza 89. proses hukumnya ketika digelar, Freeport angkat tangan dan menyerahkannya kepada aparat polisi. Ada apa? Mengapa wakil Freeport menolak jadi saksi di pengadilan? Kejahatan Freeport di Papua lebih berat daripada perusakan gedung.
Massa rakyat Papua yang tergabung dalam Front PEPERA PB ketika melakukan aksi di Jayapura 15-16 Maret pun berakhir dengan insiden berdarah yang menewaskan 3 polisi dan satu intelejen Angkatan Udara. Sipakah yang bertanggungjawab atas insiden tersebut? Front PEPERA PB dalam tuntutannya jelas bahwa mereka menuntut Freeport di Tutup. Freeport menuai kekerasan dan nyawa! Kita terenyak karena ”perang saudara berdarah” di Universitas Cenderawasih menyebabkan empat aparat meninggal dan puluhan orang luka-luka, termasuk wartawan. Ini bukan kekerasan terakhir karena pemerintah bergeming memenuhi tuntutan rakyat Papua. Jaminan pemerintah dan ditangkapnya 50-an mahasiswa Universitas Cenderawasih (Uncen) memulihkan harga saham Freeport di New York Stock Exchange (NYSE) ke 53,22 dollar AS (17 Maret 2006), walaupun belum kembali pada posisi 53,30 dollar AS (15 Maret 2006), apalagi pada 64,31 dollar AS (1 Februari 2006). Ketika kerusuhan Abepura (16 Maret 2006), saham Freeport sempat anjlok pada posisi 52,73 dollar AS. Nasib Papua ditentukan pemilik kapital di New York! Haruskah kita mengutuk bangsa yang tak pernah belajar dari kesalahan dan mengabaikan hak-hak warga negaranya puluhan tahun demi perjanjian internasional yang tak adil dan keuntungan para pemilik kapital di NYSE? Papua termasuk provinsi termiskin di Indonesia. Simaklah, tahun 2005, 80,07 persen dari 2,3 juta penduduk Papua hidup dalam kemiskinan, walaupun Gubernur Papua JP Salossa (alm) hanya mengakui orang miskin di Papua 30-40 persen. Kalaupun cuma 40 persen, sungguh tak masuk akal kemiskinan rakyat Papua di tengah kekayaan alam melimpah ruah!
Jakarta menganggap penting melindungi Freeport dari gerakan rakyat Papua.
Jarahan Emas yang menyuburkan kemiskinan
Resensi ekonomi, menambah kesenjangan kaya dan miskin. Eksploitasi sumber daya alam berjalan bersamaan dengan penghisapan culture budaya wilayah dan bangsa yang berdaulat. Bayangkan, bagaimanapun juga-TNI AD dan POLISI yang bertugas menjaga Freeport beradu kekuatan. Benteng keutuhan NKRI seakan menjadi adu jotos demi menjadi barisan terdepan yang kokoh bagi unjuk kekuatan dihadapan sang modal raksasa. Hanya karena semata-mata berebutan untuk mendapat upah keamanan dari perusahaan Amerika tersebut; pertama, kontra intelejend terus mengolah konflik agar terjadi keos antar orang Papua sendiri. Konflik kelompok tahun 2006 Kwamki-Mimika sejatinya perseteruan sengit lantaran siapa yang menjadi barisan terepan untuk menjaga asset Amerika, tak lama setelah pemerintah mengkususkan POLRI sebagai penjaga asset Asing. Paradigma bisnis aparat menjadi kenyataan dari luapan konflik antara kelompok.
Meski di tanah leluhurnya terdapat tambang emas terbesar di dunia, orang Papua khususnya mereka yang tinggal di Mimika, Paniai, dan Puncak Jaya pada tahun 2004 hanya mendapat ranking Indeks Pembangunan Manusia ke 212 dari 300 an lebih kabupaten di Indonesia. Hampir 70 % penduduknya tidak mendapatkan akses terhadap air yang aman, dan 35.2% penduduknya tidak memiliki akses terhadap fasilitas kesehatan. Selain itu lebih dari 25% balita juga tetap memiliki potensi kurang gizi. Jumlah orang miskin di kabupaten tiga kabupaten tersebut mencapai lebih dari 50 % total penduduk. Artinya, pemerataan kesejahteraan tidak terjadi. Meskipun pengangguran terbuka rendah, tetapi secara keseluruhan pendapatan masyarakat setempat mengalami kesenjangan. Boleh jadi kesenjangan yang muncul antara para pendatang dan penduduk asli yang tidak mampu bersaing di tanahnya sendiri. Boleh jadi pula, angka prosentase yang menunjukkan kemiskinan seperti akses terhadap air bersih, kurang gizi, akses terhadap sarana kesehatan mengandung bisa rasisme. Artinya, kemiskinan dihadapi oleh penduduk asli dan bukan pendatang.
Tabbel; periodesasi dana 1% royalti Freeport kepada pemilik hak ulayat
No. Tahun Hitungan Dollar Hitungan Rupiah
1. 1996 US$ 10.810.150 Rp. 25,2 Milyar
2. 1997 US$ 12.742.915 Rp. 38,7 Milyar
3. 1998 US$ 16.625.288 Rp. 179,7 Milyar
4. 1999 US$ 21.117.015 Rp. 158 Milyar
5. 2000 US$ 13.504.330 Rp. 117,2 Milyar
6. 2001 US$ 17.317.229 Rp. 179,6 Milyar
7. 2002 US$ 18.313.298 Rp. 172,3 Milyar
8. 2003 US$ 21.841.766 Rp. 189 Milyar
9. 2004 US$ 18.041.433 Rp. 161,8 Milyar
10 2005 US$ 40.534.482 Rp. 393,8 Milyar
TOTAL US$ 190.847.906 Rp. 1,6 Triliun
Alokasi dana untuk tahun 2005 dalam bidang; Pendidikan Rp. 63,32 Milyar, Kesehatan Rp. 70,61 Milyar, Dukungan Adat Rp. 13,07 Milyar, Pengembangan Ekonomi Desa Rp. 12,18 Milyar, Sektor Agama Rp. 9, 67 Milyar, Program Khusus Rp. 5,78 Milyar, Untuk tiga Desa Rp. 35 Milyar, Manajemen dan Kapital Rp. 28.27 Milyar, Dana Abadi Rp. 26,58 Milyar.
Rapor resmi perekonomian Papua, selama bergabung dengan Indonesia, sebenarnya tidak terlalu didominasi warna merah. Tahun 1992 misalnya, laju pertumbuhan ekonomi Papua sempat menembus angka 8,62 persen. Laju pertumbuhan itu dibentuk oleh sektor pertanian 11,22 persen, perdagangan dan jasa 9,68 persen, pertambangan dan penggalian 9,76 persen, bank 8,30 persen, dan bangunan 8,75 persen. Sementara sektor lainnya di bawah 6 persen. Laju pertumbuhan terendah terjadi pada sektor pemerintahan dan hankam 3,21 persen. Demikian pula dengan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Papua. Berdasarkan harga berlaku tahun 1992, PDRB Papua mencapai Rp 3.05 triliun. Sektor pertambangan dan penggalian menyumbang sekitar Rp 1.71 triliun. Lalu diikuti sektor pertanian dan hankam, masing-masing sekitar Rp 492.14 dan Rp 282.82 miliar. Sektor yang paling kecil sumbangannya adalah sektor listrik dan air minum, sekitar Rp 13.17 miliar. Dilihat dari distribusi persentasenya, sumbangan sektor pertambangan mencapai 56,10 persen yang diikuti sektor pertanian (16,09%) dan sektor lainnya (di bawah 10%). Sedangkan, susunan struktur ekonomi Papua tiga tahun terakhir belum memperlihatkan pergeseran. Sub sektor pertambangan tampak terus meningkat, begitu juga dengan sektor perbankan. Pendapatan regional penduduk pun sebenarnya tidak terlalu jeblok. Tahun 1992, atas dasar harga konstan, mencapai Rp 701.557,39. Angka ini meningkat 5,44 persen dibanding tahun 1991, hanya Rp 665.384,34. Bahkan, tanpa memperhitungkan sektor pertambangan, pendapatan regional pada tahun 1992 mencapai Rp 445.093,69. Yang juga menunjukkan peningkatan sekitar 4,76 persen dibanding tahun sebelumnya.
Namun, betapapun “menarik” kedengarannya, data-data resmi ini lebih merupakan hitungan di atas kertas. Hitungan seperti ini lebih bersifat total. Jadi memang belum tentu mencerminkan kesejateraan per individu masyarakat. Kenyataannya, sebagian besar masyarakat Papua masih tetap “berkoteka”. Orang boleh saja berkilah: koteka bukan semata persoalan “harta”, tapi persoalan “budaya”. Tapi, bagaimanapun, orang akhirnya akan sepakat, kekayaan Papua—yang diperkirakan mampu menyumbang devisa sebesar US$ 3 miliar atau Rp 24 triliun tiap tahun (Belum Termasuk Penghasilan BP, Conoco, Corindo)—tidak sepenuhnya bisa dinikmati rakyat Papua. Buktinya? Pendapatan asli daerah yang masuk ke kas untuk tahun 1996-1997 hanya sebesar Rp 21 miliar. Sedangkan keseluruhan anggaran belanja (APBD) provinsi ke-26 Indonesia itu tidak pernah menembus angka Rp 1 triliun. Demikian pula dengan pajak industri. Jumlahnya boleh saja melimpah. Pajak Freeport, misalnya, mencapai US$ 700 juta sampai US$ 800 juta setiap tahun. Tapi apa boleh buat. Yang mengalir ke rakyat Papua tidak lebih dari 1 persen. Itu pun baru empat tahun terakhir diterima. Harta berlimpah ruah ternyata tidak mampu mengangkat kehidupan rakyat. Sebelum krisis melanda Indonesia saja, sekitar 427 ribu dari sekitar 2,3 juta (19%) penduduk berada di bawah garis kemiskinan.
Lawan! Dan Menang.
Perlawanan rakyat Papua sejak 1920-an, dimulai dengan gerakan-gerakan rakyat bersifat mesianistik disekitar kepulauan Schouten (Teluk Cendrawasih, dan skitarnya). Perlawanan ini digerakan oleh sentiment anti-Jepang yang ketika itu sedang mengkonsentrasikan pasukannya di wilayah Pasifik untuk menghantam kekuatan Sekutu (AS, ed) yang juga sedang berupaya membantu sekutu-sekutu politiknya di daerah Asia Tenggara. Jauh sebelum adanya sebuah kerangka gerakan lebih modern yang dimotori oleh kaum terpelajar di Papua, sesungguhnya telah ada gerakan-gerakan rakyat Papua yang bersifat sporadic, dilakukan diberbagai daerah di Papua.
Gerakan-gerakan sporadik di daerah kepulauan Schouten (Biak dan Serui), misalnya dilakukan karena adanya nilai-nilai budaya mesianistik didaerah-daerah ini, yaitu Gerakan Koreri dan Gerakan Kuripasai. Sebagaimana diyakini oleh rakyat didaerah ini, Koreri maupun Kuripasai adalah dua keyakinan yang memiliki akar filosofis yang sama. Spirit dari gerakan Koreri dan Kuripasai adalah spirit yang mendorong rakyat dari suku Biak dan Numfor serta suku-suku di Pulau Serui untuk melawan setiap bentuk penindasan yang dilakukan oleh kaum penjajah (gerakan Koreri dan Kuripasai melihat Belanda maupun Jepang pada waktu itu sebagai kaum terkutuk yang harus dilawan) sebab diyakini, dalam Gerakan Koreri, bahwa akan lahir messiah atau penyelamat yang akan mensejahterakan rakyat yang mengikuti anjuran-anjurannya lewat tokoh masyarakat setempat (bisa dikatakan semacam Nabi), yang dalam kepercayaan Gerakan Koreri disebut sebagai Konnor.
Dalam bebarapa literatur sejarah, Gerakan Koreri sudah dimulai sejak awal tahun 1920-an, tetapi lebih besifat local dan pada saat itu gaungnya tidak begitu terdengar kuat keluar. Secara kualitatif, Gerakan Koreri mulai membesar sejak tahun 1940-an, dimana terjadi pergeseran penguasa atas wilayah Papua (dari Belanda ke Jepang), yang mana pada proses pengalihan, seperti kita tahu, watak fasisme Jepang menyebabkan proses represi luar bisaa terhadap rakyat didaerah-daerah pesisir pantai disepanjang garis pantai Papua, terutama di garis pantai Papua bagian utara, yaitu, Biak – Serui, Nabire, Manokwari, Sorong dan sebagian garis pantai selatan Papua, yaitu kota Fakfak.
Gerakan ini membesar pada tahun 1946 dimana dua orang Konor, yaitu Angganita Manufandu dan Steve Simopairef mengorganisir perlawanan terhadap tentara Jepang di Biak. Akibat proses pengorganisirannya, terjadi bentok yang cukup besar diwilayah ini. Angganita Manufandu ditangkap dan dimasukan kedalam penjara di kota Manokwari. Gerakan Koreri ini dilanjutkan oleh Stev Simopiaref yang juga menyeberang ke Manokwari dan mengorganisir masyarakat suku Biak (migran terbesar dikota Manokwari) di Kota Manokwari untuk melakukan penyerangan terhadap barak-barak tentara Jepang. Perlawanan ini gagal. Stev ditangkap dan dipenjara di kota Manokwari megikuti jejak Angganita dan berakhirlah sudah riwayat perjuangan Koreri. Gerakan Koreri adalah merupakan cikal-bakal dari sebuah gerakan nation-state yang lebih besar dalam perjuangan Papua, sebab secara langsung, semangat gerakan Koreri itu masih terasa hingga saat ini didalam pusaran gerakan rakyat Papua.
Tonggak sejarah yang pertama adalah pencetusan berdirinya OPM di Manokwari, tanggal 26 Juli 1965. Gerakan itu merembet hampir ke seluruh daerah Kepala Burung, dan berlangsung selama dua tahun. Tokoh pemimpin kharismatis gerakan ini adalah Johan Ariks, yang waktu itu sudah berumur 75 tahun. Sedangkan tokoh-tokoh pimpinan militernya adalah dua bersaudara Mandatjan, Lodewijk dan Barends, serta dua bersaudara Awom, Ferry dan Perminas. Inti kekuatan tempur gerakan itu adalah para bekas anggota PVK, atau yang dikenal dengan sebutan Batalyon Papua. Ariks dan Mandatjan bersaudara adalah tokoh-tokoh asli dari Pegunungan Arfak di Kabupaten Manokwari, sedangkan kedua bersaudara Awom adalah migran suku Biak yang memang banyak terdapat di Manokwari. Sebelum terjun dalam pemberontakan bersenjata itu, Ariks adalah pemimpin partai politik bernama Persatuan Orang New Guinea (PONG) yang berbasis di Manokwari dan terutama beranggotakan orang-orang Arfak. Tujuan partai ini adalah mencapai kemerdekaan penuh bagi Papua Barat, tanpa sasaran tanggal tertentu (Nusa Bhakti, 1984; Osborne, 1989: 35-36).
Empat tahun sesudah pemberontakan OPM di daerah Kepala Burung dapat dipadamkan oleh pasukan-pasukan elit RPKAD di bawah komando almarhum Sarwo Edhie Wibowo, "proklamasi OPM" kedua tercetus. Peristiwa itu terjadi pada tanggal 1 Juli 1971 di suatu tempat di Desa Waris, Kabupaten Jayapura, dekat perbatasan Papua Niugini, yang dijuluki (Markas) Victoria, yang kemudian dijuluki dalam kosakata rakyat Papua Jaya, "Mavik". Pencetusnya juga berasal dari angkatan bersenjata, tapi bukan seorang bekas tentara didikan Belanda, melainkan seorang bekas bintara didikan Indonesia, Seth Jafet Rumkorem. Seperti juga Ferry Awom yang memimpin pemberontakan OPM di daerah Kepala Burung, Rumkorem juga berasal dari suku Biak. Ironisnya, ia adalah putera dari Lukas Rumkorem, seorang pejuang Merah Putih di Biak, yang di bulan Oktober 1949 menandai berdirinya Partai Indonesia Merdeka (PIM) dengan menanam pohon kasuarina di Kampung Bosnik di Biak Timur (Aditjondro, 1987: 122). Sebagai putera dari seorang pejuang Merah Putih, Seth Jafet Rumkorem tadinya menyambut kedatangan pemerintah dan tentara Indonesia dengan tangan terbuka. Ia meninggalkan pekerjaannya sebagai penata buku di kantor KLM di Biak, dan masuk TNI/AD yang memungkinkan ia mengikuti latihan kemiliteran di Cimahi, Jawa Barat, sebelum ditempatkan di Papua Jaya dengan pangkat Letnan Satu bidang Intelligence di bawah pasukan Diponegoro. Namun kekesalannya menyaksikan berbagai pelanggaran hak-hak asasi manusia menjelang Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969, mendorong ia masuk ke hutan bersama-sama para aktivis OPM dari daerah Jayapura sendiri. Sebelumnya ia sudah membina hubungan dengan kelompok OPM pimpinan Herman Womsiwor, orang sesukunya, di Negeri Belanda. Seperti kita ketahui, Pulau Biak terletak di "pintu gerbang" Teluk Cenderawasih, sedangkan Pulau Adi terletak di lepas pantai Kabupaten Fakfak, tepatnya di Teluk Kaimana. Jadi boleh dikata, Biak mewakili pulau-pulau lepas pantai di belahan utara Papua Barat, sedangkan Adi mewakili pulau-pulau lepas pantai di belahan selatan Papua Barat.
Dengan referensi kartografis itu, terbayanglah suatu negara "Papua Barat" yang tidak hanya punya kedaulatan di darat, melainkan juga di laut. Kesadaran tentang kedaulatan di laut itu, tampaknya bukan karena "rangsangan" pemerintah Indonesia. Paling tidak, bukan karena rangsangan pemerintah Orde Baru. Sebab pada tahun 1971, perdebatan tentang wawasan kepulauan di lingkup internasional, yang mencuatkan nama Mochtar Kusumaatmadja, belum mencuat ke permukaan. Pemberian konsesi kepada suatu perusahaan kongsi Indonesia-Perancis, PT Multi Transpeche, untuk menangkap ikan cakalang sampai ke perairan batas landas kontinen Indonesia di utara Pulau Biak, juga belum dimulai. Agak lain ceriteranya tentang Pulau Adi. Pada tanggal 12 Februari 1965, berarti masih di era Orde Lama, tokoh-tokoh adat, agama, wanita, pemuda dan veteran dari Kecamatan Kaimana menyatakan mendukung sepenuhnya keputusan pemerintah Indonesia untuk menutup konsesi sebuah perusahaan perkayuan Amerika, Jones & Guerrero Company, di pulau itu. Dalam pernyataan itu, mereka juga menyalahkan "pemerintah penjajah Belanda" karena mengeluarkan konsesi kepada perusahaan asing itu, walaupun rakyat setempat tidak menyetujuinya. Boleh jadi, kasus penutupan konsesi perusahaan kayu AS di Pulau Adi ikut mengasah kesadaran Rumkorem untuk dalam negara yang (ingin) didirikannya, juga memperhatikan kedaulatan atas wilayah pulau-pulau di lepas pantai. Tapi di samping faktor itu, atau bahkan barangkali yang lebih utama, adalah latar-belakang Rumkorem sebagai orang Biak yang sejak ratusan tahun lalu punya kebudayaan maritim yang sangat kuat (lihat Korwa, 1989).
Imajinasi kartografis wilayah negara merdeka yang dicita-citakan oleh para aktivis OPM, tidak terbatas pada wilayah eks propinsi New Guinea Barat di masa penjajahan Belanda.Tiga tahun sesudah proklamasi di "Markas Victoria", imajinasi itu melebar sampai meliputi wilayah negara tetangga mereka, Papua Niugini. Pada tanggal 3 Desember 1974, enam orang pegawai negeri di kota Serui, ibukota Kabupaten Yapen-Waropen, menandatangani apa yang mereka sebut "Pernyataan Rakyat Yapen-Waropen", yang isinya menghendaki persatuan bangsa Papua dari Samarai (di ujung buntut daratan Papua Niugini) sampai ke Sorong, yang "100% merdeka di luar Republik Indonesia". Sejak Februari 1975, lima di antara penandatangan petisi ditahan di Jayapura. Soalnya, salah seorang di antara penandatangan "proklamasi Sorong-Samarai" itu, Y. Ch. Merino, orang Biak yang sebelumnya adalah Kepala Kantor Bendahara Negara di Serui, pada tanggal 14 Februari 1975 kedapatan "bunuh diri" di Serui. Kabarnya dalam penggeledahan di rumahnya ditemukan uang kas negara sebanyak Rp 13 juta. Sesudah dua tahun ditahan di Jayapura, lima orang temannya yang masih hidup, di antaranya abang dari seorang alumnus FE-UKSW, diajukan ke pengadilan negeri Jayapura. Pada tanggal 9 Maret 1977, kelimanya divonis delapan tahun penjara, karena tuduhan melakukan "makar". Ketika kami bekerja di Jayapura di awal 1980-an, kami
Oleh : Alfrid Tiwaiwode Dumupa)***